TMA ~ Part 23

634 85 11
                                    

Satu minggu berlalu sejak kejutan pagi hari yang masih menjadi kenangan. Masih terasa jelas diingatan ketika Aleandro mengucapkan sepatah kata dengan tulus. Tidak ada raut mengejek maupun menggoda seperti biasanya.

"Ijinkan aku berada disampingmu, Nebia."

Ucapan itu terus terngiang berulang kali hingga ia tidak bisa mengusirnya. Kata-kata sialan yang diucapkan Aleandro tepat setelah kecupan singkat.

Bodohnya, Nebia hanya diam. Tidak menolak ataupun merasa marah. Ia justru menerima sentuhan ringan itu. Sebuah rasa nyaman yang mulai mengusik pembatas dinding diantara mereka.

Nebia baru saja selesai membersihkan diri. Duduk didepan cermin dan mulai mengoles pelembab pada wajahnya. Namun dua jarinya bertahan di pipi ketika sebuah bantingan pintu menghentak keras.

Lewat kaca didepannya, ia bisa melihat siapa tersangka yang menjadi sumber dari keributan yang terjadi di pagi hari. Joyce berdiri diambang pintu. Menumpukan sebelah tangannya pada kusen. Penampilannya sangat jauh dari kata rapi yang biasanya tersuguh setiap pagi.

Ujung sebelah kemeja putihnya keluar dari ikat pinggangnya. Rambutnya berantakan dan wajahnya terlihat kuyu. Bisa dipastikan bahwa Joyce belum pulang sejak semalam. Satu hal lagi yakni tatapan matanya yang tidak fokus. Ada sisa alkohol yang masih mengambil alih kesadarannya.

Pelan, Joyce berjalan menuju ke arahnya dengan sempoyongan. Ia masih mengamatinya lewat pantulan cermin. Sama sekali tidak berniat menoleh atau mencari tahu apa yang terjadi pada suaminya. Karena biasanya Joyce juga seperti ini. Tapi sepertinya kali ini ada sedikit perbedaan.

"Katakan padaku, Nebia..." Ucapnya penuh tuntutan pada sebuah jawaban yang sangat diinginkan dari Nebia. Joyce tetap melangkah. Mendekati Nebia yang duduk dengan tenang. "Katakan padaku bahwa kau membenciku" racaunya semakin tidak jelas. Jari telunjuknya bahkan sampai terangkat, menuding ke arah Nebia. "Katakan kalau kau sangat-sangat membenciku."

Andai bisa menjawab, Nebia akan menganggukkan kepalanya dengan cepat. Berseru dengan lantang bahwa ia memang sangat membencinya. Tapi demi keadaan tenang di pagi hari, Nebia hanya diam. Menunggu setiap kata yang akan keluar dari bibir Joyce -- Pria mabuk yang biasanya akan berkata jujur. Ia juga penasaran, mengapa Joyce tiba-tiba seperti ini. Pria ini memang sering mabuk, tapi sangat jarang atau bahkan tidak pernah memberi pertanyaan aneh ini.

Aneh...??

Tentu saja. Bertahun-tahun mereka menikah. Hidup bersama dibawah atap yang sama, Joyce tidak pernah peduli dengan apa yang dirasakan. Entah itu marah, benci, kesal bahkan rindu. Yeahh... Rindu. Rindu pada kebersamaan yang tidak pernah terjadi diantara mereka. Atau mungkin lebih tepatnya Nebia akan menyebut sebagai rasa ingin. Keinginan pada kebersamaan untuk memiliki sebuah rumah tangga yang utuh dan bahagia. Sebuah kenangan indah yang ingin ia ukir dalam hatinya. Tapi sayangnya itu tidak pernah terjadi walau hanya untuk sebuah bayangan.

"Apa salahku, Nebia...??"

Pertanyaan lain dari Joyce mengembalikan fokus Nebia. Ia mengerjap dan tetap diam.

"Aku tidak pernah berbuat salah padamu. Aku selalu memberi kebebasan padamu untuk bertemu dengan laki-laki sialan itu." Makinya penuh emosi. Kemudian suaranya berubah pelan. "Aku bahkan selalu membiarkanmu menghabiskan banyak waktu dengannya. Bukankah aku baik...??"

Langkah Joyce yang sempat terhenti kembali terayun. Semakin mendekati Nebia yang belum bergerak sedikitpun dari kursi meja rias.

"Ooohhh... Aku tahu.." Joyce menganggukkan kepala seolah menemukan sebuah jawaban dari pertanyaannya. "Kau marah padaku karena aku menjualmu bukan..??" Joyce menjeda dan raut Nebia mulai berubah. "Seharusnya kau tidak perlu marah bahkan sampai membenciku. Kau tahu kenapa..?? Karena aku melakukan itu untuk kita semua. Aku menyelamatkan perusahaan yang hampir bangkrut. Aku menyelamatkanmu dari kelaparan. Dan aku menyelamatkanmu dari kemiskinan."

Take Me AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang