No. 15

22 4 11
                                    

Hal terakhir yang dipikirkan oleh Rania adalah berpergian dengan laki-laki berdua saja di malam sabtu. Sekarang yang menjadi hal terakhir yang dipikirkannya terwujud begitu saja tanpa ia minta-minta. Dengan satu anggukan pelan, semua terjadi.

"Gue kira lo bakal nolak," sahut Hasta sedikit berteriak karena suaranya yang termakan angin malam. Ditambah suara mesin kendaraan di sekitar mereka juga mengambil alih sebagian besar pendengaran mereka. Rania jadi harus sedikit berusaha keras untuk mendengar apa yang dikatakan oleh Hasta.

"Gue kira gue juga bakal nolak."

"Apa?"

Rania menggeleng, lalu tersenyum, "Gue lagi pengen jalan-jalan aja."

Hasta menganggukkan kepalanya. Laki-laki itu juga tersenyum. Walau jarak mereka tidak begitu berdekatan karena tas ransel Hasta yang memisahkan, tapi tanpa kedua orang itu ketahui, jarak mereka sebenarnya sudah terkikis lama. Ada hati yang terhubung tanpa diinginkan, namun pilihan tetap berada di tangan mereka. Apakah mereka memilih untuk mengangguki atau mengacuhkan sesuatu yang sudah hadir. Ada dua pilihan yang akan membawa mereka kepada dua alur yang berbeda.

"Dideket sini ada bakso malang yang enak. Lo mau makan lagi ga?"

"Boleh, lagian tadi cuma makan roti bakar dua belas ribu aja kan?"

Hasta menganggukkan kepalanya.

Tidak butuh waktu lama, mereka berdua akhirnya sampai di kedai bakso yang Hasta ceritakan. Pelanggannya ramai, dari pelanggan yang hanya datang untuk membungkus atau yang memang berniat untuk makan di sini sama seperti yang Rania dan Hasta lakukan. Di tengah-tengah meja panjang, ada kursi kosong. Syukurlah, masih ada tempat untuk dua sejoli itu untuk makan bakso.

"Bakso malang kan?" Hasta bertanya. Setelah mendapat satu anggukan dari Rania, laki-laki itu langsung bangkit untuk memesankan dua bakso malang untuk mereka berdua. Hawa malam itu lumayan dingin, beruntung di dalam jok motor Hasta ada dua jaket yang terlipat. Hastapun mengambil kedua jaket itu untuk diberikan satu kepada Rania. Kasian Rania, hanya mengenakan kaos tipis saja.

"Dipake Ran, dingin kan?"

Rania memandang jaket itu diam bergantian dengan wajah Hasta yang tidak terlalu memasang ekspresi yang kentara. "Ga usah, Ta. Gue ga kedinginan kok."

"Pake aja. Gapapa."

Rania menghela napas, lalu akhirnya menerima juga jaket yang disodorkan oleh Hasta.

Untuk beberapa saat, tidak ada satupun dari mereka yang membuka percakapan. Hasta sibuk memainkan hpnya, berbeda dengan Rania yang memilih untuk memandang jalan raya dan beberapa kendaraan yang lewat. Rania suka memperhatikan sekitar, rasanya ada perasaan lain yang tertangkap ketika melakukan itu. Sulit dijelaskan, tapi rasanya seperti Rania ditarik ke dunia yang diciptakannya sendiri. Memperhatikan hal-hal kecil yang ada di sekitar, menurut Rania sangat menyenangkan.

"Lo emang pendiem ya anaknya?"

Hasta kembali mengambil perhatian Rania, laki-laki itu akhirnya membuka percakapan. "Menurut lo gimana?"

"Hmm, pendiem."

Rania mengangguk dan tersenyum. "Ngebosenin ya?"

"Enggak kok, kenapa mikir gitu?"

"Karena..." Apakah Rania harus mengatakan alasannya? Tidakkah sudah jelas alasannya mengapa Rania berpikir dirinya membosankan? Apa pertanyaan ini harus dijawab? Rania menghela napas, ia harus menjawab. "Karena gue ga supel. Gue susah akrab sama orang baru."

"Oh ya? Gue juga."

"Bohong."

"Loh kok ga percaya sih?"

Rania terkekeh kecil, melihat itu membuat kekehan Hasta juga terundang. "Gue tau lo bohong."

"Oke, gue cuma becanda. Tapi lo harus tau, lo ga bosenin kok. Liat gue, masih betah di sini sama lo."

"Kalau ga betah?"

"Dibetah-betahin aja."

Rania menggeleng-gelengkan kepalanya. Hasta ternyata juga bisa setengil itu.

Akhirnya dua bakso mereka datang. Kuahnya masih belum terbumbui dengan cabai atau kecap, alhasil Rania harus meraciknya sendiri terlebih dahulu. Beberapa kali ia suap sesendok kuah ke dalam mulutnya sampai rasa pas sampai di lidahnya, barulah ia menyendok kuah dan mie yang terlihat lebih menarik dari laki-laki di depannya.

Sambil makan, percakapan mereka terus belangsung. Tanpa sadar percakapan mereka sudah menuju kepada topik yang lebih pribadi, seperti soal keluarga, kampung atau hal-hal yang menyangkut diri mereka berdua. Keduanya tampak menikmati waktu mereka, bahkan kecanggungan yang dirasakan Rania, perlahan-lahan lenyap entah kemana. Yang bisa Rania rasakan adalah senang karena akhirnya dia bisa mengobrol dengan orang lain tanpa harus merasa canggung lagi.

"Punya adek itu kadang nyebelin sih. Kemaren aja adek cewe gue nangis-nangis pengen beli barang k-pop apa gitu, gue ga tau deh namanya. Karena ga dibolehin nyokap, akhirnya dia minta beliin gue, abis deh tabungan gue."

"Bersyukur aja. Gue jadi anak tunggal, jadi ngerasa kesepian karena gaada temen. Cuma punya mama yang kebanyakan sibuk sama kerjaannya di laundry. Ada banyak orang yang pengen punya adik dan lo punya. Lo harus seneng."

Hasta menganggukkan kepalanya. "Iya deh seneng walaupun gue harus melarat karena dia. Gitu maksud lo?"

Rania terkekeh, begitupun Hasta.

"Lo harus banyak-banyak nimbrung sama anak kelas, biar mereka tau lo seasik ini kalau diajak ngobrol."

"Butuh waktu kalau kata gue."

"Sesulit itu ya buat lo?"

Rania terdiam sejenak, ia berpikir. "Iya, sulit. Gue terlalu takut."

"Emang apa sih yang lo takutkan?"

Sepertinya percakapan mereka menjadi semakin dalam saja. "Banyak hal." Rania tersenyum kecut, mengasihani dirinya sendiri. Dia lemah sekali. "Gue takut bikin orang ga nyaman sama gue, gue takut dikira sok-sok-an atau gimana-gimana. Gue juga ga pinter cari topik obrolan yang asik. Setengah otak gue cuma bisa mikirin hal-hal serius, dan akibatnya gue juga jadi kaku dan seserius itu. Entar mereka malah stress lagi karena gue."

"Lo cuma ga percaya diri Ran dan lo juga terlalu memikirkan pendapat orang lain tentang lo. Lo juga terlalu banyak berprasangka. Dikurang-kurangin kalau saran gue. Lagian semua yang lo pikirkan itu juga belum tentu bakal kejadian. Buktinya aja gue deh, gue seneng kok bisa ngobrol sama lo."

"Bohong banget."

"Muka gue kayak penipu banget ya di mata lo?"

Tawa Rania sukses lepas, Hasta sampai tertegun melihatnya. Pertama kalinya bagi Hasta melihat Rania tertawa selepas itu ditambah dia lah yang menjadi alasan sumber tawa itu ada.

"Maaf, gue gak maksud," jawab Rania masih dengan sedikit sisa tawanya.

"Jangan takut, Ran. Kadang sesuatu yang lo kira buruk itu baik. So, lo harus coba dulu biar tau."

"Kalau orang bilang gue aneh?"

Hasta berdeham, lalu menjawab. "Kata mama gue, sebanyak apa orang yang suka sama lo, sebanyak itu juga yang ga bakal suka lo. Fifty-fifty¸mau sebaik apapun manusia, pasti bakal ada aja manusia lain yang julidin. Orang yang kayak gitu ga akan ada habisnya, sekarang tergantung lo. Apa lo bakal biarin orang kayak gitu ngedikte lo mulu? Kalau iya, kapan lo majunya? Lo harus hadapin dengan berani. Agak susah, tapi pasti bisa.

"Ini hidup lo, Ran. Lo captain-nya. Jangan terlalu dengerin kata orang. Jadi diri lo sendiri."

"Dan kalau orang ga suka sama diri guenya banget gimana?"

"Ga mungkin. Kayak yang gue bilang, fifty-fifty. Pasti ada lah, mungkin belum ketemu atau lo ga sadar aja orangnya siapa." 

Dengan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang