34. Tanpa cadar

1.7K 183 9
                                    

Jangan lupa Vote dan Komen, ya!
Tandai Typo juga!

34. Tanpa Cadar

“Silahkan kejar apa yang ingin kamu kejar. Tapi ingat, jangan sampai kehilangan apa yang seharus nya kamu jaga.”

Amila

****
Waktu sudah menunjukkan pukul empat tiga puluh pagi, namun Mila masih setia meringkuk dibawah selimut tebal nya. Diluar sedang hujan lebat membuat Mila merasa malas untuk membuka mata. Seolah ia melupakan kewajiban nya sebagai seorang islam.

Laras yang melihat putri nya masih terlelap pun geleng-geleng. Ia meraih ponsel Mila yang sedari tadi berdering karena bunyi alarm. Lalu menyingkap selimut yang membungkus tubuh putri nya. “Anak gadis, kok, bangun telat. Ayo bangun, sholat subuh dulu!” Laras menepuk pelan pipi Mila.

“Diluar hujan, Bun.” gumam Mila dengan mata masih terpejam serta menaikkan selimut nya lagi.

“Ya, kenapa kalau hujan? Bangun terus sholat subuh! Sekalian mandi sana,” perintah Laras sambil menarik tangan Mila agar terbangun.

Mila berdecak. “Bunda, ih, ganggu aku saja, sih!”

“Maka nya bangun, lihat itu jam berapa?” Dengan malas akhir nya Mila beranjak menuju kamar mandi. Daripada tambah membuat Laras marah.

“Nah, gitu, dong, Zafi saja sudah bangun daritadi, masa kamu kalah sama keponakan, sih?” ujar Laras. Mila hanya berdecak dan menutup pintu kamar mandi nya dengan keras. Laras tertawa pelan. Setelah memastikan anak gadis nya benar-benar melaksanakan apa yang dia perintahkan, Laras bergegas turun ke bawah untuk membantu menyiapkan sarapan pagi.

Setelah menghabiskan beberapa menit untuk mandi dan sholat, Mila berniat untuk sarapan. Hari ini adalah pertandingan final basket, jadi dia sudah memakai baju couple dengan bawahan celana training. Dan hari ini dia berniat untuk tidak memakai niqob nya.

“Dor!” Mila memegang pundak kakak nya membuat Zahra terkejut begitupun Zafi yang ikut kaget. Anak kecil itu langsung menangis dengan sangat keras. Mila tergelak pelan.

“Sssttt, tante Mila jahil, ya? Maaf, ya?” Mila mencium pipi gembul keponakan nya. Namun, bukan nya berhenti tangis Zafi malah semakin keras. Anak itu melirik Mila sambil menggertakkan gusi-gusi nya yang belum tumbuh gigi, seolah benar-benar sedang marah.

“Bercanda nya tidak lucu, dek.” tegur Laras membuat Mila meringis.

“Maaf, aku kira kakak saja yang kaget,”

“Sudah tidak apa-apa, nanti dia diem, kok,” ujar Zahra lembut seraya menenangkan putra nya yang masih menangis sesegukan.

“Masih subuh, loh, ini dek, sudah jahil aja.” sahut Ustadzah Ema yang meletakkan piring berisi ikan goreng di meja makan.

Tak lama, Hafi datang setelah selesai mengisi kajian pagi di Masjid. Ia menghampiri istri nya yang sedang menenangkan putra nya. “Kenapa, yang?” tanya Hafi.

“Biasa, dijahilin tante nya, tuh.” Zahra menunjuk Mila menggunakan dagu. Mila hanya menyengir lebar.

Hafi mengambil alih putra nya. “Ayo, sama Abi.” ujar nya. Di gendongan sang Ayah, Zafi langsung berhenti menangis. Hanya tinggal sesenggukan saja. Dia menyandarkan kepala nya di dada Hafi membuat semua orang tertawa pelan. Zafi seolah sedang mengadu kepada Abi nya. “Aku bawa ke teras, ya!” izin Hafi kepada sang istri.

AMILATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang