Epilog

47 4 4
                                    

Hasta masih ingat sekali saat itu, kala ia bertemu pertama kali dengan perempuan kaku nan canggung yang berhasil mencuri hatinya. Tak pernah menyangka ia, kalau perempuan itu ternyata di masa depan menjadi salah satu perempuan yang dipujanya sepenuh hati selain ibunya. Tidak ada yang menyangka, Rania akan menjadi kisah romansa remajanya yang manis.

Hasta membuka bagasi mobilnya untuk merapikan semua alat-alat permainan bulu tangkis yang tadi ia letak berantakan di kursi penumpang. Saat itu matahari hampir sampai pada puncak kepala, sebagai salah satu insan yang tinggal di ibukota yang super sibuk itu ditambah dengan polusi yang luar biasa memenuhi kota, rasanya kepala Hasta terasa terbakar tiap pergi keluar. Makanya, ia malas sekali kalau disuruh keluar pada siang hari. Hasta lebih senang bermain keluar saat malam, ketika udara lumayan sejuk dan kulitnya tak harus terpapar panas.

"Woi! lo lama amat!" Hasta langsung disapa nada bicara amarah dari temannya bernama Seno yang tadi ia suruh memesankan donat. Hasta suka donat, apalagi kalau donat moca.

"Kenapa sih? Kesel bener," kata Hasta santai.

"Gimana gak kesel, gue lama ngantri di sini gara-gara pesanan donat lo yang gajelas."

"Kenapa sih? Sensi amat."

"Tuh gara-gara tuh cewek. Mesen donat kayak nenek-nenek. Lamanya seabad!"

"Hah? Gimana gimana?"

"Pokoknya gue kesel dah sama tuh cewek!" kata Seno sambil matanya menunjuk ke arah sosok yang sedang makan, asik sambil memainkan hp.

Mata Hasta mengikuti ke arah tuju mata Seno. Tak jauh dari posisinya, Hasta melihat seorang perempuan sedang memakan donatnya nikmat yang fokusnya hanya tertuju kepada hp yang berada di genggamannya. Perawakannya mungil, kalau berdiri pasti perempuan itu hanya setinggi bahu atau telinga Hasta. Pakaiannya sederhana, wajahnya pun tak terpoles apa-apa, dan rambutnya yang terikat kuda sedikit berantakan karena angin luar mungkin. Walaupun hanya dapat melihat perempuan itu dari samping, menurut Hasta perempuan itu manis.

"Yaudah sih, mana donat gue?" tanya Hasta akhirnya.

"Donat, donat. Makan tuh donat," kesal Seno.

Hasta pikir, ia tidak akan bertemu lagi dengan perempuan donat itu. Ternyata semesta berkata lain, ia kembali dipertemukan di sekolah dan di kelas yang sama. Perempuan itu jarang sekali berbicara, tetapi justru karena keterdiamannya itu membuat Rania menjadi begitu mencolok di matanya. Hasta masih ingat saat sebuah bola hampir mengenai kepala perempuan itu, rasanya jantung Hasta ingin jatuh seketika kalau sampai ia tidak berhasil menangkap bola itu tepat pada waktunya. Ekspresi terkejut perempuan itu cukup menyita perhatiannya sampai alam bawah sadarnya kembali saat ia mendengar kata terimakasih yang pelan dari perempuan itu. Itu adalah kata pertama yang diucapkan Rania kepadanya.

Semesta sering mempertemukannya dengan gadis itu, hingga sampai di titik Hasta sadar ia punya rasa untuk Rania. Sejujurnya ia tidak tau kapan perasaan itu tumbuh, setiap hari di matanya Rania selalu tampak makin mempesona. Walau tak dipungkirinya ada banyak kekurangan yang dimiliki perempuan itu, tapi entah kenapa Hasta setidaknya ingin membantu membuat perempuan itu mampu mengatasi kekurangannya. Betapa senangnya Hasta ketika tau bahwa setiap senyuman dan tawa perempuan itu terkadang berasal darinya. Tapi betapa marahnya Hasta ketika tahu, ada laki-laki lain yang ikut mencoba masuk dalam kehidupan Rania.

Adam, anak baru dari kelas IPS yang mengaku sebagai teman dekat Rania.

Hasta masih ingat ketika matanya menangkap pemandangan gadis yang disukainya itu tengah pingsan dan digendong oleh anak baru itu. Amarah memenuhi sampai ke puncak kepala, tapi iapun tak bisa berbuat apa-apa karena sudah keduluan. Alhasil ia hanya bisa mengawasi dari depan UKS untuk mengetahui bagaimana keadaan perempuan itu. Hasta ingin sekali masuk dan menunggu perempuan itu sampai kembali sadar. Tapi ia tidak punya keberaniaan, sehingga yang bisa ia lakukan hanyalah memandang dari kejauhan.

Mengetahui saingan mulai datang, Hastapun berniat untuk bergerak lebih cepat. Selalu ia berusaha mencari cara agar dirinya menjadi lebih dekat. Untung saja mereka dipertemukan dengan proyek sekolah yang membuat jalan Hasta semakin mulus, jadinya ia memiliki banyak waktu berdua dengan perempuan itu. Namun tetap saja Adam selalu mengganggu. Ide untuk datang dan menonjok laki-laki itu sampai biru-biru tak datang sesekali memasuki pikiran Hasta. Namun, Hasta tak punya hak untuk menonjok dan merasakan amarah itu. Ia bukan siapa-siapa Rania. Akhirnya Hasta sampai di titik harus melakukan opsi menembak. Ia tidak mau Rania menjadi milik yang lain. Namun, bayang tinggal bayang, Rania menolaknya.

Rasanya hatinya remuk.

Dan semakin remuk ketika perempuan itu pergi meninggalkannya. Sekarang Hasta hanya bisa memandangi foto Rania yang beberapa kali ia ambil diam-diam dengan kameranya. Perempuan itu tampak manis dan menawan. Bibirnya tersenyum dan matanya yang sendu memandang sekitar dengan tulus. Hasta menyukai semua yang ada pada Rania, tapi sekarang perempuan itu pergi.

Hasta tak berani menghubungi Rania karena ia takut dirinya akan mengganggu perempuan itu. Lagipula, ia sendiri tak sanggup untuk menghubungi perempuan itu karena terlampau sedih. Layaknya laki-laki pada umumnya yang punya masalah, maka iapun melampiaskannya dengan menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan yang dapat membuatnya teralihkan.

Di satu sisi, sosok Rania hampir terhapus dari pikirannya, tapi kenangannya? Rania akan selalu ada. Ketika rasa pesimis timbul, Hasta berniat untuk melangkah maju dan menerima kalau pertemuannya dengan Rania tidak mungkin terjadi lagi. Peluangnya kecil, yang ada Hasta akan menyakiti hatinya sendiri. Realistis saja, mungkin semesta mempertemukan dirinya dengan Rania hanya sebagai sosok yang memberikan pelajaran. Walau jauh di dalam sana, hatinya masih menginginkan perempuan itu, Hasta akan tetap mencoba ikhlas. Waktu pasti akan menyembuhkan, pikirnya.

Namun pikiran-pikiran itu perlahan runtuh, apalagi ketika tau bahwa dia diterima di salah universitas yang ada di Jogja. Fakta itu membuat harapannya diam-diam menyerebak kembali ke permukaan. Tapi Hasta tetap mencoba menekan harapan itu agar dirinya tak terluka. Semester pertama berkuliah di Jogja, dijalaninya dengan damai. Hasta sudah hampir melupakan Rania sepenuhnya. Sampai kejadian di kafe itu... ia bertemu kembali dengan perempuan yang menjadi cinta pertamanya.

Hasta kira perasaan itu sudah hilang, tapi ternyata Rania masih bisa membuat seisi darahnya berdesir. Rania selalu berhasil membuat dirinya panas dingin karena saking gugupnya. Rania yang sekarang tampak lebih menawan. Rania sudah berani mengeskpresikan isi pikirannya walau sikap pendiamnya tak sepenuhnya menghilang. Namun, Hasta tau, Rania sudah sangat percaya diri dengan dirinya sendiri dibanding dulu.

"Lo sekarang minum americano?"

Rania terkekeh kecil, "Sekarang gue suka kopi pahit. Keren kan?"

Hasta ikut terkekeh, dibalas senyuman lebar oleh Rania. Hasta senang.

Kalau kondisinya begini, Hasta boleh berharap lagi kan?         

   END   

***

Terimakasih kepada teman-teman yang sudah mau membaca "Dengan Dia". Aku sangat menghargainya.  Walau sederhana dan klise, aku harap kisah Hasta dan Rania ini dapat menghibur, memberikan rasa baru, serta berkesan di memori teman-teman.  Kritik dan saran terbuka lebar, karena sebaik-baiknya cerita pasti akan selalu ada celah kekurangannya. Mari kita kembali berjumpa di karyaku yang lain! Semoga hari teman-teman menyenangkaan!

-Mendung Asa

Email : mendungasa.official@gmail.com
blog pribadi : https://mendungasa.blogspot.com/
Instagram : @mendung_asa

Dengan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang