"Kenapa lo mau deketin gue kaya gini bahkan sampe maksa kepangin rambut." Alea bersuara setelah keheningan menyapa, jam sepuluh pagi Nesta masuk ke kamarnya dan memaksanya duduk di depan meja rias. Alea menurut karena memang dia penasaran apalagi ini hari minggu Alea malas harus banyak bergerak dan mengobrol di luar sana.
Nesta lebih baik daripada dua asisten muda yang cerewetnya luar biasa.
"Cuma pengen lebih dekat sama lo, kan kita saudara," jawabnya. Alea mengangguk saja, tidak ambil peduli menatap bergantian jemari Nesta yang lihai mengepang rambutnya tanpa membutuhkan waktu lama kini telah selesai. Alea yakin belum sepuluh menit bahkan kurang dari perkiraannya.
Alea mengulas senyum tipis sangat samar bahkan Nesta tak menyadari. "Lo pernah nggak di bully?" tanyanya.
Nesta merapikan ikatan rambut warna warni di pahanya tersentak, memandang lurus Alea dari pantulan cermin yang memasang wajah lempeng.
"Pernah, sekarang pun masih walaupun gak separah sebelumnya. Murid RHS tau keluarga gue manfaatin keluarga kalian bertahun-tahun," jawab Nesta pelan.
"Tapi lo beda masih banyak yang sayang sama lo, nggak pernah ninggalin. Contohnya Lami walaupun Kak Elang dan Kak Virgo korban mereka tetap nerima lo, kan?" Alea tersenyum, membalas pandangan Nesta. "Sementara gue sendirian, satu orang pun nggak ada yang peduli."
Nesta bergeming sadar perubahan Alea terlalu mudah ditebak.
"Dan itu semua gara-gara orang paling gue percaya, Erin. Dia awal masa SMP gue layaknya neraka setelah itu Erin diam tanpa bertanggung jawab menjelaskan yang sebenarnya."
"Erin?"
"Iya."
Tangan Alea terkepal kuat di sisi meja, kemarahan tidak mampu lagi Alea bendung. Ya, dia memang pendendam, orang-orang yang merusak masa putih birunya.
"Jadi bisa dibilang sifat kamu berubah titik awal Alea bersifat keras itu penyebabnya karena kamu dulu korban bully?" tanya Nesta dengan nada hati-hati.
Alea mengangguk dan Nesta tercengang. Dadanya ikut terbakar telinganya tak asing mendengar nama Alea sebutkan, sepertinya gadis bernama Erin itu kelas sebelah.
"Dulu kali gue ngamuk, pertama saat gue menampik tuduhan Erin. Kedua saat gue cape denger perundungan verbal mereka yang tiap hari, mulut orang-orang itu bau sampah. Di situ gue rasanya beneran kehilangan akal dan gue berhasil bikin mereka jera walaupun harus merusak fasilitas sekolah..." Jemari Alea lalu membentuk pola abstrak di cermin.
Nesta menahan napas kilatan iris kelabu itu membuatnya menggigil, Nesta meneguk ludah mulai paham jemari Alea seakan membentuk sesuatu.
"Bantuin gue ya, Ta. Bikin Erin hancur mumur. Kalo bisa bantuin gue dia gak kuat lagi berdiri terus mati."
Alea menoleh ke belakang, sebelah alisnya naik menunggu respon Nesta yang malah duduk kaku dengan jemari bergetar makin aneh tangannya terulur memegang lengan Nesta justru gadis berambut gelombang tersebut terperanjat kaget.
Padahal tidak ada yang salah atas ucapannya tadi.
"Itu salah!" Nesta hampir menjerit seraya kepalanya menggeleng kuat, sorot matanya memohon pada Alea. "Kalau kamu dendam sama Erin jangan sampai akal sehat kamu hilang, hasrat kamu untuk membunuh ... Erin berdampak ke orang lain!" lanjutnya bergetar.
Nesta ikut marah tapi percayalah pemikirannya tak akan membalas menghilangkan nyawa, namun Alea mudahnya berkata seperti itu layaknya meminta permen. Detik ini Nesta percaya, Alea tak bisa dimengerti. Sangat jauh, kadang Nesta melihat setiap Alea berjalan hilir mudik kalanya binaran mata Alea mengemaskan dan menjatuhkan.
"Maksud lo apa?!" bentak Alea kedua tangannya mengguncang tubuh Nesta. "Cukup diam kalau lo enggak setuju, bukan bersikap menentang. Gue benci orang kaya lo! Berdampak buruk ke orang lain, siapa? Kakak gue?! Cih, sampai sekarang gue ragu mereka tulus."
Air muka Nesta pucat paci, meringis kesakitan kemudian bahunya seolah hendak remuk. Ini salahnya, membuat suasana hati Alea memburuk padahal mereka baik-baik saja. Seharusnya Nesta mengerti Alea, sebab di masa lampau dia tak mengecap rasanya benar-benar ditinggalkan.
"NESSA!"
Bersamaan suara teriakan serak itu Alea melepaskan cengkeramannya, Nesta buru-buru berdiri. Jantungngnya berdekup kencang menahan langkah Virgo yang berniat menyusul Elang.
"Hei, kenapa?" Elang berjongkok di sisi tubuh adiknya itu, dia penasaran yang dikatakan Mbak Sari bahwa Nesta mengepang rambut Alea, Elang ingin melihat langsung bersama Virgo, faktanya di ambang pintu kamar keduanya melihat ketegangan.
"Erin harus mati." Alea berkata pelan nyaris seperti bisikan kamar itu yang hening bisa di dengar Elang bahkan Virgo dan Nesta yang mengatupkan bibir rapat.
"Erin siapa?" Elang mengusap rambut halus Alea. Di balik semuanya Elang mengerti Alea bukan lah yang gampang percaya selalu bertindak was-was apalagi dengan orang asing.
Datang mengaku sebatas Kakak itu pasti terlalu sulit.
Alea mengerjap agak linglung, melirik punggung tangan kanannya yang dipegang erat Elang. Alea benci perasaan ini, di saat tembok pembatas dia bangun mereka berhasil merobohkannya.
"Aku minta maaf...." Alea merintih pedih, memori kelam itu sangat menyiksa. "Orang-orang itu harus mati."
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN YA❤ MAKASIH
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat [END]
Teen FictionNamanya Alea Rayuna Listar Dunia seolah membenci Perannya dianggap sebagai antagonis Hidup menderita ditertawakan Perlahan namun pasti jati diri Alea mulai tersibak! Ada dua pilihan "Hancur atau Bertahan?" "Gue Kakak lo!" Gadis berambut berantakan i...