AKU INGIN HIDUP

1.2K 126 0
                                    

Virgo membuka pintu mobil pemuda yang dijuluki pangeran sekolah itu merangkul adiknya sepanjang koridor.

Alea yang berusaha menepis tangan Virgo berapa kali gagal bahkan hendak kabur lebih dulu Virgo menyadari gerakannya. Alea tak segan melintir tangan Virgo, namun Virgo meringis sesaat kemudian berulah lagi.

"Anterin kamu sampai kelas, Kak Virgo kasih hadiah. Hadiahnya di tas," bisik Virgo menaik turunkan alisnya.

"Nggak usah, aku nggak perlu hadiah. Lebih malu-maluin diperlakukan kaya anak kecil gini. Banyak yang liatin! Lepasin!" Alea cemberut bukannya menjauh Virgo semakin berjalan merapat.

Menyebalkan.

Alea mengeram gusar berjalan ogah-ogahan di sebelah Virgo. Bernapas lega setelahnya di depan sana Senja tengah berdiri sambil melambai riang.

"Lea!"

Tepat di hadapan Senja Alea disuguhi pemandangan senyuman malu gadis itu dan salah tingkahnya. Alea mendorong Virgo, mengibaskan tangannya. "Buruan sana ke kelas!" ketus Alea.

Lagi-lagi Virgo cuek justru melepaskan tas ranselnya, meraih sesuatu di sana. Kening Alea berkerut begitupula Senja menatap bingung.

"Jam tangan." Dengan lihai Virgo melingkarkan jam tangan branded ke pergelangan kanan Alea. Mendapati Alea kali ini tidak menolak Virgo mengulas senyum tipis. "Jangan dilepas, khusus buat kamu. Itu pemberian Kak Elang nanti besok atau lusa giliran Kak Virgo," lanjutnya sembari menepuk puncak kepala Alea.

Hingga kepergian Virgo kedua gadis tersebut bergeming di depan pintu kelas, saling tatap sebentar. Senja berbinar berseru heboh setelahnya.

"Di tangan kamu, Lea. Ada benda harganya sampai enam belas juta awas jangan lecet!"

Mendengar itu Alea menghela napas untuk apa dia harus memakai aksesoris, cukup kalung berbandul bulan sabit dari kecil itu yang Alea tunggu dari Elang. Katanya Elang telah menyuruh beberapa orang mencari bandul kalungnya dan dua minggu menunggu belum ada tanda-tanda kakaknya itu menemukannya.

"Dahlah, gue cape!"

"Lagi datang bulan ya?"

Alea berdecak kesal menyeret malas kakinya memasuki kelas padahal ingin sekali Alea bolos, namun seakan sadar niatnya Virgo membuat rencananya gagal alasan pulang sekolah memberikan lumpia dua kotak, pengingat dia sudah lama tidak memakannya. Alea terpaksa setuju.

"Kayaknya lo tau banget ya tentang gue?"

"Muka kamu mendukung, moodnya juga kaya berantakan banget."

Senja cengar-cengir mendudukkan diri di sebelah Alea. "Gimana hubungan kamu sama Tirta?" tanyanya.

Alea mendelik kalau tau moodnya berantakan kenapa Senja harus menyebut nama itu. Alea tidak peduli walaupun terakhir kali mendengarnya Tirta di rawat di rumah sakit entah apa sebabnya.

"Makin baik setelah gue menjauh dan menyadarkan dia," sahut Alea lempeng.

"Dari segi muka kamu udah punya pengganti Tirta?" Alea tidak mengerti kenapa Senja perlu memicing curiga seperti itu, Alea menggeleng cuek.

"Tirta itu cemberuan, tempramental, posesif. Kalau aja dia mau berubah mungkin gue kasih sedikit celah untuk buat kita sama-sama lagi tapi mustahil api dan api emang bisa bersatu."

"Paling penting juga komunikasi, hubungan gue selama ini cuma Tirta yang mau dimengerti sementara gue enggak. Gue nggak tau apa itu cinta, sementara Tirta nggak beda jauh kan?"

Ucapan panjang Alea membuat Senja tertegun sebentar. "Kalian berdua lugu, lebih mirip kertas putih," katanya serius.

Alea tertawa.

"Kamu jangan bohongi diri kamu sendiri, Lea. Aku tau kamu cinta sama Tirta, perasaan Tirta terbalas ... tapi kenapa kamu memilih jalan yang salah." Senja bertopang dagu, menyorot lekat Alea.

"Samuel cuma sebagai alasan kamu putus sama Tirta, kan? Seengaknya kalau kamu ingin sifat Tirta berubah, kamu bantu dia. Tirta lebih jika kalian saling pegangan tangan."

Senja pagi itu banyak bicara berusaha menyadarkan Alea agar tidak ada namanya penyesalan.

***

Alea berjalan sendirian di gedung belakang RHS sembari memeluk pakaian olahraganya, entah kenapa Alea merasa kini tengah diawasi. Dia tidak sebodoh itu untuk tidak menyadarinya, Alea tersenyum misterius. Melirik setiap atas sudut gedung, setidaknya ada kamera pengintai.

"Sial." Alea mengumpat lirih, lupakan ke ruangan loker dia harus berpikir keras mencari CCTV yang sengaja dipasang tersembunyi oleh lampu-lampu.

Terlalu terburu-buru Alea menginjak tali sepatunya yang terlepas menduga mencium lantai detik ketiga Alea rasa sakit itu tak menimpa tubuhnya. Alea menegang, lengannya di pegang lebih tepatnya dicengkram kuat.

"Lepas!" Alea berbalik paksa, benda ditangannya terjatuh. Alea membalas dingin tatapan pria asing di hadapannya.

"Salam kenal, Nona Nessa ... saya Alfa!" Sudut bibir Alfa melengkung penuh arti, matanya berbinar cerah seperti adanya difoto dilihat secara nyata pun sangat cantik.

Alea bersedekap. "Mau apa?"

"Disaat mau mati pun lo masih bisa bersikap santai. Oh, kita seumuran jadi kalem aja." Tangan Alfa hendak mengusap rambut Alea tertepis kasar.

"Singkirin tangan sampah lo itu!" Alea mendesis sinis kemudian termundur menjauh. Alfa tertantang gilirannya menepis gerakan pukulan Alea hingga Alea tersudut di kaca.

Dug

Alea merintih ngilu memegang lututnya yang ditendang Alfa.

"Sori, gue bilang kalem! Napa lo nggak nurut. Terpaksa gue pakai kekerasan tapi itu lebih baik Nyonya Sella pasti bahagia." Alfa berkacak pinggang. "Membunuh tanpa menyentuh itu membuang waktu jadi lebih baik secepatnya, apalagi mengingat lo dulu pernah meminta pada Tuhan untuk mati."

Alfa tidak sendirian, tangan Alea kini di pegang erat oleh dua pria dewasa. Alea membuang tenangnya mencoba melepaskan, berniat berteriak suaranya terpaksa tertelan melihat tutup botol yang Alfa putar.

"Ini sedikit sakit, my sweety." Alfa mendekat berbisik di daun telinga Alea, bibirnya menghirup dalam aroma harum di badan Alea. "Lo bikin gue tergoda."

Alea tercengat, air matanya menetes tanpa Alea bisa cegah. Bibir itu kurang ajarnya mencium lehernya Alea meradang, dadanya naik turun lalu menendang keras selangkangan Alfa.

"Dasar dungu!" bentaknya serak.

Alfa memekik sakit. "Argh, sialan! Kesabaran gue habis! Persetan, lo perempuan!"

Alea tidak tahu setelahnya, air apa yang Alfa cipratan ke matanya. Air matanya mengalir lebih deras bercampur rasa perih. Alea terjatuh ke lantai, menangkap suara tawa mereka memenuhi relung indra pendengarannya.

"Nyonya Sella bersedia menolong lo menuju kematian." Alfa berjongkok seraya bersiap menggendong Alea. Senyuman liciknya tak memudar. "Ayo, my sweety. Kita bermain-main."

"Lubang tersembunyi itu setelah saya masuk, kalian harus menutupnya rapat. Jangan sampai ada yang curiga jika kita merusak sekolah elit ini," perintah Alfa meninggalkan keduanya.

Alfa mengangkat alis, raut wajahnya sedingin es, cuek setiap langkah Alea terus meracau. "Aku ingin hidup." Sebelum akhirnya Alea kehilangan kesadaran.




***

JANGAN LUPA VOTENYA YA 🌟

Heartbeat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang