"Mas Raka hoki banget sih. Udah mah dulu kenal Mbak Lyra baru sebulan, eh udah diterima aja. Mana Mas Raka sempet labil-labilnya kan, putus-nyambung tapi Mbak Lyra masih aja sabar ngadepin Mas Raka. Eh, tau-tau sekarang udah lamaran aja. Yang kayak Mbak Lyra bisa dikloning ngga sih?" Rafa masih saja berujar tanpa henti mengomentari topik hangat di rumah, yaitu Raka yang akhirnya ambil langkah maju buat lebih serius, sembari tangannya sibuk membantu Mama membuat bungkusan pepes ikan.
Di sebelahnya, Mama tertawa geli. "Ya mana bisa atuh kloning-kloningan, dek."
"Abisnya yang sesabar Mbak Lyra nyari dimana lagi coba, Ma?"
"Cari di majelis taklim sana, dek. Kamu kalau habis shubuh jangan langsung pulang makanya. Dengerin ceramah dulu."
"Ngantuk banget, Ma. Habis shubuh tuh enakan tidur lagi."
"Tuh makanya suka pusing."
Rafa nyengir. "Yang penting dhuha sama tahajjud jalan, Ma. Biar kafenya jos terus."
Mama menggelengkan kepala, Rafa itu ada saja alasannya. Siang ini di dapur, Rafa baru balik dari Calluca setelah briefing sekaligus opening. Hanya memantau sampai siang, setelah itu pulang lagi karena Mama butuh bala bantuan buat bungkusan pepes ikan.
Jadi kemarin Papa dan temannya habis memancing, lalu pulang bawa ikan mujaer sebesar telapak tangan Rafa di ember besar. Ikannya banyak sekali, 5 kilo lebih mungkin ada. Kemarin mancingnya seharian, jadi dapatnya banyak.
Makanya setelah tadi pagi diantar Raka ke pasar buat borong daun pisang dan belanjaan lain, Mama langsung bersiap masak pepes ikan yang banyak buat Jaguar dan tentu saja Lyra. Dan kebetulan cuma Rafa yang tangannya cocok buat diajak rempong di dapur.
3 jam berkecimpung, pepes itu akhirnya sudah selesai dikukus semua.
Rafa tentu saja langsung makan, mumpung masih hangat. Sementara Mama sudah menyiapkan bungkusan untuk Jaguar dan Lyra. Tidak perlu diantar Rafa karena habis itu janjian dengan temannya untuk membicarakan teknis arisan yang sudah mau selesai putarannya.
Tujuan pertamanya adalah Jaguar, yang rumahnya hanya selisih beberapa blok.
Viona Adhitama mengernyit ketika turun dari mobilnya dan menyadari ada yang berbeda dari kondisi rumah keponakannya itu. Biasanya di teras ada vas-vas keramik yang diisi oleh rangkaian bunga, juga di pinggir jendela yang tampak sampai luar. Tapi kali ini agak sepi dan gersang.
Biasanya, di teras rumah Jaguar juga ada beberapa pasang sandal wanita yang pastinya milik Gladis. Tapi kali itu hanya ada sepasang sandal selop milik Bibi, sepasang sandal kulit milik Jaguar, dan sepasang sneakers yang juga milik lelaki itu. Tidak ada lagi yang lain.
Usai memencet bel, Bibi keluar dengan tergopoh, mempersilahkan Viona Adhitama untuk masuk ke dalam. Dan sekali lagi, menemui keheningan yang berbeda.
Beberapa dinding terasa kosong tanpa foto atau hiasan dinding lucu.
"Jaguar ada, Bi? Ini saya bawa pepes ikan kesukaan Jaguar."
"Pak Jaguar masih di kamarnya, Bu. Lagi istirahat."
"Tumben. Biasanya paling anti tidur jam segini."
"Pak Jaguar radang sejak kemarin, bu."
"Loh?! Kok bisa sakit?!"
"Eh,, saya juga kurang paham, bu. Tapi Pak Jaguar sempat minum soda lumayan banyak, bu."
Viona menggeleng tak habis pikir. "Bibi harusnya telepon saya atuh, ini rumah deketan tapi saya ngga tau kalau ponakan lagi sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Whisper
General Fiction"Where are you?" "I'm here. Turn around and you'll found me."