Dua hari lagi, acara sakral akan segera berlangsung. Kehebohan dari segala pernak pernik perlengkapan mulai berdatangan. Sebenarnya tidak heran mengapa ini bisa terjadi. Perdana, menjadi kata yang paling pas untuk menggambarkan situasi ini.
Yeahhh.... Ini adalah acara pernikahan pertama di keluarga Cotrell. Jadi tidak heran jika sang nyonya rumah menginginkan sebuah kemegahan dan kemeriahan yang dipastikan akan meraup budget yang sangat besar.
Bila lengkungan lebar terus bertengger di bibir nyonya Cotrell, lain halnya dengan Aleandro yang berwajah masam. Pasalnya, sejak dua hari yang lalu, ia hanya makan dan tidur. Tidak bisa beranjak dari rumah yang sudah seperti tahanan ini. Semua pekerjaan dilakukan dari rumah atau Nathan yang akan mewakili menghadiri pertemuan bila diperlukan.
Tarikan napas panjang disusul dengan erangan frustasi membuat Aleandro muak. Ia tidak bisa terus seperti ini. Ia bukan anak kecil yang harus dikurung karena melakukan kesalahan. Ia adalah pria dewasa yang butuh melepas penat.
Ponsel yang sejak tadi menempel di telinga lalu diiringi dengan umpatan kesal menjadi tanda bahwa panggilannya tidak terhubung. Sudah berulang kali, namun tampaknya si target tidak mengerti kekesalannya.
Aleandro duduk di bibir ranjang. Meraup wajahnya kasar kemudian berdiri lagi dan mengambil jaket yang tergantung di belakang pintu. Ia keluar dari kamarnya, berjalan tergesa menuruni tangga dan berhenti di anak tangga terbawah. Helaan napas terhembus pelan sebelum menghampiri sang nyonya rumah yang melihat ke arahnya.
Sesaat keduanya hanya diam. Tidak ada yang mencoba berbicara hingga ia sendiri yang memutuskan untuk mengakhiri kebungkaman ini. "Aku akan bertemu dengan Gisele, Mom." Beritahu Aleandro saat mengetahui arti dari tatapan ibunya. Lalu melanjutkan ketika ibunya tidak memberi respon. "Aku tidak berbohong. Mommy bisa menghubungi Gisele kalau tidak percaya."
Ibunya tidak langsung memberi tanggapan dan Aleandro sudah bersiap-siap untuk memutar kaki. Lalu tiba-tiba jawaban ibunya membuat Aleandro sedikit terkejut.
"Jangan pulang terlalu malam." Sahutnya lalu pergi.
Wow.... Ia benar-benar tidak menyangka kalau ibunya akan berkata seperti itu. Senyum heran terukir dan langkah ringan mulai diambil lalu ia masuk ke dalam mobil yang terparkir di carport secara acak. Sepanjang perjalanan Aleandro berpikir, apa yang terjadi pada ibunya? Mengapa dia memberi ijin dengan sangat mudah? Padahal dua hari belakangan ini, ia diperlakukan seperti tahanan.
Sebenarnya tadi ia hanya memberanikan diri untuk bertindak seperti itu. Hanya mencoba dan berhasil.
Tidak sampai 10 menit, mobil yang dikendarai berhenti di depan restoran cepat saji. Ia memang sengaja tidak mencari tempat yang jauh karena yakin ibunya akan membuntuti. Setelah menemukan tempat parkir untuk mobilnya, ia berjalan santai -- memasuki restoran dan mencari tempat duduk kosong.
"Honey....."
Panggilan dari belakang punggungnya terdengar saat menarik kursi. Sontak ia memutar kepala dan menemukan seseorang yang ditunggunya berada di sana. Belum sempat memutar tubuh sepenuhnya, Gisele sudah menabrakkan tubuhnya terlebih dulu.
"Aku benar-benar merindukanmu...!!"
Serunya lagi dan pelukan erat pun ia terima. Untuk sesaat, Aleandro membiarkan Gisele melakukan apa yang dia inginkan. Tetap memunggungi dengan kepala Gisele yang bersandar di punggungnya selama beberapa menit. Lalu ia menumpukan dua tangannya di atas telapak tangan Gisele -- melonggarkan dan memutar tubuhnya sendiri sehingga mereka berhadapan.
Hal pertama yang Aleandro lihat adalah senyum Gisele lalu di susul rengekan manja wanita ini ketika sedang merajuk.
"Mengapa kau baru mengajak bertemu sekarang?" Gisele cemberut. "Aku sangat merindukanmu."
Aleandro tersenyum tipis. Melepas tangan Gisele lalu menuntunnya untuk duduk di kursi. Ia berputar dan duduk di depannya.
"Kau tahu, aku sangat tidak sabar menunggu hari itu tiba." Seru Gisele dengan wajah berbinar. Senyum tetap bertengger di bibirnya dan matanya sibuk menerawang apa yang bakal terjadi pada hari tersebut. "Aku sudah berlatih bagaimana cara berjalan menuju altar. Kau tahu bukan kalau aku adalah orang yang ceroboh. Jadi aku tidak boleh melakukan kesalahan apapun. Semua harus tertata rapi agar aku tidak mempermalukan diriku sendiri."
Kemudian dia terkikik geli. Aleandro hanya diam dan memanggil pelayan. Memesan dua minuman tanpa menghentikan ocehan Gisele mengenai pernikahan mereka.
Dalam benaknya, tidak ada yang salah dengan Gisele. Dia adalah wanita baik yang penuh kasih sayang. Ibunya juga sangat menyukai bahkan menyayangi Gisele melebihi anaknya sendiri. Tapi mengapa, ia tidak bisa merasakan perasaan bahagia ketika berjumpa dengannya? Mengapa ia tidak bisa membalas perkataan Gisele tentang rindu yang menggebu? Rasanya biasa saja dan tidak terlalu merindukan pertemuan ini.
Senyum tipis ia paksa hadirkan untuk menanggapi cerita Gisele.
"Gisele... Apa kau bahagia?"
Sontak saja cerita seru yang mengalir dari bibir Gisele berhenti. Wanita itu mengerjap atau mungkin sedang memproses maksud dari pertanyaannya barusan. Kemudian Gisele menciptakan lengkungan lebar dan mengangguk seperti anak kecil.
"Sangat bahagia.... Aku bahkan tidak menyangka kalau keinginan yang pernah aku ucapkan dulu menjadi kenyataan."
Kening Aleandro mengerut dalam. "Keinginan?"
Gisele mengangguk. Memberi jeda pada perbincangan mereka dengan menikmati minuman yang dinginnya mulai menghilang.
"Dulu, ketika kita baru bertemu. Aku pernah meminta satu hal." Mata Gisele mengunci matanya. Binar bahagia tidak bisa ditutupi dari netranya. "Aku berdoa... Tuhan, dia adalah pria yang aku inginkan. Tolong jadikan dia suamiku. Dan ternyata Tuhan memang Maha baik. Permintaanku terkabul."
"Apa kau benar-benar memintanya seperti itu?" Tanyanya lagi untuk mendapatkan sebuah informasi yang pasti.
"Tentu saja. Setiap hari, aku berharap bahwa kita tidak akan pernah terlibat pertengkaran apapun hingga berakibat pada perpisahan. Karena aku tidak akan pernah siap untuk itu."
"Benarkah?"
"Hemmm..." Gisele mengangguk lalu terkikik rendah. "Itulah alasan mengapa aku selalu menahan diri untuk tidak berdebat ataupun marah padamu meski kau selalu membuatku kesal."
Tiba-tiba bayangan mengenai perlakuannya pada Gisele muncul dan yang paling banyak adalah pengabaian.
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu."
"Kau tidak perlu meminta maaf padaku, Al." Gisele meraih tangan Aleandro di atas meja tanpa melepas pandangan mereka. "Karena untuk setiap kesalahanmu, aku sudah memberi maafku terlebih dulu sebelum kau memintanya."
Hati Aleandro benar-benar mencelos mendengar pernyataan Gisele. Ia ingin menampik bahwa yang dikatakan Gisele hanyalah alasan dari draf panjang yang dibuatnya tapi melihat dari binar mata dan wajahnya yang bersemu, ia yakin bahwa itu benar.
Perlahan, alasan dari pertemuan ini menguap. Digantikan dengan rasa bersalah yang menelusup dalam dadanya.
Hingga terucap satu kalimat yang menghancurkan impiannya.
"Kalau begitu, ayo kita menikah."
Tbc
*****Haaaii gaes.....
Part ini gak terlalu panjang ya...?? Terus kalo ada typo atau kalimat gak nyambung, Maapkeunn ya....?? 🙏
Selain ide yang lagi stuck, prolematika dunia nyata aku lagi padat²nya...😟😟
Terima kasih sudah membaca....😘
Selamat beristirahat.....
#Love u ❤️❤️
- Roemdania -
KAMU SEDANG MEMBACA
Take Me Away
RomanceTernyata pernikahan tidak seperti yang dibayangkan. Penuh dengan cinta yang bertabur kebahagiaan serta romantisme disegala sisi. Tapi tidak dengan pernikahan Nebia Bailey. Pernikahan yang digadang-gadang membawa kebahagiaan justru sebaliknya. Ia tid...