PERMINTAAN

1.2K 174 0
                                    

Virgo rasanya kehilangan akal malam itu, melihat tangan adiknya dipenuhi darah. Jiwanya seakan menghilang entah ke mana, lemas tak berdaya lagi saat brankar di dorong ke UGD. Perasaan Virgo campur aduk, mendengar cerita Tirta kemarahan lebih mendominasi--- iblis-iblis itu memang wajib dihabisi.

"Luka diperut Nessa sudah di jahit kamu enggak perlu mengkhawatirkannya, kita sekarang cuma menunggu Nessa sadar."

Virgo menoleh, beranjak lalu duduk di sofa samping Elang. Alea telah dipindahkan ke ruang perawatan, Virgo sadar. Alea pasti tidak akan menyukai kamar ini, bagaimana gadis itu anti segala hal yang berbau mewah. Tapi Alea juga tak akan protes kalau Elang lah penyebabnya berada di ruang VIP.

"Hm, tangan lo kenapa?"

"Habis bikin orang sekarat jadi kaya gini."

Virgo menelan ludah agak ciut, di satu sisi paham baguslah tangannya tidak perlu mengotori para iblis-iblis itu, tinggal satu orang yang masih jadi buronan.

"Nesta tau kan soal kakaknya. Gimana tanggapan dia, bisa aja Nesta diam-diam marah," kata Virgo mengingat adik angkatnya itu kalau emosi memilih menyimpan.

"Enggak. Dia justru bahagia, katanya terserah mau lakuin apapun. Kesalahan cewek sinting itu udah fatal, Sonya digenggaman Kak Elang sekarang."

Virgo mengiyakan singkat, pandangan Virgo kembali ke ranjang. Alea masih menutup mata, pakaian rumah sakit biru mudanya terlihat pas dan rambut panjang itu terurai indah, garis wajah Alea membuat hati Virgo bergetar yang sangat mirip dengan mendiang mama.

"Kenapa para suruhan lo itu gagal lindungin Nessa, keadaan malam itu bukan sesuatu yang kecil, dia hampir di per--"

"Mereka licik. Berhasil mengalihkan perhatian, seorang gadis berpakaian sama dengan Nessa dan berjalan lurus tanpa memasuki gang padahal sebaliknya."

"Jelas. Suruhan lo itu gak berguna! Lebih baik pecat, sialan!" Virgo membentak. Urat-urat di lehernya tercetak jelas, gagal melindungi sang adik. Virgo merasa sakit melihat kelopak mata itu tertutup.

Elang tidak berminat membalas, membiarkan Virgo mengumpatinya. Hingga merasakan hal aneh, barulah Virgo berhenti dan Elang menegakkan badan, bangkit dari duduknya mendekati brankar.

"Kamu udah sadar?"

Pria yang biasanya minim ekspresi itu mengembuskan napas, seolah bebannya berkurang. Sudut bibirnya terangat tipis, meraih jemari adiknya menyalurkan kehangatan di sana.

Sesuai Alea duga, tempatnya kini rumah sakit. Alea menyentak pelan tangan Elang, menyembunyikannya ke balik selimut tindakannya berhasil membuat dua orang di dekatnya tertegun.

"Semuanya benar-benar bencana." Kelopak mata Alea berkedip, menyesuaikan cahaya lampu yang menggantung di kamar. Entah berapa lama dia tertidur, badannya sedikit nyeri.

"Maksud kamu apa?" Virgo bertanya lirih mencoba tersenyum, duduk merapat di sisi brankar Alea.

Alea membuang muka sembari jemari meremas kuat selimut, ingatannya sangat jelas. Bahunya tereskpos di depan laki-laki kurang ajar itu, ingin sekali Alea menyumpah serapahi.

"Identitas sebagai Nessa jangan sampai banyak yang tau, cukup kalian dan orang-orang kepercayaan Pradana," kata Alea serak. "Kalian liat, kan. Gimana aku nyaris mati. Kenapa gak mati beneran, kalau setelah ini akan terulang lagi."

Virgo tidak bisa menahan Elang yang tiba-tiba mendorongnya, Alea tertegun pasrah saja selimut membungkus badannya tersibak.

"Kamu masih gak percaya kamu itu sebenarnya Nessa. Apalagi bukti yang harus Kak Elang tunjukin, faktanya kamu memang Nessa Granya Pradana!" Elang setengah berteriak, sorot matanya dingin membalas manik kelabu itu yang pertama kalinya Elang lihat tak ada ketakutan.

"Aku gak mau hidup yang tenang hancur cuma gara-gara nama belakang. Ini permintaan! Aku gak pernah minta untuk kembali ke keluarga kalian, kebahagiaan aku cukup kalian diam dan bersikap seperti awal, kita tidak saling mengenal!"

Pandangan Alea beralih ke arah Virgo yang berdiri di belakang Elang, bukankah berawal dari Virgo mengenal lebih dekat, keberanian Virgo menghentikan aksi dia menampar Rasya, Alea yakin disitulah awalnya.

"Aku mohon..." Alea menangkup kedua tangan, menatap memelas. Napas gadis cantik itu memburu, bulir keringat menetes di keningnya.

Alea sadar keadaannya masih lemah, hanya saja dia merindukan hidupnya seperti dulu.

"Tenang, oke?" Virgo mendekat, sebelah tangannya mengelus rambut panjang Alea, bibirnya membentuk senyuman lembut. "Kak Virgo tau kamu marah, kamu emosi. Kita janji ini terakhir kali, Nessa. Kamu harus menerimanya, bagian keluarga kami."

Menerimanya?

Andai segampang itu. Alea rasa sebentar lagi dia akan gila, tekanan ini menyiksanya. Suatu saat nanti hidupnya pasti akan banyak peraturan, namun Alea tidak mampu menolak darah mengalir di tubuhnya antara kenyataan pahit dan kebahagiaan.

****

Alea tidak peduli bahkan ruang perawatannya diisi kebisingan yang alasan mereka katakan untuk menjengkuk, tak ada kewajiban bagi Alea memasang tampang ramah. Dua keluarga yang memperkenalkan sebagai adik dari mendiang sang mama.

"Kamu mirip banget sama Rahel, baru kakak kamu mirip Arya," ucap wanita bergaun merah dengan rambut disanggul, tengah mengapit lengan pria di samping yang Alea yakini suami wanita itu.

"Virgo tadi bilang katanya kamu sekarang masih tinggal di panti asuhan, kamu itu punya rumah lho, Caca. Itu si Nesta keenakan hak kamu diambilnya."

Alea menoleh ke sofa di sana wanita dengan rok selutut memangku balita yang tertidur di pangkuan, nada suara wanita itu sarat kejengkelan.

"Iya, Tante Nia kalau gak mirip aku mustahil di rumah sakit ini," sahut Alea penuh arti. "Aku lebih nyaman bernaung di sana soal Nesta bukannya kalian tau Kak Elang mengangkatnya sebagai adik. Jadi secara gak langsung Nesta kakak aku walaupun kita lahir di tahun yang sama."

Kedua orang itu kehilangan kata-kata, sudut mata saling melirik. Alea melihatnya berdecak pelan, bermaksud ingin menenangkan diri kedua orang itu justru merusaknya.

"Makasih, Al--, Nessa."

Sebelah alis Alea naik, mengenal siapa berdiri di ambang pintu sembari menenteng sesuatu di tangan, yang membuat Alea tiga detik berikutnya salah tingkah pemuda di belakang Nesta.

"Pas di parkiran gue ketemu Tirta jadi kita barengan. Jangan salah paham ya. Oh, ini dari Tirta gue dibabuin sama dia katanya males megang padahal gak berat!" ujar Nesta riang. Pengakuan Alea tadi tentu membuktikan Alea tidak benci padanya.

Sedangkan Tirta bersedekap, menyandarkan punggungnya di tembok. Seringai tipis terbit tepat ketika manik kelam itu bertemu si netra kelabu. Tirta tidak akan menyadari detik itu, sesuatu dia harapkan terbalas atau mungkin sebelumnya sudah terbalas hanya saja satu pihak belum mengerti.




***

JANGAN SIDER YA :( BERIKAN VOTE DAN KOMENNYA. TERIMA KASIH UNTUK VOTE DAN KOMEN DIPART SEBELUMNYA

Heartbeat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang