TMA ~ Part 38

589 76 18
                                    

Penawaran kecil yang diucapkan Nebia nyatanya berdampak besar bagi Aleandro. Ia mungkin tidak menjawabnya dengan kata-kata tapi dengan sebuah tindakan yang diambilnya tanpa berpikir dua kali. Aleandro menarik wajah Nebia lebih dekat hingga tidak tersisa sedikitpun jarak di antara mereka. Menyapukan bibirnya di atas bibir Nebia. Merasakan kelembutan dari bibir yang sudah pernah ia rasakan sebelumnya yang mana membuatnya ketagihan.

Rasa manisnya menggoda Aleandro untuk terus merasakan. Ia tidak peduli kalau setelah ini Nebia akan menampar bahkan memaki dirinya. Ia siap untuk menerima itu. Bahkan ia telah siap bila Nebia berteriak di depan wajahnya. Menyerukan perbuatan bodohnya ini. Tapi tiba-tiba pikirannya berubah, bagaimana kalau bukan itu yang akan di lakukan Nebia melainkan hal lain yang sangat tidak diinginkan?

Sial... Otaknya langsung tertuju pada kata yang ditakuti. Kembali meninggalkannya. Untuk sesaat, nyali Aleandro menciut. Sapuan lembut itu sudah akan berakhir namun tidak jadi saat Nebia membuka bibirnya. Memberi akses lebih besar untuk Aleandro menjelajah.

Seperti kucing diberi ikan, Aleandro semakin rakus melahap bibir mungilnya. Menyesap dan memberikan gigitan-gigitan hingga Nebia mengerang. Memicu Aleandro untuk melahapnya tanpa sisa.

Tangan Aleandro, bergerak naik turun. Memberi usapan pada punggung Nebia yang kemudian menyulut api dalam dirinya. Tautan bibir mereka belum terlepas. Saling menyalurkan beragam rasa. Namun Aleandro meyakinkan diri untuk mengakhirinya. Kalau ia tidak segera menyudahi maka akan terjadi hal seperti dulu lagi dan ia belum menginginkannya.

Napas keduanya terengah-engah. Saling beradu kepala untuk menetralisir irama degub jantung yang menggila. Aleandro memberi jarak, menatap ke dalam mata Nebia dan menemukan keinginan yang sama dengan dirinya. Mata wanita itu berkabut. Memancarkan sesuatu yang sepertinya telah lama tertidur. Tidak. Jangan. Ia tidak boleh terpengaruh dengan sorot mata itu. Aleandro mengangkat sebelah tangannya, membersihkan sisa saliva di bibir Nebia seraya menekan mati-matian keinginan untuk menyeret Nebia pergi dari sini.

Ada jeda yang sangat panjang diambil mereka. Tidak ada yang bersuara walau sekedar berucap satu kata. Keduanya sibuk merangkai kata demi  kata untuk sebuah pembelaan untuk alasan dari tindakannya barusan.

"Maaf"

Akhirnya sebuah kata meluncur mulus dari bibir Aleandro. Nebia yang masih beradu pandang dengannya tersenyum tipis. Lalu menarik diri dan meluruskan badan.

Satu helaan napas keluar dari bibir Nebia. Wanita itu menatap hamparan laut dengan tatapan tidak terbaca.

Bodoh....

Aleandro memaki dirinya. Merutuk perbuatan yang diambilnya tanpa berpikir ulang. Seharusnya ia tidak melakukan itu. Seharusnya ia lebih menahan diri untuk tidak lagi berbuat demikian. Nebia bukan wanita seperti yang biasa ditemui. Dia juga bukan Gisele yang akan langsung melonjak kegirangan karena satu ciuman.

"Maafkan aku." Nebia berucap tanpa menoleh. "Aku merespon sentuhanmu karena terpengaruh suasana."

Alih-alih menjawab permintaan maafnya, Aleandro hanya memberi anggukan kecil yang disusul dengan posisi yang sama. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. Menikmati suara deru ombak dan teriakan anak kecil yang berada sedikit jauh dari mereka.

Untuk kesekian kalinya, tidak ada yang membuka suara. Aleandro juga bungkam hanya untuk berjaga-jaga kalau kalimat yang akan terucap dari bibirnya tidak akan menyakiti hingga berakhir dengan pergi.

Dari ekor matanya, Aleandro menangkap pergerakan Nebia. Wanita itu mengambil kaleng minuman yang berada di antara mereka. Membuka pengait dan meneguknya.

"Sudah lama aku menginginkan suasana seperti ini." Nebia memejamkan mata. "Tenang. Damai."

Aleandro melakukan hal yang sama. Ikut bersidekap dan menutup kedua matanya. Menikmati sentuhan angin yang membelai wajahnya. Menerbangkan helai rambut yang sudah agak memanjang serta membaui aroma laut yang menyenangkan.

Take Me AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang