BUKAN ANTAGONIS

1K 133 2
                                    

Alea berjongkok di dekat gerobak batagor, tentu saja dirinya kabur. Dia tidak akan diperlakukan anak kecil jika melakukan hal itu. Semua orang seolah menganggapnya lemah dan takut terluka padahal Alea merasakan dia baik-baik saja.

Teknik bela diri Alea kuasai, sangat mudah baginya membuat tangan musuh retak.

"Lagi!" Gadis berseragam elit itu mengulurkan piring batagornya. Ini pesanan ke empat yang Alea makan.

Tanpa ambil peduli pengguna jalan memandanginya bingung. Mungkin penampilannya lebih mirip gembel dengan rambut awut-awutan.

"Eneng, kurus-kurus gini banyak makan ya?" Si penjual bernama Mang Umar itu dibuat takjub, gerakan telaten menyiram bumbu kacang ke tahu, bakso ikan, dan tempenya.

Alea terkekeh geli menerima piring plastik itu sudah terisi penuh. "Nanti aku kirim alamat rumah, pesan satu panci," sahut Alea.

Mang Umar mengancungkan jempol kembali melayani pelanggan, Alea berharap semoga Virgo tidak kalang kabut mencarinya, kakak keduanya itu terkenal heboh sesekali di balik cover kalemnya.

Kejadian tadi benar-benar membuat mood Alea berantakan dan bolos lah pilihannya, berjalan di trotoar berhenti di gerobak batagor dekat alun-alun kota.

Pandangan Alea mengitari sekitar berhenti pada seseorang yang mengaku sebagai kakaknya Nesta itu di bahu jalan menunggai motor ninja, sedang lampu merah apalagi tidak memakai helm. Cih, Alea berdoa human seperti itu ditilang masalahnya batang hidung polisi tidak nampak.

"Leon!" Alea setengah teriak seraya melambaikan tangan malas. Dia penasaran dimana tempat sekolah pemuda itu, seragamnya memang berlapis hoodie namun celana abu-abu Leon jelas terlihat.

Cukup memanggil satu kali pemuda itu langsung menoleh, Alea disuguhi raut terkejut Leon beberapa saat.

Leon tersenyum sumringah setelahnya. Senyum yang bahkan jarang diberikan ke orang lain, entahlah Leon pun heran kenapa dia sebahagia ini Alea memanggilnya lebih dulu. Leon memundurkan motor, beruntung tak terlalu jauh terdapat minimarket dan dia memarkirkan motornya di sana.

Tinggal menyebrangi jalan maka dia sudah sampai di hadapan Alea.

"Gue enggak nyangka keturunan Pradana makan dipinggir jalan." Sekiranya itu yang Leon katakan, menarik kursi. Kepalanya menunduk, Alea bersikap biasa saja dalam keadaan berjongkok satu tangan memegang piring sementara yang lainnya garpu.

Alea cuek Leon makin semangat mengajak bicara.

"Kapan lo bawa gue ke Nesta?"

"Enggak usah berharap dianya gak mau ketemu. Kalo Nesta kangen sama lo udah dari awal dia cari kakaknya."

"Sampe dihati gue nih, sakit."

Alea tersenyum sinis. "Ya, wajar sih gue kan antagosinya. Mulut gue nggak bisa dijaga," sahutnya.

Leon merasa tak nyaman kemudian, sebelumnya Alea berapi-api tapi sekarang gadis cantik ini menunjukkan beban yang berat. Apa ada salah dengan ucapannya? Sepertinya iya, Leon berdehem. Canggung begitu saja.

"Kadang kita bisa jadi antagonis dicerita orang lain," ujar Leon tulus.

Giliran Alea yang tertegun, tanpa mampu dicegah pipinya bersemu merah dan salah tingkah. Itu berarti Leon tidak menyalahkannya, kan? Alea buang muka, jemarinya terjulur mendorong bahu Leon.

"Idih."

Leon terbahak. "Karena lo kayaknya nggak terlalu risih, gimana kita makan di warung tenda sana. Anggap aja ini imbalan terima kasih udah nolongin gue. Imbalannya masih ada dua kok."

Alea mengangguk selesai membayar Alea mengekori Leon di belakang.

Sebentar.

Kenapa Alea biasa saja pada orang asing yang baru dikenalnya bahkan kemungkinan anak dari pembunuh orang tuanya itu bisa bekerja sama, Alea tidak peduli. Yang Alea lihat Leon baik, binaran matanya memancarkan kesendirian dan frustasi sewaktu-waktu.

Layaknya pemuda itu memiliki dosa besar.

***


Warung tenda di pinggir jalan tersebut di isi gelak tawa, Alea mendengus kuat. Sangat aneh, dia kira Leon Fadilah adalah seseorang yang mirip Samuel, mengingat pertemuan pertama mereka.

Namun, kewarasan pemuda itu perlu diragukan. Bagaimana jeruk nipis di letakkan ke pipi.

"Lo gila?!"

"Gila demi orang tersayang, nggak papa."

"Receh."

Alea mengaduk soto ayamnya yang hangat hujan begini enaknya makan berkuah. Pesanan mereka sama, membedakannya hanya satu kuah Alea berubah merah dua sendok sambal ditaburi.

Leon terkekeh geli. "Sekarang gue tanya serius, kapan lo bawa Nesta ke hadapan gue. Sumpah! Gue kangen banget," katanya memelas.

Alea memutar bola matanya. "Nanti."

"Ya, nanti itu kapan?"

"Secepatnya. Ada dimana lo bakal ketemu Nesta tanpa sengaja tapi secara gak langsung lewat perantara gue juga. Oh, tentu gue nanti mengharapkan terima kasih dan imbalannya tiga kali lipat." Alea menyesap susu cokelatnya lagi-lagi wajah frustasi Leon dia dapatkan.

"Gue tunggu."

"Dua imbalan maksud lo gimana?"

"Seorang Leon itu paling nggak suka berhutang budi karena gue baik khusus buat lo ada tiga imbalan, satu imbalan trakt--"

"Dasar aneh!" Alea melempar tatapan hujatan, memijit pelipisnya walaupun begitu Alea tetap menyahut. "Ambil kalung gue di tiga mak lampir udah cukup."

"Kalung?"

"Iya, kalung itu berharga. Saking pentingnya bagi gue kalung itu nggak ada yang jual, itu buat gue dikenalin sama keluarga Pradana." Ekspresi Alea bercampur aduk antara kalut dan kesal. Seharusnya Tirta tidak melakukan itu, tidak. Bukankah Alea sendiri yang meminta Tirta untuk tidak saling mengenal. Tirta itu raja pembully, cuek siapa korban dia bully.

Tirta dicap itu sudah lama bahkan sebelum dia menolong Tirta satu tahun lalu.

Tetapi berbicara memang mudah, melakukannya terlanjur sakit.

"Kok lo nangis?" Telapak tangan Leon yang tak memegang jeruk nipis kini berada di pipi mulus Alea, rasa dingin menjalar membuat Alea tersentak dari lamunannya. Hilang kata jemari itu menghapus air mata menetes di pipi kanannya. "Orang secantik lo nangis nggak cocok, malah jelek. Kita di cerita orang bisa menjadi antagonis. Intinya lo bukan antagonis, If you do, you will be silent, I will be battered by the thugs, Nessa." bisik Leon penuh arti.

Bibir Alea bergetar sedikit tidak paham akhir ucapan Leon namun terdengar ditelinganya penuh makna.


****


TINGGALKAN VOTENYA YA🌟 JANGAN SIDER :") SEKITAR SEPULUH PART TAMAT DEH KAYAKNYA, MASIH PERKIRAAN

Heartbeat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang