Rania memarkirkan motornya di parkiran dengan napas yang memburu, padahal dia mengendarai motor bukan berlari. Sekarang sudah setengah delapan, artinya dia sudah sangat telat untuk masuk ke sekolah. Hari ini adalah pertama kalinya untuk Rania merasakan sesuatu yang bernama telat. Rusak sudah rekor Rania sebagai murid teladan.
"Yang telat baris di sini!"
Rania berdecak. Dengan langkah berat, ia berjalan menuju barisan yang mulai dibuat. Rania berdiri di urutan ketiga untuk anak kelas sebelas yang telat. Tidak ada satupun yang Rania kenal, hal ini membuat Rania merasa cemas karena merasa sendiri di tengah keramaian.
"Kamu kenapa terlambat?" Bapak berkumis tebal itu bertanya kepada Rania. Intonasinya membentak, bahkan cipratan air suci yang keluar dari mulut bapak itu mengenai wajah Rania beberapa butir. Sebelum menjawab, diusapnya wajahnya itu terlebih dahulu.
"Maaf pak, tadi jalanan macet."
"Alesan aja kamu!"
Reflek Rania memejamkan matanya lagi karena air suci yang lagi-lagi mengenai wajah Rania. Datanglah perasaan lega setelah si bapak kumis mulai beranjak dari depannya untuk menginterogasi siswa lain yang terlambat. Menyebalkan sekali si bapak kumis!
"Psst, psst!"
Rania mengerutkan dahinya ketika mendengar suara desisan itu tepat berasal dari orang di sebelahnya. Rania menoleh dan sedikit terkejut ketika ada seorang laki-laki asing menatapnya dengan intens, seolah ia kenal dengan Rania.
"Gue?"
"Iya lo."
"Ke-kenapa?"
"Lo utang terimakasih sama gue."
Rania mengerutkan dahinya tidak mengerti. Apa-apaan sih cowok ini?
"Lo kayaknya salah orang. Gue gak kenal sama lo."
Laki-laki menggeleng. Ia bersikeras dengan kata-katanya tadi. "Ga, emang lo orangnya. Gue tau!"
"HEH! UDAH TAU TELAT PAKE NGOBROL LAGI!"
Spontan Rania dan si laki-laki asing itu menunduk berbarengan setelah dibentak oleh pak kumis. Rania melirik laki-laki di sebelahnya itu diam-diam. Ia mencoba mengingat dan mencari tau siapa laki-laki yang sedang sok kenal itu kepadanya. Namun, sekeras apapun Rania berpikir, ia tetap tidak menemukan jawaban. Misteri besar untuk Rania.
Lamunan Rania berhasil dirusak oleh pak kumis karena perintah yang diberikannya sambil berteriak-teriak marah. Rania kebagian tugas untuk menyapu halaman dan sialnya ia disatu tugaskan bersama laki-laki yang menagih utang terimakasih itu kepadanya.
"Kalau boleh tau, gue utang karena apa ya?" Rania akhirnya memberanikan diri untuk bertanya duluan karena merasa gemas tidak kunjung mendapatkan jawaban.
Si laki-laki itu bukannya menjawab, ia malah melipat kedua tangannya sambil memandang Rania datar. Keduanya hening, tidak mengeluarkan sepatah katapun. Sikap laki-laki itu membuat Rania dan ia seperti seorang pasangan remaja kasmaran yang sedang saling bertatapan atau mungkin sepasang remaja yang sedang bermusuhan?
Akhirnya Rania memilih mengalihkan pandangannya saja asalkan matanya tidak menatap laki-laki tersebut.
"Lo itu si cewe kantin yang pingsan. Gue laki-laki yang nolong si cewe yang pingsan itu."
Rania melotot. "Lo yang bantuin gue?!"
Laki-laki itu mengangguk sombong. Wajahnya terlihat sangat menyebalkan.
"Kalau boleh tau, gimana caranya lo bantu gue?"
"Gue gendong."
"Gendong?!"
"Iya, gendong di sini nih." Laki-laki itu memperlihatkan punggungnya dengan ekspresi masih sama sombongnya. "Gue gendong di punggung lebar gue."
Rania langsung berjongkok sambil menutup wajahnya malu. Seumur hidup dia tidak pernah digendong oleh laki-laki lain selain ayahnya. Sial! Rania yakin pasti saat itu dia sudah menjadi pusat perhatian satu sekolah.
Setelah Rania puas berteriak dalam diam, ia kembali berdiri dan berusaha kembali memposisikan dirinya dengan baik di depan laki-laki itu agar tidak semakin terlihat memalukan. "Makasih, tapi bisa lo lupain aja ga?"
"Kenapa harus dilupain?"
"Karena buat apa juga lo inget?"
"Lo banyak bicara ya? Padahal mukanya kayak pendiem." Setelah mengatakan itu, ia mengulurkan tangannya. "Gue Adam, anak IPS. Lo?
Rania berhasil dibuat hilang kata-kata, tapi akhirnya ia membalas juga sebagai bentuk sikap sopan. "Rania, anak IPA."
"Lupain aja ya soal kemaren itu dan makasih ya... Adam."
***
"Kemaren yang bantuin gue ke uks siapa, Fan?"
Fania mengingat-ngingat sejenak, "Cowo, tapi gue ga tau namanya siapa."
Ternyata benar. Laki-laki bernama Adam itu berkata jujur. Badan Rania langsung merasa lemas ketika mengetahui bahwa dia benar-benar sudah digendong oleh laki-laki asing di punggungnya. Memalukan sekali.
"Kenapa emangnya?"
"Cowo itu tadi juga telat terus dia bilang ke gue kalau gue utang terimakasih sama dia."
"Cieee!"
"Kok cie sih?"
"Ketemu sama yang gendong."
"Apa sih Faan! Lagian kenapa ga lo aja sih yang gendong gue?" tanya Rania kesal.
"Mana kuat gue! Ga liat nih badan gue sebelas dua belas sama lo?"
Berbicara dengan Fania membuat tubuhnya semakin lemas saja. Nasi sudah menjadi bubur dan kenyataan juga tidak akan pernah bisa diubah, jadi yang bisa Rania lakukan sekarang adalah melupakan.
Mana bisa anjir! Butuh hal yang lebih memalukan lagi buat gue untuk lupain itu!
"Ran, lo bawa motor?" Rania langsung menegakkan kepalanya. Ada Hasta di sebelah mejanya.
"Bawa."
"Yaudah, lo anterin motor lo ke rumah lo dulu aja. Entar lo sama gue pergi ke kafenya."
"Ta-tapi." Belum juga Rania memberikan jawaban, laki-laki itu sudah pergi keluar bersama teman-temannya untuk bermain basket di lapangan. Dasar anak laki-laki, suka sesukanya saja kadang. Karena Hasta, kondisi Rania jadi semakin memburuk.
"Cieee..."
"Apa lagi sih Fan, cie-cie mulu!"
Fania ingin membalas, tapi Hasta kembali datang seperti sedang kelupaan. Rania lagi-lagi jadi harus menegakkan tubuhnya, mengenyahkan tubuhnya yang terasa lemas untuk sejenak.
"Nih Ran, buat lo. Gue kenyang." Laki-laki itu meletakkan sebuah roti di atas mejanya, lalu langsung berlari keluar secepat petir menyambar.
"Cieee..."
"Bisa diem ga, Fan?!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Dengan Dia
Teen FictionKamu adalah kisah romansa yang sangat manis untuk dikenang. Terimakasih ya dan jangan tunggu aku, berbahagialah demi dirimu sendiri. -Rania Putri published 2020 Cover by pinterest