No. 22

13 3 2
                                    


Hampir saja untuk kedua kalinya Rania telat. Terimakasih kepada pak satpam yang sudah mau berbaik hati kepadanya dan terimakasih kepada siswa lain yang pintar sekali mengambil hati si bapak satpam. Rambut sebahu yang ia gerai jadi sedikit berantakan karena berlari tadi, sambil berjalan ia merapikan rambutnya agar kembali ke bentuk serupa.

Setitik air hujan turun dari langit, Rania memandang ke atas, dalam hati ia bertanya-tanya, akan selebat dan sericuh apakah tangisan langit kali ini? Langit terlihat gelap sekali dan deru angin menusuk leher Rania yang hanya terhalang rambutnya yang juga tidak tebal-tebal sekali.

Rania berlari sekencang yang ia bisa menuju kelas, selain untuk menghindari hujan, tapi juga untuk menghindari keterlambatan kedua dari guru yang masuk. Namun ketika masuk kelas, tidak ada satupun orang dewasa yang duduk di kursi yang diperuntukkan untuk guru itu. Bahkan diluar ekspetasi, kelas yang seharusnya diam dan hening malah sangat berisik dan tidak kalah ricuh dengan tangisan langit yang akan datang.

"Cieeeee."

Sambil berjalan menuju kursinya, Rania mengamati kelas dengan sangat kebingungan. Bahkan kebingungannya menjadi bertambah-tambah saat ia berpapasan dengan Kaluna dan berkata, "Gue di pihak lo, Ran," ujar Kaluna sambil menepuk bahunya singkat. Setelah berujar tanpa petunjuk begitu, Kaluna langsung duduk di kursinya yang bersebelahan dengan kelompok kursi Rania-Fania, sangat berlawanan dengan arah yang menjadi pusat kericuhan.

Rania memandang Fania dan pusat kericuhan secara bergantian, ia benar-benar tidak mengerti dengan situasi kelas yang ribut. "Kenapa sih, Fan?"

"Ada sesuatu, tapi lo gapapa kan ya?"

Rania mengerutkan dahinya, "Maksudnya?"

"Diana suka sama Hasta." Fania memberikan jeda sejenak untuk sekedar melihat reaksi yang akan diberikan oleh teman sebangkunya itu. "Tadi Qatar buka hpnya Diana, terus gak sengaja liat kolom chatnya Diana sama Hasta di wa. Chatnya paling atas terus pake ada kata selamat tidur gitu. Karena itu orang pada ngeceng-cengin Hasta-Diana. Lo... gapapa kan Ran?"

Rania diam saja. Ia tidak tau harus bereaksi apa sekarang. Senang? Tapi untuk apa merasa senang? Sedih? Tapi untuk apa juga merasa sedih. Semakin tidak masuk akal. Akhirnya ia menunjukkan senyumnya yang biasa, "Apa ada alasan buat gue untuk ngerasa... gapapa?" Rania sedikit tercekat saat mengatakannya.

"Semua anak kelas tau kalau belakangan ini Hasta deketnya sama lo, jadi gue pikir kalian ada—"

"Fan..." Rania menambah nada bicara geli di sana. "Gue sama Hasta itu ga kayak yang kalian pikirin. Kita deket cuma karena proyek ekskul. Selebih itu? We're nothing."

Akhirnya Pak Jono, guru Fisikanya masuk ke kelas. Berkat kehadiran pak Jono, Rania dapat menyudahi percakapannya dengan Fania dan kini kelas jadi tidak sericuh sebelumnya. Semua orang sudah kembali ke tempat duduk masing-masing, sehingga hal itu membuat Rania dapat melihat Hasta yang juga sudah mulai fokus dengan buku di mejanya. Kemudian mata Rania juga berpindah ke Diana yang duduk di kursi deretan pertama, tempat duduk Diana dan Hasta berada di kelompok yang sama, hanya saja mereka terpisah oleh satu meja yang diduduki Qatar dan Farhan. Dari tempat duduk Rania, ia dapat melihat Diana sedang tersenyum. Perempuan itu pasti sedang berbunga-bunga.

Langit akhirnya menangis.

***

"OY!"

Rania terperanjat. "Adam, salam dulu!"

Laki-laki yang dimarahi oleh Rania itu malah terbahak. Adam yang tadi berjalan mengikuti kelompok teman-temannya, sekarang memilih duduk menemani Rania yang terlihat kesepian. Lihat saja ekspresi perempuan itu sekarang, sangat mengenaskan. Pasti perempuan itu sedang memikirkan sesuatu yang rumit di kepala kecilnya.

Dengan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang