11. Teenager

773 134 29
                                        

Kastil ramai sekali pagi itu, antrian manusia terlihat di luar gerbang kastil.

"Kak Sunghoon, ini ada apa?" Tanya Jake seusai sarapan, tidak melihat kehadiran Asahi di ruang makan.

"Akan ada audisi mencari guru." Ucap Sunghoon

"Untuk?" Tanya Jay, ingin tau juga

"Kalian berdua." Jawab Sunghoon

"Untuk?" Tanya Jake.

"Ya untuk mengajar..."

"Kak Yedam tidak cukup?" Tanya Jake lagi.

"Asahi menilai Yedam terlalu santai pada kalian, dia masih mengajar, tapi ditemani guru-guru lain." Jelas Sunghoon


Bibir Jake mengerucut, Jay menggaruk tengkuknya, "Apa itu perlu?" Tanya Jay.

"Menurut Asahi perlu." Jawab Sunghoon.

"Apa ibu menyetujuinya?" Tanya Jake kepada Jay.

"Hng... apa kalian tau kalau selain keputusan Raja... keputusan Asahi juga tidak bisa diganggu gugat?" Tanya Sunghoon kepada kedua anak polos yang langsung menggeleng itu.

"Ternyata Kak Asahi sehebat itu..." Ucap Jake, berusaha menelan makanannya meski sudah kehilangan napsu.




























Hari itu Sunghoon libur, untuk mengisi kesehariannya, dia mengatur tanaman di dekat ruang kelas Jay dan Jake.

Ia dapat mendengar suara yang familiar, bukan suara Yedam, suara gurunya dulu.

"Pak Namjoon." Ucap Asahi kepada Sunghoon dengan buku di tangannya.

"Kenapa sibuk-sibuk audisi padahal Pak Namjoon sudah pasti jadi pilihan?" Tanya Sunghoon.

Asahi menggidikkan bahu, "Sekaligus menjadi pacuan para guru di luar sana."




"Apa kedua anak itu tidak takut?" Tanya Sunghoon, mengingat dia ketakutan setiap diajar Pak Namjoon.

"Lihat saja." Ucap Asahi menunjuk ke dalam ruang kelas.

Terlihat jelas senyum terpatri di wajah Jake, "Tampangnya dia senang?" Ujar Sunghoon dengan nada bertanya.

"Tentunya, baru hari pertama." Jawab Asahi melambaikan tangannya pada Sunghoon.
































Meski libur, bukan Sunghoon namanya kalau tidak sibuk. Anak itu tetap berjalan-jalan di sekitar kastil yang besar, pohon yang mengubah nasibnya tidak dia kecualikan sebagai destinasi.

"Jake?" Panggil Sunghoon, merasa tak asing dengan surai kecoklatan yang duduk menghadap pohon.

"Siapa?" Tanya yang bersurai kecoklatan

"Sunghoon."

"Jangan kesini."

"Kenapa?"

"Aku sedang menangis."

Bukannya menuruti, Sunghoon malah berjongkok di sebelah Jake, "Kenapa? Jay kemana?"

"Jay sedang belajar dengan Pak Namjoon."

"Lalu mengapa kamu disini? Kenapa menangis?"

"Dimarahi Pak Namjoon."








Astaga, nyaris Sunghoon membolak-balikkan dunia sebab melihat Jake menangis. Membatalkan rencananya saat tau yang membuat anak lucu itu menangis adalah Kim Namjoon, dia saja masih takut dengan guru itu.

"Sudah, jangan menangis, Pak Namjoon memang begitu." Ucap Sunghoon mengusap kepala Jake, dilihatnya hidung Jake yang memerah.

"Kakak juga diajari Pak Namjoon?"



Sunghoon mengangguk, "Dulu Pak Namjoon itu guruku, tingkatnya sama seperti Yedam untuk kalian, bayangkan tiap hari aku musti bertemu dengannya. Kadang-kadang aku suka dimarahi karena tidak bisa pelajaran yang dasar, padahal seharusnya diwajarkan karena aku bukan dari sekolah khusus atau dari keluarga tersohor seperti Asahi."

"Tapi aku kan berasal dari keluarga Kak Asahi..."

Sunghoon menggaruk tengkuknya, benar juga, siapa dia membedakan dirinya dengan Hamada Jake?

"Ah, tenang, Pak Namjoon itu baik. Dia memarahi kita karena dia sayang pada kita, dia ingin kita menjadi manusia yang berakal, makanya dimarahi." Jelas Sunghoon.

"Kakak tau darimana Pak Namjoon seperti itu?"

Sunghoon juga binggung, kenapa? Hanya dari dulu firasat mengatakan demikian, meski sampai hari ini dia masih takut dan segan terhadap guru itu, "Uhm... Pak Namjoon tidak pernah membawa strata atas siapa aku dan bertindak adil terhadap aku dan Asahi."

Jake memiringkan kepalanya, "Strata?"

"Iya, strata."

"Apa itu?"

"Kamu tidak tau? Orang itu dibedakan dengan beberapa tingkatan. Tunawisma, proletariat, jelata, saudagar, perwira dan bangsawan."

"Huh? Kata-katanya tidak asing tapi aku.. tidak mengerti..." Ucap Jake memelankan suaranya karena merasa malu

"Pantas kamu dimarahi Pak Namjoon." Kelakar Sunghoon mengusap kepala Jake, tampaknya kepala anak itu adalah destinasi favorit tangan Sunghoon.

"Jelaskan..." Pinta Jake malu.




"Tunawisma ialah mereka yang tak punya rumah, paling rendah status sosialnya, kebanyakan yang lahir sebagai tunawisma masih akan menjadi tunawisma saat mati.

Proletariat ialah yang bekerja sebagai buruh, kecerdasannya dikesampingkan untuk bertahan hidup. Aku dulu disini.

Jelata ialah rakyat biasa, berkecukupan. Masih bisa hidup meski tidak semewah saudagar, nah saudagar adalah seorang pedagang yang menjual barangnya sampai lintas samudra.

Perwira itu aku! Dan... kamu itu bangsawan." Jelas Sunghoon panjang lebar


"Jadi kita berbeda ya, kak?" Tanya Jake polos, Sunghoon mengangguk, lalu termenung.







Jake tidur di pangkuan Sunghoon, menikmati angin sore yang berhembus tenang. Santai sekali tanpa tau isi kepala yang pangkuannya dijadikan bantalan sedang rumit.










Sunghoon menyadari dia dan Jake benar-benar berbeda. Menjadi perwira sudah merupakan tingkat tertinggi yang bisa diraih orang bukan darah biru seperti Sunghoon.

Apa yang harus dia lakukan bila nantinya dia ingin hidup bersama Jake?












Dasar manusia tamak... Sunghoon merasa bersalah pernah berpikiran seperti itu, harusnya Sunghoon sadar. Harusnya.

BreakthroughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang