No. 3

20 5 0
                                    

Rania berakhir pada keputusannya untuk mengangguki ajakan dari Diana kemaren. Ini semua bukan karena kemauannya, melainkan karena Fania yang memaksa. Katanya, Fania tidak akan membiarkan dirinya makan sendirian di meja mereka. Seperti dugaan Rania, acara gabung makan dengan anak kelasnya itu berakhir dengan dirinya yang setia diam dan mendengarkan selagi percakapan terus mengalir.

Hampir seluruh anak perempuan di kelasnya bergabung dengan acara makan ini. Mungkin yang tidak ikut hanya sekitar dua atau tiga orang saja, mungkin karena mereka ada urusan atau hal lainnya yang dapat dijadikan alasan. Ah, Rania berharap ia juga ada urusan sekarang karena bukannya rasa nyaman, melainkan rasa canggung yang ia rasakan.

"Itu si siapa kemaren, gue lupa, dia rebut bola dari gue, tapi rambut gue ikutan direbut anjir. Aduh siapa deh kemaren, coba ngaku!"

"Gue, maaf ya. Sakit ga?"

Semua orang tertawa, kecuali Rania tentu saja. Rania tidak menemukan sesuatu yang lucu dari percakapan tersebut. Ngomong-ngomong mereka sedang membahas soal permainan basket yang kemaren mereka lakukan. Iya kemaren, hari dimana dirinya hampir saja geger otak.

"Ntar kita mapel apa lagi ya abis ini?" Seseorang bertanya lagi setelah beberapa saat keheningan menyelimuti.

"Fisika? Sama pak Jono kan?"

"Iya. Eh tapi kalian tau ga sih kalau si pak Jono ini kata orang..."

Dan percakapan berlanjut lagi. Kenapa sih orang-orang bisa semudah itu mencari topik pembicaraan. Ditambah topik yang dibawa juga sangat menarik untuk teman-temannya yang lain. Pak Jono, guru fisika yang terdengar isu-isu kalau dia suka genit dengan para siswi. Rania tau itu dari seniornya di ekskul. Entah benar berita itu atau tidak, yang pasti menggosipkan guru seperti ini sangat tidak baik.

Kaku banget sih lo Ran.

"Kita main truth or dare aja yuk sambil nunggu bel masuk? Hitung-hitung sambil saling mengenal gitu."

Sial! Rania sangat benci dengan permainan yang satu itu karena ia tidak mau membuka hal-hal tentang dirinya dan ia juga tidak mau melakukan tantangan yang dapat membuat energinya habis. Haduuh, sudah benar tadi ide Rania untuk kabur saja ke taman belakang sekolah—ya walaupun banyak siswa bucin di belakang sana.

"Gue ga ikut ya?" Rania bercicit, tidak lupa sambil memberikan sebuah senyuman kecil.

"Jangan gitu dong Rania. Semua orang di sini harus main, titik!" Kaluna berseru dengan semangat. Pasti menyenangkan untuk Kaluna membuka rahasia dan mengerjai orang dengan tantangan aneh-aneh. Bagi Rania, permainan ini hanya untuk saling mengerjai. Tapi Rania harus apa? Dia tidak bisa kabur.

Fania dengan gesit mengambil sebuah penggaris besi yang ada di meja belakangnya, entah siapa pemiliknya. Sebelum digunakannya, tidak lupa ia bengkokkan penggaris itu terlebih dahulu agar penggaris itu dapat berputar sempurna. "Gue ga tau ini penggaris siapa, tapi pinjem ya!"

Seruan Fania mengundang gelak tawa ringan anak perempuan lagi.

Apa-apaan ini, apakah selera humor orang-orang memang serendah ini? Kenapa begitu mudah untuk mereka tertawa?

"Oke kita mulai!"

Penggaris sudah diputarkan, semua orang terlihat harap-harap cemas karena takut penggaris itu berhenti dan mengarah kepada mereka. Siapa ya yang akan menjadi korban permainan sialan ini, kira-kira?

"Rania!"

Shit!

"Truth or dare?"

"Truth."

Semua orang langsung diam dan sibuk memikirkan tiga pertanyaan yang akan diberikan kepada Rania nantinya. Biar Rania tebak, pasti pertanyaan yang akan ia dapatkan tidak akan jauh-jauh dari soal laki-laki. Rania yakin 95 persen. Ini bukan pertama kalinya bagi Rania untuk bermain TOD.

"Pertanyaan pertama, lo pernah pacaran ga?"

Tuh kan!

"Enggak," jawab Rania dengan enteng. Sejak dahulu kala, persoalan pacaran dan laki-laki adalah bagian paling minoritas untuk otaknya pikirkan. Dibanding pacaran, Rania lebih sibuk memikirkan masalah sosialisasinya. Demi apapun, bersosialisasi adalah hal paling sulit dan hal yang paling mengeluarkan banyak tenaga untuk Rania.

"Pertanyaan kedua, apa yang membuat lo bisa suka sama cowok?"

Rania berpikir sejenak. "Ga tau. Gue gak pernah ngerasain rasa suka sama cowok, jadi gue ga tau kapan dan apa yang membuat gue bisa suka. Bukan berarti gue belok, gue cuma ga terlalu memikirkan masalah cowo. Masih ada prioritas lain yang harus gue pikirkan."

"Rania, lo orangnya serius banget deh. Take it easy ya? Entar kepala lo botak, mikir yang serius-serius mulu."

Lantas untuk apa juga membuang-buang waktu dengan memikirkan hal yang tidak penting?

Jawaban itu tidak terucapkan, karena jika dikatakan sama saja seperti dia mencari lawan atau akan merusak suasana yang sudah diciptakan dengan begitu santai dan hangat. Rania memang tidak pintar bersosialisasi dan bukan berarti dia bisa merusak lingkungan sosialisasi yang sudah diciptakan.

Akhirnya Rania menanggapi saran aneh itu dengan memberikan sebuah senyuman singkat.

"Pertanyaan ketiga, siapa anak cowok yang paling ganteng di kelas kita kalau menurut lo?"

Yang ganteng sepertinya tidak ada, tapi yang memiliki warna mata yang menawan, ada. "Gaada."

"Jadi menurut lo anak cowo di kelas kita burik semua?" tanya Fania, lagi-lagi ucapannya mengundang tawa anak perempuan. Benar-benar si Fania, bisa-bisanya ia menanyakan itu. Rania malas harus menjelaskan alasan kenapa ia mengatakan tidak ada yang ganteng di matanya.

"Bukan gitu..." Rania menghela napas samar. "Buat gue semua b aja."

Semua orang bersorak tepat setelah ia menjawab dan itu membuat Rania sedikit terlonjak kaget. Tidak disangka, Rania juga bisa mengundang kebisingan itu lewat kata-katanya.

"Rania, gue tau kenapa lo ga punya cowo, standar cowo lo tinggi banget kayaknya!" Semua orang bersorak lagi sambil tertawa-tawa karena sorakan mereka sendiri. It feels so cringe.

Bukan itu maksud Rania. Standar laki-laki? Rania tidak pernah menstandarkan manusia dalam hal apapun, kecuali jika standar itu memang sudah ada dan berlaku di kalangan orang banyak. Sebagai contoh, standar kecantikan. Menurut kalian siapa yang menciptakan standar kecantikan? Tidak tau kan? Standar itu ada dan berlaku, walaupun kita sama-sama tau bahwa standar itu sebenarnya tidak ada. Ini hanya masalah selera manusia yang kebanyakan sama.

"Padahal menurut gue ada yang ganteng tau." Itu Kaluna yang menjawab. Tidak disangka Kaluna bisa seblak-blakan itu.

"Siapa emangnya, Lun?"

"Hasta, menurut gue Hasta lumayan." 

Dengan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang