No. 19

24 4 5
                                    

Hari ini adalah hari jaga Rania untuk berada di ruang ekskulnya. Sudah tiga hari sejak hari pengumuman yang ia lakukan dengan Hasta—atau haruskah Rania katakan hari pengumuman yang Rania lakukan—tapi belum juga kunjung ada nama sukarelawan yang bertambah. Di dalam daftarnya hanya ada sepuluh orang dan dari sepuluh orang itu hanya ada tiga orang yang baru saja memberikan karyanya kepada Rania.

"Kacau!" gerutu cemas si ketua kelompok untuk proyek majalah cerpen yang bernama Alan itu. Rania menunduk karena ia juga cemas. Di ruang ekskul itu ada Rania, Alan, Sania, dan Pita. Dari keempat orang itu belum ada yang tersenyum sejak awal piket jaga dimulai. Alasannya hanya satu, karena perkara cerpen ini.

"Kalau bener-bener gaada yang mau ngasih cerpennya, kita harus gimana, Lan?" tanya Pita yang dalam sekejap, suasana menjadi semakin keruh.

"Dua hari lagi deadline pengumpulannya kan? Mau ga mau setelah itu, kita harus publish cerpen yang ada aja."

"Tipis banget dong majalah kita. Kita pasti bakal dicap gagal!"

Tidak lama kemudian, Hasta datang. Tangannya memegangi dua roti dan dua minuman jus buah rasa mangga. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi yang kentara. Tidak senang, tapi tidak juga sedih. Normal-normal saja.

"Buat lo." Hasta meletakkan satu roti dan satu minumannya kepada Rania. Mata Rania melebar dan segera rasa bersalah dan tidak enakan langsung menyeruak dalam diri Rania.

"Ta-tapi gue udah makan, Ta."

"Gapapa, lo bisa makan pas laper aja."

Rania tidak punya pilihan lain. Lagipula tidak baik menolak rezeki terlalu sering kan?

"Gimana?" tanya Hasta sambil memakan roti satunya. Ia mengambil tempat di kursi sebelah Rania yang kosong dan dengan santai mengangkat satu kakinya ke kaki satunya sebagai posisi nikmat untuk melahap roti coklat yang ada di genggamannya.

Alan dengan satu helaan napas besar, menjelaskan kepada Hasta bagaimana keadaan proyeknya sekarang. Benar-benar memprihatinkan. Semuanya terdiam sesaat setelah Alan dan Hasta menyelesaikan sesi tanya jawab dan sesi diskusi yang hanya mereka berdua yang lakukan. Diam-diam semua kepala yang ada di ruangan itu berkerja keras untuk mencari solusi akan proyek mereka yang terancam gagal itu.

"Minimal berapa orang sih yang harus ngasih cerpen ini?" Pita kembali bersuara.

"Lima belas, minimal."

"Lima belas? Lima belas apa? Minimal harus ada lima belas cerita atau minimal harus ada lima belas orang yang tertera karyanya?"

Alan menjetikkan jarinya dengan keras ke arah Rania, lalu berseru, "Good question!" Beberapa terperanjat sedikit, tapi Alan tidak peduli. "Lima belas cerpen, bukan lima belas orang! Astaga, gue baru sadar!"

"Ada apa sama keantusiasan lo yang tiba-tiba ini? Gue ga ngerti deh," sahut Sania melempar pandangan aneh kepada Alan.

Alan tidak peduli dengan pertanyaan Sania, kini matanya hanya terfokus kepada Rania. Jujur, Rania jadi kikuk kalau dipandang lama seperti itu.

"Ran, elo penulis!" seru Alan keras.

"Amatir lebih tepatnya. Jadi kenapa dengan itu?"

Alan mengusap wajahnya kasar, tapi ekspresinya masih sama antusiasnya. "Don't you get it?! Rania penulis. Proyek ini cuma perlu lima belas cerita. Artinya—"

Hasta melebarkan matanya. "Ran, lo bisa nyumbangin semua karya lo di majalah! Lo bisa jadi plan b proyek kita!"

"Gak! Gue gak mau."

Dengan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang