33. "He's just a boy who had no choice!"

2.3K 327 7
                                    

Time Mark :
Harry Potter and the Half-Blood Prince.

•••

Sunyi, gelap, murung, tidak ada lagi kebahagiaan, hanya ada kekhawatiran dan kesedihan.

Itu adalah kondisi Hogwarts sekarang.

Kita bisa melihat seluruh keadaan Hogwarts hanya dengan melihat kondisi Great Hall. Sama sekali tidak ada keceriaan seperti dulu.

Vanesha hanya bisa menatap langit Great Hall yang dulu ia sukai karena banyak bintang dan sekarang hanya gelap dan kosong.

Ditambah hatinya sangat terpukul dan sakit melihat Draco yang harus mengemban tugas seberat itu. Bahkan hari yang mengenaskan itu adalah hari terakhir mereka bertemu.

Hari terakhir, dimana Draco berbicara lembut dan mengecup keningnya.

"Van? I see you've packed, ready to go?" tanya Blaise dengan ditemani Goyle.

"Yeah, I think so. Kalian tetap disini?" tanya Vanesha yang melihat kedua temannya tidak berkemas.

"Kami tetap disini," jawab Blaise.

"Biar kami antar kau ke stasiun Hogsmeade, Van," tawar Goyle.

Vanesha menggeleng, "Tidak perlu, aku bisa sendiri," jawabnya kemudian berjalan meninggalkan mereka, "Happy horrible holiday,"

Vanesha berjalan menuju pintu utama, kemudian Blaise memanggilnya, "Van!"

Vanesha menoleh, "Believe me, wherever he now, Draco still and will always be love you," ujar Blaise.

Vanesha tersenyum miris, "Is he?"

•••

Liburan tahun ini, Vanesha memilih untuk kembali kerumahnya. Dia ingin menjernihkan pikirannya.

Dia masih terbayang tangisan dan setiap kata Draco di Menara Astronomi, kematian Dumbledore, serta tatapan Draco untuk yang terakhir kalinya di Hagrid's hut.

"Crabbe, Goyle, dan Nott tidak mengikuti jejak ayahnya. Kenapa dia harus? Apa dia bodoh?" ujar Vanesha yang kesal.

Kemudian Valencia masuk dan duduk di samping ranjang putrinya, "Van, Dad berpikir untuk melarangmu kembali ke Hogwarts. It's too dangerous,"

Vanesha terkejut, "Lalu? Apakah aku tidak boleh membela pihak yang aku dukung? Mom, mereka akan menyerang Hogwarts kan?"

Valencia mengangguk samar. Vanesha menghela napasnya, "Mom, banyak siswa yang belum bisa menguasai sihir akan tetap disana untuk membela Hogwarts, sementara kekuatan sihirku cukup baik ditambah Legilimency yang aku punya. Apakah aku harus diam saja dan berbaring dengan tenang disini? Apa kau pikir Death Eater tidak akan menyerang rumah kita?"

Valencia mengusap tangan putrinya, "That is Dad's final words. Go talk to him tomorrow. Now you must to take a rest, sudah malam," ujarnya kemudian meninggalkan kamar Vanesha.

•••

Draco is just a boy.

He's smile is so intoxicated.

He's voice is the one who make Vanesha stay up all night.

"You'll be fine. I'm here,"

"Kalau memang itu aku, dan bau yang aku cium adalah aromamu, maka kita harus berpacaran,"

"I had no choice,"

"Because you're the one and only girl who can make me feel terrified if I don't do this task,"

"That's right and I really love you, soon-to-be Mrs. Malfoy,"

"Avada Kedavra."

•••

"Hah!"

Vanesha terbangun dan membuang napasnya kasar. Dia mimpi, kali ini mimpinya adalah kilas balik dari semua kejadian yang ia pikirkan belakangan ini.

Dia terngiang setiap perkataan atau perlakuan Draco yang membekas di benaknya. Sungguh, Vanesha kadang berpikir, apakah Draco juga dihantui tentang dirinya?

Atau hanya dia yang ketakutan sendiri?

Tidak. Vanesha harus kembali ke Hogwarts untuk membela apa yang seharusnya dibela. Dia harus menemani Draco.

Vanesha keluar dari kamarnya dan mendapati kedua orangtuanya sedang berbincang sambil meminum teh.

"Mom, Dad," panggil Vanesha kemudian duduk di antara kedua orangtuanya, "I must to go back to the Hogwarts,"

"No, Vanesha. There's a lot of dangerous things will happen there. I don't want you to get hurt," bantah Julius.

"Dad, please! I have a feeling that I must save Draco! He's just a boy who had no choice!" seru Vanesha.

"Don't you understand that we're trying to protect you?!" pekik Julius.

"Honey, there will be a war. A big war that ever happened in the past. But that doesn't mean Hogwarts will survive again," timpal Valencia.

"Oh, Hogwarts will survive again because there is Harry Potter, the Chosen One who will kill that noseless Voldemort!" seru Vanesha.

Vanesha melihat ayah dan ibunya yang menghela napas mereka berat. Berat sekali. Vanesha tau maksud orangtuanya hanyalah tidak mau putri mereka dalam bahaya, tapi Vanesha tidak bisa diam saja membiarkan Draco berada di pihak yang salah.

"Mom, Dad. If I die, it's fine. At least I died standing up for the right side," ujar Vanesha dengan lembut.

Julius menatap putri sulungnya, "Baiklah tapi kau harus berjanji untuk menjaga dirimu dengan benar,"

"And don't even think about going to Malfoy Manor," timpal Valencia.

"But, why?" tanya Vanesha.

"That place is now the headquarters of the Death Eater,"

•••

amortentia (ft. draco malfoy)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang