TMA ~ Part 18

712 95 24
                                    

Joyce masih termangu di tempatnya berdiri. Tidak menoleh ketika mendengar suara pintu menutup. Otaknya sibuk menelaah kata demi kata yang terucap dari bibir istrinya. Kebenaran atau kesalahan yang coba ia rangkai dengan kenyataan.

Apakah ia telah menyakiti istrinya? Apakah ia memang melakukan hal jahat seperti yang diucapkan istrinya?

Joyce menghela napas karena sesak yang terbentuk sejak Nebia memaparkan curahan isi hatinya. Dia benar-benar tersakiti. Tapi dimana letak kesalahannya? Sebagai seorang suami yang tidak pernah memiliki cinta untuk istrinya, bukankah ini benar jika ia tetap mempertahankan cinta yang dimiliki untuk orang yang dicintai? Hubungan mereka hanya sebatas suami istri tanpa rasa apapun. Tidak ada ikatan cinta diantara mereka kecuali ikatan pernikahan.

Kaki yang sejak tadi berdiri ditempatnya ditinggalkan Nebia -- mulai bergerak, menuruni tangga. Kemudian tubuh itu ia hempaskan di atas sofa panjang berwarna putih. Duduk diam diantara keheningan dan cahaya remang lampu yang sengaja tidak dihidupkan semua.

Berkali-kali otaknya sibuk menolak kebenaran dari pemaparan Nebia. Ia tidak mencintai wanita itu. Ia hanya mencintai Casey. Wanita yang saat ini sedang berusaha menghubunginya.

Ponsel yang ia rogoh dari saku celananya diletakkan di atas meja tanpa ada niatan untuk di angkat. Pikirannya sedang kalut dan ia butuh seseorang yang bisa menenangkannya. Tapi mengapa ia tidak meminta Casey datang kesini seperti biasa? Kenapa ia justru menoleh ke atas -- pada pintu yang tertutup sejak beberapa menit yang lalu?

Tidak ingin terlalu lama mengabaikan panggilan Casey yang ke sekian kalinya, Joyce meraih dan menggeser icon hijau lalu menempelkan di telinganya.

"Ada apa, Casey?" Tanyanya pelan. Bukan karena takut di dengar Nebia, tapi ia merasa lelah.

"Joyce.... Apa kau baik-baik saja?"

Pertanyaan yang dibalas pertanyaan membuat Joyce menyugar rambutnya dengan sebelah tangan. Bahunya merosot dengan kepala yang menengadah ke atas.

"Aku hanya lelah. Ada pekerjaan yang sedikit sulit."

"Jangan terlalu memaksakan diri, honey. Kau tahu itu bukan?"

"Aku tahu..."

"Kalau begitu, aku akan kesana."

"Tidak Casey. Tidak. Kau tidak perlu ke sini. Aku hanya butuh istirahat."

"Tapi, sayang...?"

"Aku baik-baik saja."

"Kau yakin?"

"Hmmm.... Besok aku akan ke tempat mu sebelum berangkat ke kantor."

"Baiklah. Istirahat yang cukup, Honey. Aku merindukanmu."

"Aku juga merindukanmu."

Ketika layar ponsel sudah berganti hitam, Joyce meletakkan ponselnya di samping. Matanya kembali melirik ke lantai atas. Helaan napas kasar terhela sebelum beranjak. Dengan langkah lebar, ia menaiki dua anak tangga sekaligus. Mereka butuh bicara. Ia perlu mencari tahu dimana letak kesalahan dirinya. Hubungannya dengan Casey sudah ada sebelum mereka menikah dan penyerahan Nebia pada Aleandro juga bertujuan untuk menyelamatkan perusahaan. Tidak ada yang salah dengan itu bukan? Seorang istri berkorban untuk keluarganya?

Brengsek....

Pintu dibuka dengan pelan dan matanya langsung tertuju pada Nebia yang duduk di dekat jendela -- menekuk dan menumpukan pipinya di atas lutut. Joyce menutup pintu dan berjalan ke arahnya. Tidak ada pergerakan dari Nebia. Mata wanita itu fokus melihat keluar jendela. Tapi ia tahu, pikiran Nebia tidak disini. Melainkan ditempat lain.

Kedatangannya ke kamar ini adalah untuk bicara. Mereka perlu menyelesaikan pembicaraan yang belum ia jawab. Namun alih-alih langsung bertanya, Joyce justru hanya memanggil namanya.

"Nebia....."

Panggilan itu tidak dijawab dengan respon apapun. Nebia tetap memalingkan wajah dan Joyce kehilangan kata-kata. Tangis wanita itu sudah berhenti tapi kenapa sikap Nebia terasa mengganggu.

"Aku hanya ingin diperlakukan layaknya seorang istri. Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya diperhatikan oleh suami. Aku hanya -"

"Nebia...."

"Aku hanya ingin dilihat sebagai seorang istri meski kau tidak ingin."

"Nebia...."

"Apa salahku, Joyce? Apa salahku..?" Tanyanya dengan suara bergetar.

Dari jarak beberapa meter yang tercipta, Joyce sangat tahu bahwa dia siap untuk menangis. Kakinya dipaksa untuk mendekat tapi Nebia tetap memalingkan wajah hingga ia pun menghentikan langkah. Akal sehatnya berperang dengan hatinya. Siap beradu pendapat apa kiranya yang akan dilakukan. Tapi keputusan tidak bisa di ambil ketika diam-diam ia melihat layar ponsel yang berkedip-kedip.

Sebuah panggilan masuk dan Joyce mengepalkan tangan. Ia tidak beranjak dari tempatnya berdiri, matanya mengikuti pergerakan Nebia yang meraih ponsel miliknya dan menjawab panggilan itu tanpa mengabaikan keberadaannya.

Tidak ingin menambah kekesalan yang ada, Joyce pergi dari sana. Menutup pintu hingga menimbulkan debuman keras. Ia berjalan dengan langkah lebar. Menuruni tangga dan meraih kunci mobil di atas meja ruang tamu. Ia perlu menjernihkan otaknya. Sikap macam apa yang berani ditunjukkan wanita sialan itu. Setelah menangis menuntut hubungan yang sebenarnya lalu dia dengan santainya menerima panggilan dari pria lain.

Brengsek...

Mobil sudah keluar dari rumahnya. Melenggang di jalanan malam kota. Joyce mengemudi tanpa tujuan. Pikirannya kalut. Perasaan bersalah yang bergumul dikepalanya setelah penuturan itu perlahan menguap digantikan dengan rasa jijik yang kembali ke tempat semula.

Malam ini ia sedang tidak ingin menemui Casey, jadi pilihan satu-satunya adalah club yang biasa didatangi. Setelah memarkirkan mobilnya, ia masuk dan berbaur dengan orang-orang pencari kesenangan atau mungkin mengusir penat karena pekerjaan atau bisa jadi seperti dirinya -- Melarikan diri dari masalah rumah tangga. Tubuh mereka berlenggok mengikuti irama musik yang menghentak. Kakinya membawanya menuju meja bar. Biasanya ia lebih senang dengan ruangan tertutup, tapi tidak malam ini. Ia ingin melihat bagaimana wanita-wanita itu menari untuk selembar uang.

"Berikan aku satu gelas, Tom."

Joyce duduk di atas kursi putar. Meneguk minuman beralkohol tersebut dalam satu tegukan kemudian meminta lagi. Lagi. Lagi. Hingga tidak terhitung berapa banyak gelas yang sudah diteguknya. Kalau ditanya apakah dia sudah mabuk? Maka jawabannya adalah tidak. Ia adalah orang yang tidak akan mabuk hanya dalam beberapa gelas.

Mengapa hidupnya harus menyedihkan seperti ini? Mengapa ia harus bertanggung jawab untuk menikahi wanita sialan itu? Ia tidak pernah mencintai dia? Ia hanya mencintai Casey dan akan segera meresmikan hubungan mereka. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk menceraikan wanita jalang itu. Tapi kenapa ia merasa bersalah pada air mata yang jatuh beberapa jam yang lalu? Bukankah dia pantas mendapatkannya? Bukankah ini adalah pilihan dia yang mau menikah dengannya? Tentu saja ini bukan salahnya. Andai saja, dulu Nebia menolak perjodohan mereka maka semuanya tidak akan seperti ini.

Brengsek....

Merasa tidak puas dengan gelas yang disuguhkan, Joyce meminta alkohol dalam bentuk botol dan langsung meneguknya dari sana. Malam ini, ia butuh menghilangkan kesadarannya agar besok pagi semua hal sialan ini bisa terlupakan.

Sebuah tepukan mendarat di bahunya. Joyce menoleh dengan mata memicing. Efek alkohol sudah mulai dirasakan. Karena kini, kepalanya sudah terasa berputar. Tidak ingin menghiraukan orang yang baru saja menepuknya, Joyce kembali mengambil botol dengan susah payah. Namun sebelum botol itu menyentuh bibirnya. Suara orang yang ingin dihiraukan berhasil menghentikan pergerakannya.

"Aku akan merebutnya darimu, dude."

Tbc
*****

Cieee.... Yang pada seneng karena up cepet...😄😄

Kalau pada seneng, boleh dong beri komen kalian dan klik bintang kecilnya.....😚😚

Selamat malam semuaaa....

Love u ❤️❤️

- Roemdania -





Take Me AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang