SALING MENGUNTUNGKAN

2.8K 292 2
                                    

Nesta keluar dari mobil sport merahnya, langkah kakinya memelan menyadari sang kakak tengah berdiri bersandar di pintu dengan kedua tangan berada di saku celana, Nesta tidak dapat menebak suasana hati kakaknya ekspresi itu yang selalu dingin.

"Kak Elang ... kenapa di luar?" tanyanya mendekat. Jemari Nesta mendadak gemetar, kebusukan keluarganya terungkap. Dia bukan lah bagian keluarga ini, selama sepuluh tahun lebih memanfaatkan keluarga Pradana dan faktanya memang begitu.

"Saya mau bicara serius." Elang menyahut pelan kemudian berbalik memasuki rumah. Sementara Nesta membasahi bibir, kakaknya tidak pernah berbicara seformal itu. Seharusnya laki-laki itu berkata 'kak Elang mau bicara serius' namun hari ini menegaskan bahwa pembatas itu telah berdiri kokoh.

Nesta mengekori di belakang sesekali membalas sapaan pembantu rumah, rumah berlantai tiga cukup besar, menjelang sore rumah kembali di bersihkan terdapat lima pembantu dan tujuh penjaga termasuk satpam.

"Nona, makanan sudah siap di meja." Seorang wanita muda berjalan di sebelah Nesta seraya tersenyum lembut.

"Nanti aja, Mbak Sari. Kak Elang pengen bicara katanya," sahut Nesta. "Hem. Makanannya bawa ke ruangan Kak Elang sekalian cemilan."

"Baik." Wanita itu berlalu pergi, Nesta menghela napas. Dulu Nesta sering mengeluh cara berjalan sang kakak yang terlalu cepat tapi siapa Nesta sampai harus protes. Dia membuka perlahan pintu putih tersebut.

Elang duduk di sofa. "Kenapa masih berdiri, kamu gak cape? Duduk, pembicaraan ini sangat serius tidak ada yang boleh tau." 

Nesta menurut, duduk di sebrang Elang. Apa dia harus kembali mengucapkan terima kasih karena keluarga angkatnya ini tidak mengusir justru menyuruh tetap tinggal.

"Saya ingin kita saling menguntungkan."

Sebelah alis gadis bertubuh mungil itu naik, bahunya menegang. Sadar bahwa dia bisa berpijak di rumah besar ini hingga sekarang harus ada imbalan.

"Selama mampu Nesta bersedia kak, tapi Nesta mohon uang tranferan setiap bulan yang Kak Elang kasih selalu lancar. Mama sering ngeluh sama aku, katanya berkurang."

Nesta menunduk dalam sungguh malu, harga dirinya jatuh. Dia tak ada hubungan darah sekalipun dengan keluarga Pradana, namun demi keluarga dan mamanya terus marah-marah Nesta bersedia walau dia perlu bersimpuh di kaki sulung Pradana asalkan lagi-lagi ekonomi keluarganya menjadi lebih baik.

Elang mengulurkan buku tebal ke hadapan Nesta. "Buka yang ditengah di sana ada tugas kamu," suruhnya.

Nesta mengangguk, buru-buru membuka lembaran buku semacam buku penting Nesta tidak akan membacanya, beruntung halaman tengah sudah di tandai. Terlalu semangat, amplop tipis jatuh. Nesta yakin itu yang dicari kakaknya.

Tepat setelah membuka terpampang foto seorang gadis memeluk boneka beruang putih, tersenyum manis ke arah kamera, poninya menutupi kening, dress selutut sangat pas. Satu kata untuk anak perempuan di foto peganganya adalah cantik.

"Aku harus ngapain?"

"Cari tau dia sebenarnya siapa, dalam waktu dua minggu kamu sudah mengetahui identitas anak itu."

Nesta melotot.

"Ma-maksud Kak Elang gimana? Nesa gak paham, aku gak kenal dia siapa dan apa urusannya denganku. Bisa saja dia meninggal, foto ini di ambil tahun 2006."

Tanpa Nesta duga Elang mengebrak meja, kakinya kembali gemetar. Kakaknya memandanginya penuh kebencian berarti Nesta salah bicara.

"Saya menyuruh kamu untuk mencari identitas anak di foto itu, apa susahnya?! Bertahun-tahun kamu numpang di rum---" Elang tercengat, mendengar isakan keluar di bibir itu.

Pipi Nesta banjir oleh air mata, mengumpulkan kesadaran keheningan di ruangan itu Nesta berdiri, berlari menuju pintu. Mengabaikan teriakan Mbak Sari di ujung tangga, hatinya sakit. Banyak kenangan manis hingga semuanya terbongkar keluarganya berubah dingin. Dua kakaknya bahkan tak sudi berada lama di meja makan, kehangatan rumah ini hancur atas pengkhianatan.


*****


Pakaian seadanya Alea berjalan di trotoar, angin malam memang menusuk kulit tapi dia terbiasa. Tangannya bergerak mengikuti irama lagu di ponsel kantong celana rambut yang terikat tinggi bergoyang. Mereka bilang bahagia itu senderhana, kita yang mencari kebahagiaan. Alea suka lampu jalan yang terang benderang atau duduk di trotoar mengamati lekat kendaraan berlalu-lalang itu membuatnya bahagia.

"Dasar manusia, buang sampah sembarangan!" gumamnya kesal. Jika Senja di dekat Alea pasti akan dapat jitakan sambil gadis itu berteriak 'gak sadar diri, lo juga manusia' Alea terkekeh geli, membayangkan Senja yang mengomel.

Alea meremas bungkusan nasi bungkus di punggutnya, sesekali mengumpat kasar. Seharusnya mereka itu sadar diri, tinggal di ibu kota selalu bersikap semaunya. Tidak tau kali ya banyak yang tidak beruntung, susah payah mencari sesuap nasi, bekerja keras seharian penuh tapi di dapatkan cukup beli beras seliter.

"Cukup buang ke tong sampah, cape kali ya jalan belok sebentar." Sebelah tangan Alea refleks menjepit hidung mencium bau yang bisa saja buat orang lain muntah. Jika Alea membiarkan mungkin penjalan kaki seperti dia menginjaknya.

"Emang bocah licik, gue tau tangis lo Sisil cuma tangis pura-pura." Selesai membuang nasi bungkus yang mulai basi itu ke tong sampah, Alea mengacak rambut tidak peduli akan kotor. Pantas telinganya menangkap bunyi aneh dan bunyi aneh itu perut Alea.

Dia lapar.

Banyak minum air putih tetap membuat Alea lapar. Alea menarik napas mengembuskan pelan. Bagian makan malam lagi-lagi dia berikan ke anak perempuan lima tahun itu, Alea benci tangis cempreng Sisil yang seolah menembus gendang telinga.

Tanpa Alea sadari, di sebrang jalan dua orang laki-laki tengah mengamati dengan reaksi berbeda. Satunya memegang ponsel, tersenyum miring berhasil memotret posisi yang pas sementara di sebelah kiri menggeleng heran.

"Penampilan udah mirip gembel, cukup tunjukin telapak tangan gue yakin ada yang kasih dia duit, Ta," ucap cowok berambut cepak tersebut.











JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTE DAN KOMENNYA. MAKASIH❤ SEMOGA SUKA.


Heartbeat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang