TUJUH

162 29 10
                                        

"Ra, lusa saya udah gak cuti lagi."

"Hm."

"Saya udah masuk kerja lagi. Kamu gak papa kan sendirian di rumah?"

"Iya."

Seno menggaruk kepalanya bingung, sejak tadi siang sampai sore ini Rara tidak bicara banyak dengannya. Seperti sekarang, gadis itu tengah sibuk dengan ponselnya tanpa menghiraukan keberadaan Seno.

"Ra, kamu marah ya sama saya?"

Rara menggeleng, "Enggak, emangnya gue harus marah karena apa?"

"Emm, mungkin kamu marah karena ... gak suka saya bawa Erin ke rumah?" tanya Seno ragu-ragu.

Rara menoleh dan menatap Seno dengan raut wajah bingung, "Kenapa lo mikir gitu?"

"Mungkin aja kan, soalnya sejak Erin datang kamu jadi cuekin saya. Sekarang aja kamu sibuk main HP."

"Oh, jadi maksud lo gue cemburu sama cewek genit tadi?! Enggak ya!"

"Saya kan cuma nanya, soalnya kamu jadi cuekin saya tanpa alasan. Saya bingung salah saya dimana?"

Iya! Gue marah karena lo sibuk ngobrol sama cewek tadi! Lo jadi lupa sama gue, dan gue gak suka!

"G-gue tuh capek. Gue kesel karena lo pulangnya lama, gue terpaksa harus beresin barang-barang sendirian tanpa lo bantu sama sekali." Rara berusaha mencari alasan agar Seno tidak berpikir bahwa dirinya saat ini memang cemburu dengan Erin.

"Kamu marah karena saya gak bantuin beres-beres?"

"Iya, jadi lo gak usah mikir kalo gue cemburu! Jangan mimpi!"

Seno tersenyum, "Kirain kamu marah karena saya tadi asyik ngobrol sama Erin, ternyata enggak ya..."

Peka woi, anjir! Gue emang gak suka liat lo sama dia!

"Ya, enggak lah, ngapain gue cemburu sama tuh cewek. Cantikan juga gue."

Seno terkekeh geli, "Iyaaa, lebih cantik istri saya."

Rara yang tadinya duduk di sofa, segera berdiri. Entah kenapa ia jadi salah tingkah setelah mendengar pujian Seno tadi.

"Gue ke dapur dulu."

"Ngapain?"

"Mau renang."

Seno mengerutkan keningnya, "Hah?"

"Gue mau masak buat makan malem lah," jawab Rara. "Jangan pura-pura bego dong."

"Emang bisa masak?"

Rara berkacak pinggang di depan Seno. "Jadi lo ngeraguin kemampuan gue nih? Ternyata bener ya, otak lo isinya cuma Erin. Lo ingetnya cuma sama dia, sampe-sampe istri sendiri dikatain gak bisa masak!"

Seno menatap Rara bingung. Perasaan tadinya mereka membahas tentang memasak, tapi kenapa Rara membawa-bawa nama Erin? Darimana nyambungnya?

"Kok bawa-bawa Erin? Dia gak salah apa-apa malah kamu sebut."

"Terserah. Gue mau masak!"

Seno kini mengamati Rara yang sekarang sudah sibuk dengan alat-alat di dapur. Ekspresi gadis itu sangat serius, seakan ingin membuktikan kepada Seno, bahwa dirinya memang pandai dalam memasak.

***

"Enak gak?"

"Baru saya kunyah, kamu udah nanya enak apa enggak."

"Ya, maap. Tapi masakan gue emang enak kan?"

Seno mengangguk mengiyakan. Masakan Rara memang enak. Ternyata gadis itu bisanya bukan cuma marah-marah saja, tapi juga pandai memasak.

"Kamu kapan masuk sekolah?"

"Minggu depan," jawab Rara.

"Saya mau tanya sesuatu boleh?"

Rara meneguk air minumnya. "Tanya apa?"

"Jawab yang jujur. Sebelum kita menikah, kamu punya pacar gak?" tanya laki-laki itu. "Atau mungkin sekarang masih pacaran?"

Rara mengerutkan keningnya. "Kenapa nanya gitu?"

"Punya ya?" tanyanya lagi sambil tersenyum kecut, padahal ia belum mendengar jawaban yang jelas dari mulut Rara. "Kalo punya gak papa sih. Sebagai suami kamu saya cuma pengen tahu aja."

"Gue gak punya pacar." Rara menjawab dengan tegas. "Terakhir kali pacaran pas baru masuk SMA, udah lama banget. Gue males soalnya, bikin ribet hidup aja."

Seno tersenyum. "Bener, kamu gak perlu pacaran. Kan udah jadi istri saya."

Rara dengan sekuat tenaga berusaha menahan dirinya untuk tidak tersenyum. Gadis itu seperti biasa akan bersikap seolah-olah perkataan Seno barusan tidak berefek apapun padanya, padahal dia sudah baper setengah mati.

"Ih!" Rara menatap Seno sinis. "Mulai kan, gilanya kumat."

Seno tertawa menanggapinya. Entahlah, ia sangat menyukai sikap Rara yang seperti ini daripada yang tadi sore. Kalaupun ia diizinkan memilih, ia lebih baik dimarahi terus-menerus oleh Rara daripada didiamkan oleh gadis itu. Wah, bulol terdeteksi!

"Ra..." Seno menatap Rara lekat. "Kamu jangan pernah bohongin saya ya? Saya gak selamanya bisa ngawasin kamu, jadi saya harap kamu bisa menghargai perasaan saya."

"Maksudnya gimana? Gue gak paham, sorry."

"Kalo nanti ada seseorang yang deketin kamu terus ngajak kamu pacaran, dan kamu juga suka sama dia, bilang aja ke saya gak masalah. Jangan diem-diem aja."

Jujur, Rara bingung dengan perkataan Seno barusan. Apa laki-laki itu tidak percaya dengan Rara? Bagaimana bisa ia berpikir bahwa Rara akan menerima orang lain sementara dirinya sudah memiliki suami.

"Lo gak percaya sama gue ya, kak?"

Dengan cepat Seno menggeleng, takut Rara salah paham. "Gak gitu, saya cuma pengen ngomong aja. Gak bermaksud nuduh kamu yang enggak-enggak."

"Gue ngerti, Kak. Gue nikah sama lo karena terpaksa dan gue gak cinta sama lo. Makanya lo jadi ragu, iya kan?"

"Bukan itu maksud saya. Saya cuma pengen kamu jujur tentang apa yang kamu rasain, jangan sembunyi sembunyi kalo ada masalah. Saya ... cuma pengen dihargai sebagai suami kamu, Ra."

"Lo tenang aja. Gue gak bakal sembunyiin sesuatu dari lo kok. Karena mau gimanapun juga lo suami gue, Kak," Rara menunduk. "Gue bakal selalu jaga perasaan lo. Sama kayak yang lo lakuin ke gue."

Seno terdiam beberapa saat. Ia kemudian menyadari bahwa suasana makan malam mereka saat ini berubah menjadi menegangkan karena perkataannya.

Seno terkekeh kecil. "Udah lah, lupain aja. Saya tadi cuma asal ngomong, jadi gak usah terlalu dipikirin."

"Tapi gue serius..."

"Hm?"

Rara mengangguk dan menatap tepat pada manik mata Seno. "Gue serius. Gue janji bakal selalu jaga perasaan lo.

Seno tersenyum. Ia senang dengan jawaban yang Rara berikan. Meskipun gadis itu belum mencintainya, setidaknya Seno dihargai sebagai seorang suami karena Rara menganggapnya ada.

☁️☁️☁️

Seno apaan sih, pikirannya negatif mulu wkwkwk

Vote ya sayangkuuuu:-) papayyyy

Only You | Suho X JisooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang