No. 24

16 4 2
                                    

Sudah dua minggu terlewati, sejak Hasta mendatangi rumahnya malam-malam sembari membawa martabak. Tidak banyak yang terjadi, hidupnya selama dua minggu belakangan terasa monoton dan biasa-biasa saja. Kalau ditanya soal perkembangan proyek ekskulnya, maka jawabannya sangat-sangat lancar malah. Tiba-tiba saja di minggu kedua, jumlah siswa dan siswi yang ingin memberikan cerpennya membludak begitu saja. Sudah dipastikan majalah untuk kelompok mereka akan sukses.

Rania memberikan tiga karya cerpennya kepada Alan, judulnya Bersemu Merah, Upil Tengil, dan Tangisan Sedu. Yang terakhir pasti sudah ditebak darimana inspirasinya, apalagi kalau bukan dari masalah hubungan antara dia dan Hasta. Rania kira, perasaannya akan cepat menghilang setelah ia memutuskan untuk mengubur perasaannya, tapi ternyata tidak semudah itu. Perasaan itu masih ada.

"Nanti gue coba hubungi percetakan?"

"Boleh banget. Untuk pengeditan cover dan sejenisnya gimana, Ran?"

"In progress," jawab Rania mantap. "Tapi nanti sore gue bisa kirim ke grup desain-desain yang gue buat. Ntar bisa dipilih, terus bisa dikasih ke Pita dan kawan-kawan buat pengeditan keseluruhan."

"Oke, mantep. Selanjutnya..."

Banyak sekali yang akan mereka lakukan, tapi untung saja semua bisa dikerjakan dengan aman karena semua pekerjaan sudah dibagi sesuai kapasitas. Kalau saja masing-masing diri bisa disiplin, Rania yakin tidak lama lagi majalah ini akan terbit dan diperbanyak.

Setengah jam kemudian, rapat ekskul mereka selesai. Semua orang bergerak merapikan barang-barang mereka, tapi tidak dengan Rania yang masih saja berkutat dengan laptop dan desainnya. Ketika teman-temannya memilih untuk pulang, Rania memilih untuk bertahan lebih lama di ruangan ekskul itu. Tanggung pikirnya kalau harus dilanjutkan di rumah.

"Lo engga pulang, Ran?" Hasta datang menghampiri.

"Belum, bentar lagi gue pulang."

Hasta sudah dalam posisi siap pulang, tapi karena melihat Rania sendirian di ruang ekskul yang sepi, Hasta memilih duduk disamping Rania untuk menemani perempuan itu bekerja. Hasta tidak melakukan apa-apa sebenarnya, tapi Rania tidak bisa fokus karena kehadiran laki-laki itu. "Lo kenapa ga pulang, Ta?"

"Nungguin lo."

"Gausah, gapapa. Duluan aja."

Hasta menggelengkan kepalanya sebagai penolakan. Tiba-tiba seorang laki-laki datang, Rania tidak kenal siapa, tapi melihat Hasta langsung bereaksi akan kedatangan laki-laki itu, Rania jadi menyimpulkan kalau laki-laki itu adalah salah satu teman Hasta.

"Lo yakin nih motor gue pake?"

"Iya, aman lah."

"Terus lo pulang gimane, bocah?"

"Aman. Sono lu, jangan lecet motor gue."

Bohong kalau Rania bilang dia tidak mendengar percakapan yang jelas-jelas terjadi di ruangan yang sama dengan keberadaannya. Ditambah Hasta dan temannya itu tidak repot-repot untuk mengecilkan suaranya seolah keduanya sudah memberikan izin terbuka kepada siapapun yang ingin mendengarkan percakapan mereka. Walaupun begitu, tetap saja Rania tidak ingin terlihat menguping percakapan tersebut.

"Gue nebeng pulang sama lo ya?"

Rania membulatkan matanya, ia langsung menghentikan pekerjaannya untuk memberikan pandangan terkejut. Kontras sekali dengan ekspresi Hasta yang malah nyengir tidak bersalah. Rania mengikuti langkah Hasta yang berjalan untuk duduk di kursi kosong sebelahnya—kursi yang sejak awal sudah diduduki oleh laki-laki itu. "Terus kenapa lo pinjemin motor lo ke temen lo kalau akhirnya lo gaada kendaraan pulang?"

Dengan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang