Tidak lama setelah Raka melamar Lyra malam itu -dadakan dan malam larut saat hujan deras- Rafa langsung menodongnya buat bagi-bagi cerita.
Mengingat Raka melamarnya tidak dalam suasana romantis seperti di drama atau novel, membuat Lyra selalu tersenyum. Baginya, momen itu justru romantis.
"Tuh kan, mbak senyum-senyum lagi," todong Rafa yang duduk di seberangnya dengan secangkir Americano. "Mas Raka emang ngga romantis ya. Padahal pasukan Calluca udah siap sedia bikin kejutan buat lamaran."
Lyra terkekeh. "Yang kayak gitu juga romantis, Fa."
"Apanya yang romantis coba? Datang malam-malam pas hujan."
"Itu yang romantis tau, Fa," bela Lyra sembari menandaskan minumannya.
"Congrats ya, mbak." Rama menyahut setelah dari tadi hanya diam mendengarkan.
Ah iya, adik kedua Raka yang sibuk dengan kuliahnya itu memang jarang terlihat. Pagi ini saja tumben Rama sarapan, meskipun itu sekedar numpang sarapan di Calluca.
Padahal sepagi itu Calluca masih belum briefing, belum buka. Tapi Lyra yang kemudian menyiapkan sarapan untuk Rama. Pemuda itu kebetulan datang karena diajak Rafa untuk update kabar terbaru soal kakak sulung mereka yang tidak gembar-gembor soal lamarannya.
Menyahuti Rama, Lyra tersenyum cerah. "Makasih, Ram. Doain mudah-mudahan lancar buat ke depannya."
"AMIIN!" Rafa ngegas dengan sepenuh hati, membuat Rama mendengus geli. Di antara Adhitama bersaudara, si bungsu Rafa memang yang paling ramai dan menyukai keributan.
Rama memotong toast dengan telur mata sapinya kemudian bertanya, "Persiapannya buat ke depan gimana, mbak? Udah sampai mana?"
Rafa mendelik. "Ebuset, mas! Baru juga semalem dilamar! Ya kali bicaranya udah sejauh itu!"
Rama mengendikkan bahu acuh. "Kali aja, Fa. Mas Raka kan kalau udah urusan Mbak Lyra pengennya digas aja. Ya ngga, mbak?"
Satu-satunya perempuan di perghibahan pagi itu tertawa ringan. Sembari mengaduk minumannya, Lyra melanjutkan, "Yaa, semalem udah mulai ngerencanain buat ke depannya sih."
"Gimana gimana, mbak?" Rafa memajukan duduknya dan mencondongkan tubuh dengan antusias. Wajahnya seperti arwah penasaran. Sementara Rama tetap cool and chill seperti biasanya, duduk tegap dan tangan bersedekap siap mendengarkan. "Kapan lamaran ke Jogja, mbak? Biar kita adik-adiknya juga bisa siap-siap. Mbak Lyra mau hantarannya apa? Skincare? Fashion tools? Or something?" Rafa bertanya lagi dalam satu tarikan napas saking antusiasnya.
"Kalem, Fa. Hehe,, rencananya sih lamaran ke Jogja habis Raka pulang dari Jakarta sama Kalimantan."
"Lah,, masih 2 atau 3 bulan lagi itu sih."
"Hu'um."
"Kelamaan tau, mbak. Harusnya malah sebelum berangkat aja."
"Kita mah santai, Fa."
Rafa mengernyit. "Tapi masa Mas Raka ngga takut?!"
"Takut kenapa, Fa?" tanya Rama.
"Takut aja gitu loh, mas. Aku yakin selama jadian sama Mas Raka, Mbak Lyra pastilah ada dapet confess dari penggemar entah siapa. Ya kan, mbak?"
Lyra tersenyum salah tingkah. Tiba-tiba, ia teringat dengan bingkisan random yang beberapa waktu lalu diterimanya. Bingkisan berupa sebuket bunga kering yang sekarang ia taruh di vas keramik di meja. Juga 2 kotak Ferrero Rocher yang ia suka tapi jarang dibeli karena harganya lumayan mahal. Dan,, novel Before trilogy dengan tanda tangan penulis sekaligus pemain filmnya yang menjadikan buku itu sangat langka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whisper
General Fiction"Where are you?" "I'm here. Turn around and you'll found me."