6. Drama Perselingkuhan

12.3K 937 123
                                    

"Kamu beneran nggak papa aku nginep di rumah Papa malam ini?" tanya Flo pada sang suami.

Ronald memeluk Flo dari belakang dan menciumi lehernya berulang-ulang. "Nggak papa, Flo. Aku bukan anak kecil lagi yang harus kamu urusin. Pergi aja, habiskan waktu dengan orang tua kamu."

Flo tersenyum. Ronald suami yang selalu pengertian, sekali pun tidak pernah bicara dengan nada membentak padanya. Ini sebabnya, Flo sangat mencintai suaminya. Terlepas dari dinginnya hubungan mereka di ranjang akhir-akhir ini, Ronald tetap suami yang menjanjikan masa depan penuh kebahagiaan.

Ronald mengesah. "Andai aku bisa ikut, tapi pekerjaanku sangat banyak hari ini. Ini aja aku harus langsung ke kantor, karena ada meeting darurat. Salam untuk Papa dan Mama, oke?" Wajahnya terlihat sangat bersedih. Dia mengusap puncak kepala Flo dengan lembut, sambil tersenyum penuh cinta.

"Nggak papa, Ron. Aku ngerti kamu lagi sibuk," sahut Flo sembari berbalik. Dia membetulkan dasi Ronald yang miring. Diusapnya dada sang suami dengan lembut. Aroma parfum menguar di hidungnya, "kamu mau ke kantor kenapa sewangi ini?"

Ronald terlihat gelagapan. "Wangi? Aku memakai parfum yang biasa." Matanya terlihat tidak tenang.

"Mungkin hidung aku aja yang lagi sensitif pagi ini. Kayaknya aku mau flu deh," sahut Flo terkekeh. Dia tidak ingin pagi ini mereka ribut hanya karena perkara parfum. Dan sekali lagi, Ronald terlalu lemah lembut untuk diajak ribut.

Ronald memeluk pinggang Flo. "Jangan lupa kabari aku begitu sampai. I'll miss you." Hidungnya menggesek hidung Flo.

"Aku cuma pergi dua hari, tapi kamu bertingkah seakan-akan aku nggak akan pulang lagi," kekeh Flo.

"Tetep aja, aku bakal rindu. Dua hari itu rasanya seperti dua tahun, itu menyiksku."

"Kalau begitu, aku batalin aja perginya. Kita bisa ..."

Ronald dengan cepat menahan tangan Flo yang hendak menjelajahi kanfijg kemeja putihnya. Dia mendekati bibir Flo dan menciumnya. Beberapa detik lamanya mereka saling membelit lidah, sampai Ronald lebih dulu yang mengakhiri. "Pergilah, nanti kamu ketinggalan pesawat." Mengabaikan ucapan Flo yang tadi.

"Kamu mengusirku?"

"Aku cuma nggak mau nanti orang tua kamu kecewa. Mereka pasti udah nungguin banget kedatangan kamu. Lagian tiket udah dipesan, sayang kan kalau nggak jadi pergi?"

Flo tersenyum dan mengangguk. Dia kembali memeluk Ronald. "Kenapa aku merasa kamu banyak berubah, Ron." Akhirnya kalimat itu meluncur keluar dari mulutnya, efek resah yang terlalu besar di dadanya.

"Honey, kamu pasti cemas karena aku nggak ikut. Jangan khawatir, kalau aku bisa menyelesaikan pekerjaan dengan cepat, Aku akan menyusulmu."

"Kau janji?"

Ronald mentangguk.

"Baiklah, aku pergi kalau begitu. Kamu jaga diri ya, jangan selalu terlambat makan. Aku nggak mau denger kabar kamu sakit."

"Iya sayang. Cepat pergi!" Ronald menepuk bokong Flo.

Ronald tidak bisa mengantarkan Flo ke Bandara. Flo terpaksa harus ditemani seorang sopir, meski di dalam hati dia sangat ingin suaminya selalu ada.

"Hati-hati sayang, jangan pulang terlalu cepat kalau kamu masih ingin di sana." Layaknya seorang suami yang begitu pengertian, Ronald bahkan memberi Flo banyak uang untuk kepergiannya itu.

"Aku akan segera pulang. Aku nggak mau suami aku kesepian di sini," canda Flo dengan senyum geli.

Flo sudah masuk ke dalam mobil, dia melambaikan tangan pada Ronald. Saat mobil mulai melaju meninggalkan halaman, entah kenapa hatinya merasa tidak tenang. Dia menoleh ke belakang, tapi Ronald sudah masuk ke dalam rumah.

Retak (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang