TMA ~ Part 16

808 100 16
                                    

Ketukan sepatu pantofel yang beradu dengan lantai menimbulkan suara gema yang berirama. Pria dengan setelan tiga lapisnya berjalan angkuh. Sebelah tangannya terselip di saku celana bahannya dan sebelahnya lagi menggantung di telinga. Mendengarkan celotehan panjang dari seseorang diseberang sana.

Bibirnya sesekali terbuka. Menimpali percakapan yang sebenarnya tidak perlu di lakukan. Tapi karena ini adalah tunangannya maka apa yang bisa dilakukan Aleandro kecuali mendengarkan. Well... Tidak terlalu buruk untuk sebuah sapaan di siang hari.

Pintu di depannya terbuka. Beberapa orang yang telah duduk disekeliling meja seketika berdiri. Menyambut kehadiran sang penguasa. Ia berhenti disamping kursi yang memang menjadi tempatnya. "Aku akan menghubungimu lagi nanti."

Seolah wanita di seberang sana mengerti maksud ucapan Aleandro. Panggilan pun terputus. Menyisakan suasana sunyi sebelum rapat yang sudah di agendakan di mulai.

Tidak banyak yang dilakukan Aleandro. Pria yang kini terlihat duduk santai itu mendengarkan laporan dari tiap kepala manager bagian di perusahaannya. Sesekali bertanya mengapa hal tersebut bisa terjadi dan kemudian mencari solusi untuk permasalahan tersebut.

Meski sikap dinginnya lebih dominan tapi Aleandro tidak pernah membuat bawahannya kebingungan untuk sebuah masalah. Ia akan memberi pendapat dan mengayomi mereka. Rautnya boleh dingin tapi sikapnya cenderung lebih hangat. Tidak heran bila banyak wanita yang memuja bahkan ingin berada di sampingnya.

Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel miliknya. Matanya melirik pada benda pipih yang tergeletak di atas meja. Segera ia meraih dan melihat dari pop up pesan. Senyum tipisnya terbit namun menghilang ketika pesan tersebut benar-benar dibuka.

Rahangnya mengeras dengan mata yang tertuju lurus pada ponselnya. Hilang sudah indera pendengarnya ketika yang ada di dalam sana lebih menarik. Dengan cepat, ia menempelkan benda pipih tersebut ke telinganya.

"Kirimkan aku alamatnya."

Kemudian ia berdiri. Menghentikan presentasi yang sudah berjalan beberapa saat lalu. Ketika semua mata tertuju padanya, barulah ia sadar bahwa dirinya masih berada di ruang meeting.

Jika bukan karena suatu hal yang mendesak, Aleandro tidak pernah meninggalkan rapat dan sepertinya kali ini, memang ada hal yang mengusiknya.

"Lanjutkan saja rapatnya."

"Kau mau kemana?" Tanya seseorang yang sejak tadi ada di sampingnya.

Aleandro menoleh. Menghadap Nathan yang mengerut bingung. "Aku serahkan meeting ini padamu."

Memang apalagi yang bisa dilakukan Nathan ketika Aleandro mengucapkan itu. Bibir Nathan yang bersiap menyanggah terpaksa ditutup kembali saat melihat Aleandro telah berlalu dari hadapannya. Benar-benar meninggalkan rapat.

Aleandro memacu langkahnya menuju mobil. Duduk di balik kemudi dan memutar setir. Menuju tempat yang menjadi alasan dirinya meninggalkan kantor.

Tidak butuh waktu lama ketika mobil miliknya memasuki basement. Langkah tegap kakinya terhentak santai namun jelas. Sikapnya cenderung tenang. Setiap yang berpapasan dengannya menyapa dan menunduk. Memberi hormat pada orang yang memiliki kuasa atas tempat ini.

Langsung pada tujuan yang sesungguhnya. Aleandro memantapkan langkah dan berdiri di depan lift. Masuk dan menunggu hingga kotak besi tersebut membawanya ke lantai atas.

Lantai 14

Lantai tertinggi di gedung ini. Ia keluar dari lift dan berjalan menuju tangga hingga tiba diatap gedung. Langkah kakinya terhenti. Matanya menatap ke depan pada dua orang yang sedang duduk berdampingan. Menikmati semilir angin yang berhembus dingin.

Take Me AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang