Perempuan itu posisinya dalam keadaan setengah duduk, bersandar di tembok kedua tangan berantai begitupula kakinya. Namun, sudut bibirnya terus melengkung ke atas apalagi siapa yang masuk ke ruangan dengan air muka dingin. Ternyata pria itu masih sama, dan cintanya tentu akan terus ada.
"Sonya?"
"Ya."
Perempuan itu semakin tersenyum lebar, namanya dipanggil dari bibir Elang terlebih dahulu.
Elang berdiri diam, pandangannya lurus di manik gelap itu tanpa arti jika Sonya memandangi penuh gairah maka balasannya dingin mampu membuat orang di samping Sonya mengigil kedinginan.
"Apa kamu tau kesalahan kamu?" Elang berjongkok, kini lebih leluasa melihat rupa perempuan itu yang wajahnya terdapat banyak goresan dan darah yang telah mengering.
Sonya memiringkan kepala, tangannya hendak menyentuh rahang kokoh Elang namun rantai yang mengikat lengannya sangat kuat. Sonya meringis pelan. Ah, setidaknya dia bisa sedekat ini.
"Hem, aku buat adik kamu celaka. Semoga yang aku lakuin gak sia-sia, semoga dia cepat mati! Yang adik kamu itu Nesta bukan gadis keras kepala bahkan sopan santunnya udah luntur!" Sonya menyahut ketus tak menyadari perubahan ekspresi Elang di samping kakinya.
Jemari Elang terkepal kuat sampai kuku-kukunya memutih.
"Kamu udah janji kalau adik aku, cuma satu-satunya adik kamu. Kamu gak lupa kan sama janji itu?" tanyanya lembut dan berhasil menggapai wajah Elang walaupun susah payah, jemari lentik itu mengusap pipi Elang.
"Seharusnya lo yang mati!" Gumaman sarat emosi itu bersamaan tangan Sonya tertepis kasar, Elang meraih tangan Sonya yang kurang ajarnya menyentuh wajahnya mencengkeram kuat hingga perempuan itu memekik kesakitan.
"ARGHH!" Sonya berusaha melepaskan diri, namun justru itu bertambah menguat. Satu tangan Elang berakhir di pipi kiri Sonya, semua orang yang melihat itu melotot kecuali dua orang bodygruad di belakang Elang memasang air muka kaku seolah itu hal biasa.
"Keluarga kalian memang iblis semua, saya bisa balasnya semua dengan gampang melalui Nesta. Yang perlu saya dengar itu ucapan terima kasih dan maaf."
Keadaan Sonya menggenaskan, sudut bibirnya mengeluarkan darah. Luka-luka di wajah lagi-lagi mengalirkan darah kental, rambut pirang itu berantakan.
"Banyak yang ingin saya sampaikan kepadamu, untuk janji itu persetan. Jika Nessa memburuk maka li--"
"Aku bersyukur beling itu memparah, sepertinya ... serbuk yang berakhir di mata adik kamu ... gak akan berakhir bikin dia buta. Oiya, cowok yang nolongin adik kamu lumayan juga." Sonya menyela, dalam keadaan tidak enak dipandang Sonya masih mampu berbicara cukup membuat Elang tertegun dan mulutnya yang membangkitkan ketidakmanusiaan orang lain.
Elang menggila kemudian, penjara bawah tanah di rumah Pradana itu di detik kesepuluh lantainya dialiri darah. Bukan hanya satu orang, kejadian malam itu menyebabkan adik kesayangannya tidak sandarkan diri selama dua hari ini. Orang-orang yang terlibat ikut sekarat di bawah kaki Elang.
Di ambang pintu besi tidak jauh, gadis mungil itu menutup mulutnya, menahan isakan. Nesta mengakui, ini salah kakaknya, Sonya. Tindakan fatal yang justru menjemput kematian hanya karena alasan namanya.
Nesta sekarang harus meminta maaf kalau perlu akan bersimpuh di kaki Alea.
****
Kerlap-kerlip lampu kelab malam menyorot ke sana-kemari, dentuman musik seakan hendak menembus gendang telinga. Berisik, Tirta tidak menyukainya. Pemuda jangkung itu menggengam satu botol minuman, menaiki anak tangga menuju lantai dua. Sorot matanya sayu, lingkaran hitam jelas di bawah mata menegaskan bahwa pemuda itu tidak bisa tidur berhari-hari.
Di belakang Tirta dua orang mengikuti, Jeno dan Dika. Berusaha menarik diri dari perempuan kurang belaian, Dika terus mengumpat bahkan ketika banci mendekat tak segan Dika menendang aset si banci. Jeno melihatnya, terbahak.
"Dasar perempuan sialan!" Tirta mengumpat, manik gelapnya mengitari sekitar yang berjejer kamar. Pintu kamar itu tertutup rapat, suara-suara aneh terdengar dari dalam. Dika dan Jeno sudah bergidik jijik.
"Gara-gara perempuan sampah, Aleaku tidur." Tirta meracau, berjalan sempoyongan kali ini kembali menuju anak tangga di pojok, ke arah lantai tiga.
Hampir Tirta jatuh jikakalau Dika gagal menahan bahu Tirta, Jeno merangkul Tirta tetapi lengannya langsung di pukul.
"Jangan pegang-pegang, bego! Sana lo! Bau!" semprotnya. Jeno menghela napas, sadar kemana arah tujuan Tirta. Jeno berjalan lebih dulu mengabaikan teriakan Dika. Tempat ini adalah milik salah satu anggota Geng XLORES jadi mereka bisa bersenang-senang.
"Sumpah ya lo berat banget. Kebanyakan dosa nih," keluhan Dika pertama kali Jeno dengar setelah menunggu di depan pintu rooftop.
Tirta membanting tubuhnya ke sofa, botol minuman itu dia lempar ke tong sampah, angin malam menampar wajah tampan pemuda itu, rambut hitamnya menutupi kening.
Dia belum pernah merasakan perasaan sesakit ini, bahkan saat sang mama di pukul papa yang tidak punya hati itu. Tirta cukup sedih beberapa jam setelahnya sang mama mengatakan akan baik-baik saja dan dia kembali tenang.
Namun, perasaan yang Tirta rasakan sangat menyakitkan. Dadanya sesak, hatinya remuk. Pikiran buruk berseliweran.
"Gue enggak mau lo mati, siapapun yang bikin lo celaka dan nyaris mati bakal gue balas," gumam Tirta yakin. Laki-laki yang merobek seragam Alea dan menancapkan beling ke perut Alea, Tirta berjanji mencarinya. Virgo bilang satu orang yang berhasil meloloskan diri dan orang itu lah pelakunya.
****
JANGAN SIDER YA :( BERIKAN VOTE DAN KOMENNYA. TERIMA KASIH UNTUK VOTE DAN KOMEN DIPART SEBELUMNYA❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat [END]
Teen FictionNamanya Alea Rayuna Listar Dunia seolah membenci Perannya dianggap sebagai antagonis Hidup menderita ditertawakan Perlahan namun pasti jati diri Alea mulai tersibak! Ada dua pilihan "Hancur atau Bertahan?" "Gue Kakak lo!" Gadis berambut berantakan i...