15. You Win!

11.8K 828 26
                                    

Dave mengajak Flo ke rumahnya, tempat yang paling aman untuk saat ini. Dia harus melindungi Flo dari kemungkinan kemungkinan terburuk yang Ronald lakukan sebelum sidang perceraian.

"Kamu merasa puas sekarang?" tanya Dave setelah mereka duduk dengan tenang di kamar pria itu.

Kedua tangan Flo terlihat gemetar dan air matanya menetes. Dengan sigap Dave membawanya ke dalam pelukan, membuatnya kian menangis. "Aku nggak salah kan, Dave? Mereka pantes dapetin ini, kan?" tanyanya ketakutan.

"Kamu nggak salah. Ini hukuman buat mereka." Dave mempererat pelukan. "Menangislah sepuasnya. Aku ngerti apa yang kamu rasain sekarang. Emang nggak gampang menyakiti orang lain, karena hati kamu terlalu baik. Tapi percayalah, mereka pantas dapatkan ini."

Flo tidak segan-segan lagi mengulurkan tangan memeluk pinggang Dave. Dia merasa lega sekaligus terluka. Walau bagaimanapun, Ronald dan Maggie pernah menjadi bagian dalam hidupnya. Kehilangan mereka adalah hal yang sangat menyakitkan.

Dave mengusap punggung Flo dengan lembut. Matanya tengah menatap ke luar kaca, di mana terlihat Ronald dan Maggie sedang adu mulut. Lalu Ronald kembali memukul Maggie. Dia tidak ingin Flo melihatnya, dipeluknya lebih erat dan menyelimutinya dengan tubuhnya.

"Menangislah. Dengan begini kamu akan merasa lega. Luapkan segalanya."

Mendengar itu Flo semakin terdorong meneriakkan rasa sesaknya, diikuti pukulan ringan di dada Dave. "Mereka seharusnya lebih menderita, Dave. Aku harusnya lebih jahat lagi," isaknya.

"Kamu benar. Seharusnya kita menghancurkan mereka lebih dari ini."

Flo tiba-tiba melepaskan pelukan dan berdiri. "Aku harus ke sana. Aku harus ke sana. Tadi itu belum apa-apa. Aku harus ke sana." Dia benar-benar terlihat kacau dan lepas kontrol.

Sebelum Flo melangkah terlalu jauh, Dave sudah lebih dulu memeluk wanita itu dari belakang. Menghentikannya. "Kamu nggak perlu lakukan itu sendiri, Flo. Tadi itu baru permulaan, kamu akan lihat mereka lebih menderita nanti. Just wait and see."

Flo menangis kembali. Dia berbalik dan memeluk Dave. "Makasih Dave, untuk semuanya."

"Everything for you."

***

Hari demi hari terus berjalan, sidang perceraian Flo dan Ronald memasuki babak akhir hari ini. Putusan akan dibacakan dan Flo sangat berharap bisa memenangkan gugatannya. Meskipun sampai akhir Ronald tetap ingin mempertahankan rumah tangga mereka, tapi keputusan Flo untuk bercerai sudah final. Terlalu sulit memaafkan suaminya itu, terlebih dia sudah hilang rasa.

Dave begitu setia menemani Flo, hingga menyewa kuasa hukum terbaik untuk membantu memenangkan kasus ini. "Kamu udah denger, kan, tadi Bang Lubis bilang gugatan kamu pasti diterima. Ronald terbukti berselingkuh, itu fatal."

Ronald akhirnya datang, sama seperti sebelumnya dia memasang wajah yang mengemis rasa kasihan. Seakan korban yang patut diberikan keadilan. Melihat Flo, matanya berkaca-kaca, berharap dimaafkan.

"Majelis hakim akan memasuki ruang sidang, hadirin silakan berdiri," seru petugas yang menjabat sebagai protocol persidangan.

Semua orang berdiri dan keadaan menjadi hening.

Hakim ketua mulai membuka sidang. Satu persatu isi putusan dibacakan. Setelah mempertimbangkan dan menyimpulkan atas dasar bukti-bukti dan keterangan saksi, maka ... "Kami mengabulkan gugatan penggugat ..."

Mendengar itu, ketegangan Flo pun sirna. Dia lega luar biasa. Sampai tidak fokus lagi pada apa yang dibacakan oleh Hakim tersebut. "Dave ..." desisnya sangat ingin memeluk Dave, tapi harus menahan diri.

"You win," balas Dave sama senangnya.

Belum selesai Hakim membacakan isi putusan, Ronald sudah berteriak tidak terima. "Ini tidak adil!" Dia berdiri dan hendak mendatangi Flo, tapi langsung dihalangi oleh beberapa pihak di sana.

"Pak Ronald dimohon untuk tenang sampai putusan ini selesai dibacakan." Suara ketukan palu terdengar memperingatkan Ronald yang masih membuat keributan.

"Pak Hakim, saya tidak terima keputusan ini. Saya tidak mau menceraikan istri saya!!" teriak Ronald kembali.

Lantaran Ronald tidak bisa tenang, dia terpaksa diusir dari ruang sidang dan diamankan. Bahkan teriakannya masih terdengar padahal sudah berada di luar.

Flo sendiri sudah tidak peduli. Sekarang dia bebas, statusnya sudah bukan istri Ronald lagi. Air mata kebahagiaan pun mengalir, bersyukur luar biasa.

***

Setelah memenangkan gugatannya, Flo mengajak Dave makan siang di sebuah restoran untuk merayakannya. Dia benar-benar berterima kasih pada pria itu, karena telah membantunya sampai akhir. Tanpa Dave, Flo tidak akan bisa berdiri tangguh seperti sekarang.

"Sekarang apa rencana kamu?" tanya Dave.

"Aku harus cari waktu yang tepat untuk ngasih tau Papa dan Mama tentang ini, Dave. Mereka pasti kaget, karena selama ini kami terlihat baik-baik aja. Aku nggak tau apa Ayah dan Ibu akan menerima ini nanti."

"Pelan-pelan mereka pasti akan ngerti. Apalagi kalau tau selama ini kamu udah dikhianati sama dia. Orang tua mana yang ingin anaknya menderita, pasti nggak ada."

Flo tersenyum. Dia menatap Dave tak berkedip. "Makin lama, sisi nyebelin kamu makin nggak kelihatan lagi. Aku menemukan diri kamu yang lain seiring berjalannya waktu, Dave. Apa aslinya kamu emang kayak gini atau cuma topeng biar aku terpesona?"

Dave tertawa. "Kapan aku pernah nyebelin?" Tak mau mengakui. Dia lalu berdecak, "sebenarnya dulu itu aku cuma mau menggoda kamu, habisnya gampang banget emosi. Tiap lihat kamu marah, aku bener-bener gemes."

Flo mencebik.

"Flo, apa aku boleh jujur?" tanya Dave dengan serius.

"Apa?"

"Setelah ditinggal calon istriku, bisa dibilang aku mulai kehilangan hasrat pada wanita. Tapi saat melihat kamu di malam itu, hasrat aku kembali lagi."

"Malam ... saat kamu memergoki aku ... memakai benda itu?" Wajah Flo merah, merasa sangat malu.

Dave terkekeh dan mengangguk. "Aku rasanya pengen datengin kamu dan ... You know what happens next."

Sesuatu yang aneh berdesir dalam diri Flo. Ucapan Dave membuatnya sedikit terangsang. Apalagi sudah cukup lama dia tidak berhubungan sex ataupun melampiaskannya dengan benda itu, karena terlalu stres.

"Oh my God. Tiap mengingat itu, aku merasa benar-benar malu." Flo menutup wajahnya dengan telapak tangan.

"Kenapa harus malu? Kalau bukan karena itu, mungkin aku nggak akan jatuh cinta sama kamu. First impression orang, kan, beda-beda dan kamu memulainya dengan cara yang unik."

"Tetap saja aku merasa malu, Dave. Aku terlihat menyedihkan saat itu." Flo rasanya ingin melompat ke jurang agar tidak perlu menyembunyikan wajahnya lagi.

Dave terkekeh. Ditariknya tangan Flo dengan lembut agar berhenti menutupi wajah. Detik setelahnya, mereka kembali bertatapan. Cukup lama dan begitu dalam. Sampai akhirnya Dave mendekati wajah Flo.

Ponsel Flo berbunyi ...

Dave mengesah. Dia menjauhkan wajah kembali. Ini kedua kalinya dia gagal mencium Flo, karena suara ponsel itu.

"Sorry," ucap Flo merasa tidak enak.

"It's okay, terimalah. Mungkin saja penting."

Flo meringis. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan melihat siapa yang menelepon. Nama Maggie tertera di sana, membuat mood-nya rusak seketika. Wanita itu terus saja mengganggu, padahal Flo sudah menegaskan bahwa hubungan telah berakhir.

"Nggak penting," ucap Flo sambil me-riject telepon itu.

"Cheers," Dave mengangkat gelasnya.

Flo tersenyum dan ikut mengangkat gelas, lalu mereka minum bersama.

***

Siapa yang seneng hayooo?

Retak (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang