RASA SAKIT

1.7K 251 13
                                    

Alea kira semuanya akan lancar namun sebaliknya baru setengah melintasi lapangan yang luas. Dia di kejutkan suara teriakan.

"AWAS, KEPALA!"

Bola orange terbang cepat ke arah Alea, gerakan cepat Alea berlindung lebih tepatnya melindungi atas perutnya menggunakan buku paket yang di pegang. Bukan kepala oy! Alea ingin sekali berteriak seperti itu, Alea bernapas lega, aman. Benda bundar itu kini di dekat kakinya.

"Lo nggak papa?" Dua orang cowok berlari, menatap Alea dari atas sampai bawah.

"Iya," sahutnya datar. Alea tau nama kedua cowok ini yang pasti kakak kelas kalau tidak salah Satria dan Farhan, sudah tau jam istirahat mereka malah menghabiskan waktu di lapangan yang notabennya banyak adik kelas sekedar duduk dan lewat. Mereka bisa saja tebar pesona.

"Maafin temen gue ya dek, lempar bolanya kaya punya dendam kesumat. Itu si Virgo napa dah! Banyak pikiran jangan main," kata Farhan mengingat gagal menangkap lemparan temannya itu justru nyaris terkena Alea.

Alea tanpa sadar melotot, Virgo? Oh, Alea tidak ingin bersitatap apalagi bertemu. Sejak Virgo membentaknya, mengatakan hal aneh Alea menjaga jarak. Dia merasakan hawa tak nyaman, merasa terancam.

Kenapa kini ketakutan membayangi Alea? Dia sendiri pun tak mendapat jawaban, hidupnya akhir-akhir ini seolah banyak mata-mata yang mengawasi.

"Iya." Alea kembali melangkah, kesan diwajahnya datar. Samar-samar menangkap pembicaraan mereka, Alea sengaja memperlambat karena penasaran tanpa meninggalkan kecurigaan.

"Tadi itu gue nggak sengaja, gue pengen minta maaf. Kepalanya gimana?" tanya Virgo pada Satria.

"Gerakannya cepet, langsung tangkis gitu aja. Keren! Gue sampe kagum, wajahnya gak asing sih," sahut Satria.

"Banyak pikiran sampai bikin orang lain celaka. Sultan Pradana gak mungkin ya punya hutang?" Farhan tersenyum meledek yang dibalas Virgo sikutan di perut Farhan.

Satria tertawa kesenangan sementara itu Alea melihatnya, sudut bibir Alea tersungging tipis. Ketiga orang itu kembali memasuki lapangan.

"Bisa jadi, muka gue gak asing. Rasanya perasaan gue sakit tanpa ada alasan jelas. Kak Virgo, makasih udah nyelamatin gue." Alea bergumam pelan nyaris seperti bisikan, Alea kehilangan akal pada saat itu atas hinaan Rasya. Sedetik saja terlambat ujung pisau itu sudah menembus perut Rasya dan dirinya tidak lagi mampu berdiri di sini.

Tanpa Alea sadari seorang pria dewasa sedang mengamati di gedung lantai tiga, garis wajahnya dingin. Namun, di balik kacamata non minusnya kerinduan paling dalam terlihat jelas.

Faktanya tidak semua bab bergaris bawah, Alea membaca sesekali melompati bukan bagian penting. Baru satu bab, tangannya mulai kebas.

"Cape, kayaknya emang iya gue manja." Alea ingat perkataan Senja mengatainya manja dan pemalas. Mau bagaimana lagi, Alea tinggal di panti asuhan pun berasa punya rumah sendiri dan mereka hanya pembantu kecuali Bunda. Alea memang setega itu!

"Gue benar-benar harus angkat kaki di RHS. Sekolah terkenal, tapi kelakuan kaya orang rendahan." Bahkan Alea tak peduli di perpustakaan orang lain mendengarnya, Alea sebatas mengeluh. Lagipula itu realita, masuk ke sini Alea jalur beasiswa keberuntungan.

Beasiswa keberuntungan maksudnya setahun lalu sekiranya lebih, diundi bagi yang beruntung Alea tentu bodo amat, namun paksaan Arin membuatnya ikut dengan malas. Sepuluh orang yang beruntung termasuk Alea, Arin yang bersemangat justru gagal dan itu lah awal kebencian Arin makin berkobar.

"Jangan-jangan ini hukuman gue karena buat kekacauan. Eh, bentar tapi kan kejadian itu Rasya yang salah. Saksinya juga banyak."

Alea bermonolog buku di hadapannya sebatas pajangan. Berpikir keras, keningnya berkerut dalam.

"Ben--"

"Berisik! Ini perpustakaan."

Alea tersentak menoleh cepat seketika air mukanya datar, berdecak kesal seraya menggeser kursi.

"Lo tetap Alea dulu, gue kira berubah."

"Gue bukan power rangers yang berubah."

Tawa pelan terdengar dari bibir cowok beranting hitam sebelah tersebut, rambutnya sedikit berantakan, almamater coklat khas RHS tidak melekat di badan. Samuel layaknya badboy gagal.

"Udah gue bilang kalo sama yang lebih tua itu aku-kamu biar enak di denger." Samuel tersenyum samar.

"Kita seangkatan!" Alea berkata tegas, secepatnya pergi. Tidak bertemu Tirta justru bertemu buntutnya, cowok itu pembawa sial.

"Enggak usah bergerak gelisah, di sini gak ada siapa-siapa. Lo kaya takut ... emang salah sahabat semasa kecil ketemu sahabatnya."

Alea menghela napas, perpustakaan terpasang CCTV di pojok ruangan. Tak banyak yang tau bahwa Alea dan Samuel saling mengenal lama.

"Gue anti sama fans lo itu samlovers. Ew, pengen muntah gue! Genit, apa bagusnya seorang Samuel kentut aja sembarangan."

Cowok itu mendelik. "Mulut lo ya frontal pantas cocok sama Tirta, itu singa lagi kelilingi cariin lo. Senja jadi korban."

Mendapati kesungguhan di iris Samuel tidak ada kebohongan, Tirta selalu saja menjadikan Senja umpan agar mereka bertemu. Senja juga tak melawan padahal dulu Alea pernah mengajari teknik bela diri.

"Mau ke mana?" Samuel menahan punggung tangan Alea. "Tenang, Tirta udah gue aduin sama Pak Ecan tindakan pembullyan," lanjutnya.

Khawatir Alea pudar walau beberapa detik karena jemari Samuel yang tiba-tiba mengusap atas bibirnya dengan kepala tertunduk.

"Lo mimisan!"

"Hah?"

Napas Alea memberat, kepalanya terasa nyeri. Tidak mungkin kan karena bola basket, dadanya ikut panas.

Alea memegangi kepalanya. "Sa--sakit, gue gak kuat." Kemudian cengkeraman di telapak tangan Samuel mengendur bersamaan Alea jatuh ke pelukan Samuel, darah semakin mengalir dari hidung Alea dan mengotori seragam putih itu.

****

TINGGALKAN VOTE DAN KOMENNYA YA❤

Heartbeat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang