"Hali, apa kamu tidak ingin makan dulu? Sejak pagi Atok perhatikan kamu berdiam diri di kamar." Sosok pria paruh baya memanggil lembut remaja bermanik ruby itu.
Memposisikan tubuhnya menghadap sang kakek, remaja itu melirik ke arah mejanya sejenak.
"Aku akan makan nanti, Atok tidak perlu khawatir," balasnya.
"Kamu baik-baik saja kan, Hali?" tanya tok Aba cemas.
Halilintar menghela napas sejenak, dia tersenyum miris. "Tidak ada yang baik-baik saja setelah semua yang terjadi, bahkan tiga bulan berlalu semenjak kepergian Taufan, aku tidak bisa berbohong bahwa semuanya baik-baik saja, kan Tok Aba?"
Tok Aba membalas dengan senyum sendu, entah ini baik atau buruk, setelah semua berakhir dengan tidak baik, setelah beberapa bulan kepergian Taufan, Halilintar yang selalu mengatakan semuanya akan baik-baik saja, mulai percaya akan realita, apa kini remaja itu mulai menyerah?
Bukan tok Aba tak ingin berharap, dia selalu berharap akan ada keajaiban yang terjadi dalam situasi yang kini mereka hadapi, situasi seperti awal mula perpecahan cucu-cucunya, namun nyatanya setiap jam terlewat, setiap hari berganti minggu, dan setiap minggu berganti bulan.
Kini tok Aba sadar, bahwa yang pergi memang tak selalu bisa kembali.
"Jangan membuat tubuhmu sakit Hali, temui Atok di meja makan saat makan malam tiba," ucap tok Aba akhirnya menutup pintu kamar.
Halilintar menatap pintu yang terbuat dari kayu jati itu tertutup sempurna, dia kembali menghadap meja belajar, menuliskan catatan sekolah di hari Sabtu sore ini.
Dia melirik sekilas ke arah ponselnya yang sering menyala memuat banyak notifikasi masuk, pesan dari Gempa tenggelam bersama ratusan chat tidak penting, membuat Halilintar berpikir untuk mengganti nomor ponselnya sekali lagi.
'Kak Hali, misi kali ini membuat kami tidak bisa pulang hari ini, aku harap kakak baik-baik saja bersama Tok Aba, jangan banyak minum kopi, dan jangan tidur larut malam.'
'Jangan melakukan hal yang tidak-tidak.'
Pesan yang penuh perhatian itu hanya dibalas 'Y' oleh sang pemilik manik ruby, dia mematikan ponselnya, kembali fokus pada catatan milik Yaya yang kebetulan kali ini berada satu kelas dengan dirinya di kelas kali ini.
"Serius banget nyatetnya, Kak Hali." Halilintar menutup matanya kesal, suara ini! Nada yang ceria ini membuatnya muak kali ini.
Dia mengusap pelan wajahnya, berusaha mengabaikan sapaan ramah dari arah belakang itu.
"Hei, ajak aku bicara dong. Di rumah ini kan cuma ada kita, kau memutuskan untuk keluar dari Tapops sejak saat itu, saudaramu yang lain pergi misi di hari libur, jadi karena kita sering bertemu, setidaknya sapa aku," ucapnya lagi dengan nada yang dibuat sedih.
"Hentikan ucapan menjijikanmu itu," keluh Halilintar dingin.
"Heh, bukannya kau ingin sekali melihat Taufan menyapamu, memanggilmu seperti biasa, apa kau tidak ingin melihat aku sejenak untuk mengobati rasa rindumu pada adikmu itu, oh ya, kau mulai menyerah," ucapnya sinis.
"Kau bukan Taufan!" Kekesalanya memuncak hingga membuat pulpenya patah.
"Emosimu benar-benar tidak stabil Kak Hali, kurasa kalau Gempa melihat ini, dia akan memikirkan untuk membawamu ke rumah sakit jiwa," ucap sang pemilik surai putih itu.
"Jika itu bisa menjauhkanku dari mu, akan aku lakukan, Reverse," gumam Halilintar mengambil pulpen baru lagi.
"Tidak ada gunanya kau di sini, Taufan tidak ada, kau hanya sebagian kebencian yang kini terbebas, karena Ochobot pikir sebagian kekuatan Taufan masih ada padamu, nyatanya kau hanya energi kebencian yang sia-sia," ucap Halilintar lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Batas Sisi
ActionBukan Taufan, tapi Halilintar. Semua bermula dari takdir yang terus ditentang oleh dirinya, mau bagaimana pun dia berusaha mendapatkan akhir yang bahagia. Pada akhirnya skenario hidupnya akan berjalan sesuai yang ditulis oleh semesta. Sekalipun bena...