No. 29

14 4 5
                                    

Rania memandang wajahnya sendiri di depan kaca, penampilannya biasa-biasa saja, sama seperti biasanya. Hanya saja mungkin perasaannya tidak senang, karena mau tidak mau ia harus kembali bertemu dengan Hasta yang pasalnya tak ingin ia temui. Rania ingin menghindari laki-laki itu, sekeras yang ia bisa. Namun, tetap saja itu tidak mungkin. Ini adalah resiko menyukai teman kelasnya sendiri.

"Udah gue bilang, kalau mau suka sama cowo, sukanya sama cowo dari kelas lain atau kalau bisa yang dari sekolah lain aja. Sama teman sekelas sendiri itu ribet tau!"

"Ya, andaikan perasaan bisa diatur seenak jidat ya, kalau bisa gue ga usah suka aja sama cowo."

"Lah terus sukanya sama cewe?"

"Ya ga gitu, suka-sukaannya entar aja, pas udah di umur yang matang."

Begitulah percakapannya dengan Fika tadi malam di telepon. Memang apa yang dikatakan Fika ada benarnya, tapi tetap saja kata-katanya tersebut tidak memberikan solusi karena yang namanya perasaan tak bisa diatur sesuka hati.

Rania menghela napas, disandangnya tas sekolah itu, lalu ia pun keluar dari kamarnya untuk bersiap sarapan pagi. Jam sudah menunjukkan pukul enam tepat, masih sangat pagi untuk pergi ke sekolah, tapi tidak masalah. Rania membutuhkan suasana pagi yang damai pagi ini, tanpa ditemani kemacetan dan klakson yang saling bersahutan. Rania duduk di meja makan keluarga yang kecil, kursinya hanya ada tiga yaitu untuk ayah, ibu dan dirinya. Pagi itu ia hanya sendirian dan bahkan sarapannya belum tersedia. Apa ibu belum bangun?

"Rania, kamu ga usah sekolah hari ini ya."

Rania berbalik, ia memandang ayahnya dengan kening yang berkerut. "Kenapa gitu?"

"Kita harus ke Jogja sekarang."

***

Rania alpa. Tidak ada yang tau alasan ketidakhadiran perempuan itu, bahkan Fania ikutan kesal karena dirinya juga tidak dikabari oleh Rania. Sudah sejak tadi pagi ia mengirimkan pesan kepada Rania, tapi boro-boro mau dibalas, dibaca saja tidak. Perasaan Fania berbanding terbalik dengan perasaan yang dirasakan oleh Hasta. Kalau Fania marah, maka Hasta jadi uring-uringan. Niat Hasta tadi, ia ingin menyelesaikan masalahnya dengan Rania. Walau Rania tidak mau menerima perasaannya, setidaknya mereka tidak jadi dingin begini.

Pagi ini Hasta sengaja datang ke sekolah pagi sekali agar ia bisa cepat bertemu dengan Rania. Namun perempuan yang diharapkan kehadirannya itu tidak kunjung menampakkan diri. Hasta jadi semakin gusar perasaannya.

"Aman, bro?" Farhan bertanya. Akan tetapi Hasta tidak menjawab. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan siapa-siapa hari ini.

"Ngantuk gua, ke wc dulu kali ya?"

Setelah mengucapkan itu, Hasta bangkit dari bangkunya untuk pergi ke toilet. Lorong sekolah tampak ramai karena semua guru sedang rapat. Dari jam sepuluh tadi hingga sekarang matahari sudah di atas kepala posisinya, rapat itu belum juga usai. Mungkin karena sebentar lagi ujian semester ganjil akan dimulai, jadi akan ada banyak hal yang harus dipersiapkan guru-guru.

Hasta membasuh wajahnya dengan air segar. Ia memandang wajahnya sendiri di depan kaca sejenak, sebelum ia memutuskan untuk keluar. Ia tidak berniat untuk kembali melangkah ke kelas, alhasil dia melangkahkan kakinya ke lapangan basket sekolahnya. Hasta sudah berekspetasi kalau lapangan itu akan sangat ramai oleh anak-anak iseng yang bermain basket, tapi siapa sangka yang meramaikan lapangan basket salah satunya adalah Adam dan teman-teman geng IPSnya. Selain itu, juga ada anak IPA yang ikut bermain karena juga saling kenal.

Hasta duduk di tepi lapangan untuk sekedar menonton pertandingan basket itu, permainan mereka bagus sekali sampai dari kedua tim yang bertanding kewalahan karena skor terus menerus seri. Namun, tidak lama kemudian salah satu anggota jatuh sampai terkilir karena bermain dalam keadaan lelah, tapi tetap saja dipaksakan. Alhasil si anak yang jatuh ini harus istirahat dan harus digantikan dengan yang lain.

Dengan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang