Selesai mengobati Tirta setelah ajang drama yang hampir setengah jam dan bel masuk telah berbunyi. Beruntungnya di jam pertama sedang jamkos itu pesan yang Senja kirim ke Samuel, Alea tidak akan banyak tanya bagaimana bisa Senja mendapatkan nomor Samuel.
"Kapan lo berhenti senyum?" Alea bertanya datar, dari tadi Tirta terus memandangi lurus Samuel di ranjang sebrang dengan seringai lebar.
Tirta mengerjap agak sedikit menunduk bagaimana tubuhnya yang jangkung di tambah ranjang UKS ini.
"Enggak kok, aku bahagia liat kamu makin cantik aja," sahutnya seraya menepuk puncak kepala Alea, sudut matanya bergerak melirik Samuel yang membuang muka, sedangkan pemuda berwajah kalem yang membersihkan kotak obat itu menggeleng heran.
Bukannya berdecak atau menyahut sarkas paling parah memelintir tangan Tirta dulu-dulu, Alea justru salah tingkah. Alea merutuk sadar dengan sikapnya, seakan Tirta sadar dia hendak menjauh sebelah tangan Tirta menahan lengan Alea.
"Hm, tadi kita berdua belum makan. Emang ya si bego gak tau malu, gangguin orang pacaran. No, pesanin bubur bakar." Tirta menoleh pada Jeno. "Nanti, uangnya gue ganti. Biasanya ada yang berduaan yang ketiganya setan."
Jeno menghela napas, mengiyakan singkat kemudian berbalik badan keluar ruangan luas itu. Samuel yang ditinggalkan, tetap diam malah mengeluarkan ponsel dan bermain game di sana.
Tirta mengeram gusar. "Lo harusnya itu malu. Gue ba---"
"Udahlah. Cukup lo yang tau gue dan Samuel kenal lama." Alea menyela ucapan Tirta sembari berhasil melepaskan diri, dengan tenang duduk di kursi yang Jeno duduki sebelumnya.
Tirta melotot.
"Ngapain kamu duduk dekat-dekat dia."
Orang macam Tirta emang emosional. Ada saja dimata Tirta salah. Alea mendelik, jangan sampai hanya karena dirinya pertemanan mereka hancur padahal Alea tidak tau kesalahannya di mana.
"Gak usah lebay."
"Lebay?!" Tirta tertawa lalu menarik napas dan mengembuskan pelan, dia yakin pasti Samuel sudah kesenangan.
"Kan, gue udah bilang ke dia kalo kita sahabat udah dari lama. Maafin gue bongkarin semuanya." Samuel tersenyum samar melempar pandangan pada Alea sebentar.
Alea mengangguk padahal belum sampai lima menit Tirta tenang di tempatnya pemuda itu tiba-tiba meringis seraya telunjuk menekan sudut bibirnya, Alea tersentak bangkit menghampiri.
"Ini lo sengaja. Darahnya berhenti tapi sekarang ngalir lagi?" Alea tidak mengerti jalan pikiran Tirta bagaimana bisa Tirta menggit lukanya hingga terbuka kembali. "Dan lo malah nyengir kaya orang gila!" serunya.
Pemuda tampan itu mengedikkan bahu tak acuh, bertopang dagu menikmati raut wajah Alea yang menahan kesal bahkan dibuat memerah, dari Alea yang harus mencari kapas di kotak obat. Membongkarnya secara bruntal.
Baru hari pertama Alea benar-benar ingin mengamuk tetapi dia sudah berjanji untuk tetap tenang seberapa menyebalkannya Tirta.
"Tangan aku sakit, sayang. Kamu yang obatin."
Alea memutar bola mata, menurut begitu saja. "Lo itu emang ambien kalo gak bikin orang kesal sehari, nurut kek. Dasar a---"
"Nah, keluar! Panas kan lo. Setan!" Giliran Tirta yang memotong ucapan Alea, namun manik gelapnya menatap lurus Samuel yang berjalan pincang menuju pintu. "Si--ss, aw. Sakit!" Tirta memekik ngilu, bibirnya mendadak makin sakit.
Alea meletakkan kasar kapas di gengamnya, lebih baik memilih ke kelas. Lagi-lagi ditahan, Alea menoleh garang. Tirta lebih pantas disebut pengganggu, perusak suasana. Bukan pacar.
"Lo itu sebenarnya mau apa?! Gue cape!" Akhirnya pertahanan Alea runtuh, kepalanya tiap detik seakan hendak pecah. Belum lagi, napasnya terasa panas.
"Gue cuma minta lo tetap di sini." Tirta menyahut tegas. Kalau disuruh memilah, Alea lebih suka pembicaraan mereka seperti ini bukan kata-kata menjijikan layaknya tadi.
"Enggak bisa!"
"Lo sakit?!"
"Sakit gue makin parah kalo kita satu ruangan. Puas!"
Tirta terdiam.
"Gue pikir-pikir dengan kewarasan gue yang masih ada lebih baik batal aja, ide Senja bikin gue muak. Lebih baik putus, manusia kaya lo kenyataannya emang gak punya hati!"
Bahu Alea naik turun puas menumpahkan amarahnya, Alea melewati Tirta begitu saja.
****
Kurang ajar.
Seluruh kebun binatang untuk Rasya, dimata Alea para buntut Rasya itu terlihat asing. Bisa jadi, gadis ular itu kini mencari teman baru yang hobinya membully adik kelas.
"Lo cowok. Gak malu sama burung lo itu, cukup gampar mereka satu-satu." Alea berkata pedas sembari membantu sepuluh menit lalu terus Rasya teriaki namanya Dimas itu di lorong sepi.
"Makasih, Kak."
Alea mendelik, makasih! Telinganya tidak ingin mendengar ucapan itu. Alea berbalik, menghadap Rasya. Keningnya berkerut, gadis dengan poni rata di sebelah kiri Rasya, Alea mengenali.
"Erin."
Si punya nama tersenyum lebar kemudian telapak tangannya terangkat, bergoyang melambai kepada Alea.
"Hai, gue sekitar udah lima hari pindah. Gimana kabar lo dan Samuel? Gue jadi kangen masa kita SMP," sahutnya riang.
Alea tidak paham senyuman Erin, bisa dikatakan di masa lampau mereka lumayan dekat tetapi di akhir tahun sebelum kepindahan Samuel, Erin berteriak nyaring di depan kelas Samuel pindah sebabnya adalah dia. Tentu, Alea tak terima. Entah dimulai dari mana, tangan Alea melayang menampar pipi Erin hingga lebam.
Saat itu Alea marah tepatnya sangat marah. Dia seakan ditelanjangi. "Oh, berarti lo mau balas dendam. Dendam kesumat sama gue. Hm, penyakit gagal ginjal pasti dah sembuh ya." Alea bersedekap dapat melihat jelas gadis itu langsung memias, sementara Rasya dengan yang lain dibelakang memandangi heran.
Jangan lupa vote🌟 dan komen ya. Terima kasih untuk vote dipart sebelumnya❤
Next spoiler : kedamaian
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat [END]
Teen FictionNamanya Alea Rayuna Listar Dunia seolah membenci Perannya dianggap sebagai antagonis Hidup menderita ditertawakan Perlahan namun pasti jati diri Alea mulai tersibak! Ada dua pilihan "Hancur atau Bertahan?" "Gue Kakak lo!" Gadis berambut berantakan i...