19. Tentang Dia

1.8K 169 2
                                    

Bismillah
Selamat membaca♥

Jangan lupa Vote dan komen, ya!

Jam berapa kalian baca part ini?

Gimana perasaan kalian pas baca cerita Amila?? Silahkan komen❤

Ajak teman kalian ikut baca juga, ya? Biar makin ramai❣

19. Tentang Dia

“Aku hanya punya satu mimpi; yaitu memiliki mu dalam ikatan yang suci, Dan Aku mempunyai satu do‘a; semoga kamu adalah bagian dari tulang rusuk ku.”

Amir Mahendra Al ‘arafi

****
Mila menatap bangunan besar di hadapan nya dengan rasa kagum. Bangunan yang terisi penuh dengan lafadz-lafadz Allah dan bangunan yang selalu di singgahi orang-orang beriman. Cahaya bintang dan rembulan ikut serta melengkapi keindahan Masjid. Hamparan halaman yang luas telah di pasang panggung untuk perlombaan rebana, Tausiyah, dan lain-lain.

Banyak orang berkopyah dan berhijab berlalu lalang. Ada yang berfoto, belajar untuk persiapan lomba, dan ada yang asyik bercanda dan berkenalan dengan orang yang baru mereka temui. Suasana yang begitu tenang dan menyenangkan membuat Mila merasa nyaman di sini. Rasa takut dan gugup nya seakan sirna. Hati nya telah memantapkan kalau ia akan mengharumkan nama Pesantren.

Seluruh rombongan berjalan beriringan menuju Masjid. Mereka datang sedikit terlambat karena padat nya jalan raya dan waktu istirahat mereka yang terlampau lama. Hari pertama, tanpa istirahat mereka akan langsung lomba.

“Semangat, Fis!” ujar Mila kepada Nafisa. Malam ini Nafisa akan langsung melaksanakan Lomba Tausiyah nya. Ia merasa kagum dengan teman nya itu yang sudah beberapa kali mengharumkan nama Pesantren dan kamar Asrama nya pun ikut di sanjung para Ustadzah serta para santri.

Syukron katsiron, Ning! Saya gabung peserta lain dulu, ya!” pamit Nafisa yang di angguki Mila.

Mila mengedarkan pandang nya. Mereka yang mengikuti olimpiade kitab kuning seperti diri nya semua pada belajar. Mila pun membuka buku nya dan memulai belajar.

Sementara Mila yang tengah sibuk mojok dengan buku nya, Amir pun sedang sibuk mengatur suara dan lirik nya. Mereka yang lomba rebana tetap berlatih lagi meski suara alat hadrah bersaut-sautan dengan yang lain.

Hafi pun tetap memantau mereka di bantu oleh Ustadz Fauzi dan Ustadz Arif yang ahli di bidang Vokal dan hadrah. Sesekali Hafi melirik istri nya yang memainkan ponsel milik Hafi. “Nanti kalau nada tinggi naik nya pelan-pelan, Gus!” peringat Hafi kepada Amir yang sering lupa.

Amir menyengir kaku seraya menggaruk pipi nya. “Iya, Gus. Saya suka lupa,” ucap nya.

“Kalau bisa pembawaan nya tambah di dalemi, biar yang mendengar ikut ngerasa ngoten,” Tambah Ustadz Arif. “Pas rutinan saja bisa sampe sesegukan, gitu?”

“Bisa di mulai lagi!” Ustadz Fauzi menginterupsi. Lantas Amir mengangguk dan memulai nya. Para santri pemegang alat pun siap.

Sementara tim hadrah berlatih, Hafi menghampiri sang istri yang tengah fokus bermain ponsel. “Dedek nya enggak nendang-nendang, kan, yang? Enggak rewel juga, kan? Kamu ngantuk enggak, yang?” tanya Hafi beruntun.

Zahra mematikan ponsel nya dan menangkup kedua pipi suami nya gemas. “Enggak, Mas. Kamu tenang aja!” balas Zahra. Mata nya menatap adik nya yang masih belajar. “Aku mau nyamperin Mila dulu, kasian dia dari tadi belajar sendiri. Al-Furqon dapat urutan nomor berapa?”

AMILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang