No. 6

18 5 5
                                    

Kaluna Astrawidjaja, gadis yang menurut Rania memiliki kehidupan yang sangat sempurna. Rania rasa, tidak hanya dirinya saja yang akan berpikiran begitu, selain cantik, gadis itu juga pintar dan bertalenta. Orang tua Kaluna ternyata juga termasuk kelompok orang tua elit sekolah yang memiliki peran di sekolah mereka. Astaga, Kaluna memang gadis yang sangat menyilaukan. Pesona gadis itu dapat Rania rasakan walau ada jarak beberapa meter yang memisahkan.

"Lo kenapa Ran? Lo ngelamun terus."

Rania mengedip-ngedipkan matanya, berusaha mengembalikan kesadarannya yang tadi sempat terbang kemana-mana. Sepertinya Rania dilanda rasa iri dengan apa yang dimiliki oleh Kaluna. Menyadari rasa iri yang mulai tumbuh perlahan jauh di lubuk sana, Rania jadi harus merapalkan kata-kata religius untuk meredakan rasa iri itu. Rasa iri tidak boleh dipelihara, itu hanya akan merusak diri saja.

"Gue lagi banyak pikiran aja. Sorry."

"Udah dibilangin jangan serius-serius banget mikirnya. Entar kepala lo botak, Ran!" ingat Fania gemas dengan sifat serius teman sebangkunya. Rania terkekeh, lalu memilih mengangguki saja semua kata-kata Fania biar gadis itu senang.

"Anyway, lauk lo hari ini apa? Mari saling berbagi Ran, biar lauk gue ini bervariasi."

Rania tertawa. Seperti yang dikatakan gadis itu sendiri, bekal Rania memang sangat monoton. Kalau kata Fania, itu dikarenakan mama dan papanya yang sibuk, jadi tidak punya waktu untuk memasak bermacam-macam lauk. Ya untuk tiga hari berturut-turut, bisa saja lauk Fania sama saja. Berbeda dengan Rania yang mamanya selalu punya waktu untuk memasak.

"Gue hari ini bawa udang tepung sama sayur bayam. Gue bawa lebih karena gue cerita ke mama kalau gue punya teman yang lauknya monoton banget."

Fania melebarkan matanya terkejut. Gadis itu sampai memukul bahu Rania karena tidak percaya dengan apa yang baru saja teman sebangkunya itu katakan. "Lo beneran aja deh Ran! Gue jadi ga enak anjir sama mama lo."

Rania sengaja diam, sampai akhirnya tawanya tersembur juga walau tak keras. Wajah Fania yang panik selalu berhasil mengocok perut bagi yang melihat. "Enggak, Fan. Gue cuma bercanda. Gue bawa lebih emang sengaja buat lo kok."

"Dih, udah bisa becanda ya lo sama gue! Kesel gue."

"Udah keselnya, nih udang sama sayur bayam buat lo. Makan yang banyak."

Fania mengesampingkan rasa kesalnya dan memilih untuk menerima dengan antusias lauk yang diberikan oleh Fania. Rania tersenyum melihat itu, rasanya ia sudah melakukan sesuatu yang sangat baik hari ini.

Di tengah-tengah suasana makan yang lumayan menyenangkan itu, Kaluna tiba-tiba datang dan bergabung dengan dirinya dan Fania. Tangan kanan gadis itu menggenggam tas yang berisi bekalnya, sedangkan tangan kirinya memegang laptop yang terbuka, tapi layarnya menggelap. Kedatangan Kaluna membuat ia dan Fania saling bertatapan untuk beberapa saat.

"Gue boleh gabung?" tanya Kaluna dengan ramah. Belum juga salah satu dari Rania dan Fania menjawab, gadis itu sudah duluan mengambil kursi dan duduk di sisi kanan Rania. Gadis itu meletakkan laptop dan bekalnya di atas meja yang sama dengan ia dan Fania, sehingga keadaan meja mereka saat itu jadi lumayan penuh dan ramai.

Ini aneh, tidak biasanya Kaluna datang makan tiba-tiba seperti ini. Biasanya ia akan makan bersama Diana dan teman-teman lainnya di luar kelas. Rania dan Fania jarang bergabung karena rasanya lebih nyaman saja makan di meja sendiri dengan damai. Kedatangan Kaluna menimbulkan banyak sekali pertanyaan untuk dua teman sebangku itu.

"Tumben banget lo ga makan bareng anak-anak yang lain, Lun?" Tentu saja itu bukan Rania yang bertanya, melainkan Fania. Fania memang anak yang terkesan blak-blakan sekali kalau berbicara.

"Kalian berdua jarang gabung makan di kantin bareng kita, jadi gue kali ini mau makan bareng kalian."

Diam-diam Rania mengerutkan dahinya ketika mendengar perempuan itu berbicara. Apa maksud penggunaan kata kita dalam kalimat Kaluna itu? Jadi menurut Kaluna, ia dan Fania berada dalam kelompok yang berbeda dengan teman-teman sekelas yang lain?

"Jangan dipikirin, Ran," celetuk Fania, membuat Rania mau tak mau menoleh ke arah perempuan itu. Sedikit kaget karena sepertinya Fania tahu apa yang ada di pikiran Rania.

"Emang Rania mikirin apa?" Kali ini Kaluna yang bertanya.

"Rania suka mikir serius ga tau tempat, jadi harus diingetin anaknya."

Thanks, Fania. Batin Rania merasa lega karena Kaluna tidak bertanya lebih lanjut.

Akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk melanjutkan kegiatan makannya. Awalnya mereka damai-damai saja, sampai akhirnya Kaluna kembali membuka percakapan yang membuat kegiatan makan itu tidak hanya sekedar makan, tapi juga ada chemistry di dalamnya.

"Kalian mau liat foto Hasta waktu masih kecil ga?"

Rania menoleh kepada Fania, jujur rasanya akhir-akhir ini Kaluna seringkali membicarakan Hasta, setidaknya itu yang dirasakan Rania setiap saat bersama Kaluna. Berbicara dengan Kaluna memang menyenangkan, tapi untuk beberapa alasan, Rania merasa jengah kalau perempuan terus-terusan menjadikan Hasta sebagai topik pembicaraan. Seolah-olah Kaluna sengaja menunjukkan ketertarikannya kepada laki-laki itu, jika Rania tidak salah tangkap.

"Kenapa foto kecil Hasta sampai ada sama lo?" Fania bertanya, sedangkan Rania memilih untuk lanjut saja memakan bekal siangnya.

"Karena ini laptop Hasta. Gue pinjem laptop Hasta buat tugas ppt kelompok bahasa." Kaluna dengan senyuman menawannya, beralih Rania yang daritadi memilih diam saja. "Lo mau liat ga Ran?"

Ga mau.

"Oke." Rania mengalah lagi supaya Kaluna tidak terus merecoki.

Kaluna mendekat, tidak lupa merubah posisi laptop yang katanya milik Hasta itu juga sedikit mengarah kepadanya. Satu persatu foto Hasta terlewati, dari foto keluarga laki-laki itu, foto orang tuanya, adik laki-lakinya, sampai foto laki-laki itu yang hanya seorang diri. Tidak lama foto masa kecil laki-laki itu terlihat. Pencarian Kaluna berhasil, iapun berhenti mencari dan mengarahkan laptop itu sepenuhnya kepada Rania.

Rania memandang foto itu dalam diam, hingga tanpa sadar senyum kecilnya terbit bertepatan dengan matanya yang memperhatikan bagaimana Hasta kecil tersenyum. Rania baru menyadari, Hasta yang ia temui di zaman sekarang bisa jadi semanis itu ketika kecil. Dan mata coklat gelap itu, terlihat lebih menggemaskan dibanding mata coklatnya yang sekarang.

Kenapa sih mata coklat itu harus lo yang punya, Ta? Gue juga mau.

Dengan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang