TMA ~ Part 30

723 88 12
                                    

Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian malam itu. Kabar dan harapan yang ia inginkan tak kunjung mendapat kepastian. Sebenarnya Aleandro bisa saja langsung mendatanginya tapi tidak, ia tidak mau terlihat begitu berharap meski pada kenyatannya memang seperti itu.

"Apakah tetap tidak ada kabar?"

Ini adalah pertanyaan yang sama yang ditanyakan untuk ke sekian kalinya hingga membuat pendengaran lawan bicaranya merasa jengah.

"Kalau kau tetap bertanya, aku pastikan kau akan aku seret ke sana."

Nathan yang duduk di kursi seberang mejanya mendengus keras. Menyandarkan punggung dengan dua tangan yang bertumpu pada lengan kursi. Sedang Aleandro sendiri berjalan mondar mandir di belakang kursinya.

"Duduklah.... Kau membuat penglihatanku bermasalah."

Tapi yang ditegur tidak merespon. Pikirannya sibuk sendiri bahkan beberapa kali terlihat menghela napas kasar. Dasi yang menggantung di lehernya pun lepas entah ke mana.

"Apa yang harus aku lakukan, Nath?" Serunya penuh rasa frustasi. "Aku tidak bisa terus menunggu seperti ini. Aku butuh kejelasan."

"Kau yang tidak mengijinkan aku untuk mencari tahu dan sekarang kau yang terlihat tidak sabar. Apakah kau benar-benar menginginkan wanita itu?"

Aleandro berhenti sejenak dan menoleh. Tatapannya tertuju pada raut penasaran Nathan lalu ia bergerak menuju kursinya dan menghempaskan bokongnya. "Jangan mengajukan pertanyaan lain kalau pertanyaanku belum kau jawab."

"Aku tidak pernah menemukan Aleandro yang seperti ini. Biasanya dia adalah orang yang tidak peduli terhadap wanita." Nathan tersenyum miring. "Apakah wanita itu benar-benar membuatmu tertarik?"

Setelah mendengus keras guna menanggapi pertanyaan Nathan, ada kesunyian yang mereka ambil selama beberapa saat. Sama-sama menatap pada hamparan gedung dan jalan yang berada di sekitar gedung mereka hingga keduanya larut dalam pikiran masing-masing.

Bila dipikir, ia memang tidak pernah benar-benar mengharapkan kabar dari seorang wanita. Justru mereka yang selalu hadir dengan kabar yang tidak ia inginkan. Tapi ada apa dengannya saat ini?

Helaan napas menguar bersamaan dengan kursi yang diputar kembali untuk menghadap pada Nathan. Selanjutnya ia mengajukan pertanyaan yang membuat Nathan mengalihkan matanya dari kerlap kerlip lampu kota. "Bagaimana dengan kesepakatan kita?"

Sebelum menjawab, Nathan mengubah posisi dengan menegakkan punggung. "Tidak ada kabar. Mereka belum mengirim berkas yang kita minta."

"Bukankah seharusnya mereka telah mengirimnya 3 hari yang lalu?" Tanyanya heran.

"Seharusnya seperti itu. Tapi mereka belum melakukannya. Aku sudah meminta Leo untuk menghubungi dan mereka memberikan jawaban yang aku rasa sangat tidak masuk akal."

"Apa katanya?"

"Mereka sedang sibuk mengurusi proyek yang baru didapatkannya dan berjanji akan mengirimnya dalam minggu ini."

Sebelah alis Aleandro terangkat. Ia memajukan kursinya. Menopang kedua sikunya di atas meja. "Apa mereka pikir proyek kita hanya main-main?"

Nathan mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Lagipula, kita tidak akan rugi bukan meski mereka tidak mengambil tender ini."

"Kau tahu kalau bukan rugi yang menjadi kesepakatan kita. Aku hanya ingin pria brengsek itu bercerai dengan Nebia" ujarnya mengingatkan.

"Aku tahu. Kau ingin memisahkan mereka dan memberi kebahagiaan pada dia bukan?" Nathan menatap lurus pada Aleandro. "Kau mulai__"

Take Me AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang