Selesai meletakkan helmnya ke stang motor Nesta berjalan cepat mengikuti kakaknya. Hari ini dia sengaja nebeng, lelah sekali bagi Nesta mencari identitas anak perempuan di foto itu, dari mencari koran di tahun sama kejadian kecelakaan beruntun tol itu sampai harus ke panti asuhan.
"Kak Virgo!"
Nesta memanggil kesekian kali, beranikan diri menghalangi jalan Virgo menapaki anak tangga.
"Seminggu lebih aku cari tapi gak membuahkan hasil. Bantuin aku, Kak, sekali ini aja kasih cluenya."
Nesta tau Virgo berbeda dengan Elang. Tidurnya pun tidak cukup, kakak sulungnya itu terus bertanya padahal sedikitpun Nesta belum menemukan jawaban yang pasti.
"Tanpa clue gue bahkan bisa kasih satu nama buat lo. Siapa dia sebenarnya, kenapa identitasnya sengaja disembunyikan karena seperti yang pernah gue bilang terlalu bahaya," sahut Virgo santai.
Senyuman Nesta merekah, bahagia kali ini memegang pergelangan tangan Virgo semangat. "Pengen tau, please! Aku gak ngerti maksud Kak Elang tapi Kak Elang katanya perlu simbosis mutualisme, kan aku tinggal di rumah kalian!"
Sesuai dugaan Virgo sebelah tangan Virgo lalu mengacak gemas rambut Nesta, membawanya ke sisi tangga.
"Ini terlalu rahasia, jangan ada yang tau. Gue percaya sama lo."
"Oke."
Pandangan Nesta tidak luput dari Virgo dari cowok itu merogoh saku almamater sampai membuka layar hape dan menekan kumpulan foto.
"Cuma beberapa orang yang tau, kalau gue kasih tau ke elo itu berarti gue benar-benar percaya. Sekali lagi jangan sampai bocor, tutup mulut." Virgo menatap mata Nesta tepat. "...gue udah anggap lo sebagai adik gue. Adik angkat atau apalah itu. Gak sama sekali! Apalagi dari kecil kita dah serumah!" lanjutnya tegas.
Nesta tertegun sejenak, tenggorokannya tercengat makin susah bernapas setelah Virgo memberikan kode, foto di layar menampilkan seorang gadis tengah tersenyum tipis sembari merentangan tangan, menikmati sunset di perbukitan.
"Dia adik gue dan Kak Elang!"
"It---itu mustahil."
Kaki Nesta dibuat lemas.
"Apanya yang mustahil? Dia memang adik gue. Nessa Granya Pradana."
Nesta tidak bisa mengelak, ada rasa tak terima di dalam dirinya. Sebelah tangan Nesta terkepal kuat, seharusnya Nesta menyadari. Dari dulu gadis di foto itu seolah memiliki keistemewaaan.
"Dia selamat dari kecelakaan walau pun kritis satu bulan, banyak luka. Gue harap gak membekas hingga kini." Kehangatan Virgo pudar, suaranya lebih ditekankan. "Ingat yang gue bilang tadi kalau lo gak nurut, terima balasannya!"
Setelah selesai mengatakannya Virgo kembali berjalan meninggalkan Nesta yang bergeming sembari menunduk dalam, lagi-lagi mustahil. Bagaimana bisa perempuan itu adalah Nessa adik bungsu keluarga Pradana, cucu perempuan satu-satunya di keluarga itu.
Badan Nesta luruh, bersandar di pembatas tangga. Ujung matanya panas, hati gadis bertubuh mungil itu sangat sakit. Cepat atau lambat kehadiran perempuan itu akan ada di rumah.
****
Istirahat pertama Alea dipanggil ke kantor yang heboh justru Senja, di dua meta pelajaran berlangsung Senja terus bergerak gelisah.
Di sinilah Alea berada, depan kantor guru RHS di tengah gedung, pemisah dari gedung berjejeran kelas berdiri berhadapan dengan wanita berumur hampir setengah abad, kacamata bulat itu melorot sesekali si empu memperbaiki letaknya.
"Nilai sejarah kamu banyak banget yang kosong."
Alea meringis berharap guru lain tidak mendengar. Dia masih punya rasa malu apalagi berurusan terhadap Bu Yati kata yang lain termasuk dapat SP.
"Maaf, Bu."
Buku yang di atas kursi Bu Yati tadinya sibuk menghitung lalu mengangkatnya, secara refleks Alea membantu dan buku paket berjumlah tiga itu kini sudah di pegang Alea.
"Kamu tau kenapa nilai kamu banyak kosong?"
Alea menggeleng kaku walau faktanya mengetahui.
"Jangan banyak absen! Alasan kamu di buku kehadiran tanpa keterangan, bisa terhitung jari alasan sakit. Memang, kamu di sekolah ini berhasil mengharumkan RHS di bidang non akademik." Di balik kacamata pandangan Bu Yati menajam. "Baru mata pelajaran saya loh! Guru lain gimana? Kamu di kelas nyaris paling bawah!"
Alea ciut sepertinya perlu meralat kamus di hidupnya perasaan takut itu ada dan muncul sekarang. Kenapa Alea seolah berhadapan dengan Bunda.
"Ter--terus, Bun-- maksud saya, Bu. Nilai saya gak kosong lagi saya ngapain?" Itu kan jika ingin memperbaiki nilai pasti bertanya untuk mengejar yang ketinggalan. Jujur, Alea kurang semangat dalam sekolah. Murid-murid di RHS hanya mengandalkan kekuasaan, harta orang tua. Rasanya Alea ingin angkat kaki di sekolah elit ini.
Ke mana arah mata Bu Yati, Alea menyimpulkan satu hal.
"Buat ringkasan, catat di buku tugas kamu. Ambil bagian pentingnya, itu buku pribadi saya sudah ada garis bawahnya kamu bisa ambil contoh di sana," kata Bu Yati.
Alea tersentak. "Ketiganya, Bu? Keriting tangan saya." Alea protes, ini bencana. Sekitar dua bab, itu baru satu buku. Bagaimana buku lainnya.
Bu Yati tersenyum samar kemudian menepuki lengan Alea membuat Alea bergidik ngeri. "Waktu kamu dua hari, makanya rajin sekolah."
Alea berdecak kesal, segala protesan tidak di terima hingga Bu Yati masuk ke ruangan, Alea menghentakkan kakinya. Sabar! Daripada bertemu Tirta lebih baik Alea segera kabur, pilihannya adalah perpustakaan. Letaknya di gedung seberang, Alea tinggal berjalan cepat melintasi lapangan.
****
TINGGALKAN VOTE DAN KOMENNYA YA❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat [END]
JugendliteraturNamanya Alea Rayuna Listar Dunia seolah membenci Perannya dianggap sebagai antagonis Hidup menderita ditertawakan Perlahan namun pasti jati diri Alea mulai tersibak! Ada dua pilihan "Hancur atau Bertahan?" "Gue Kakak lo!" Gadis berambut berantakan i...