YOUNG PILOT 7

3 1 0
                                    

~Answer~


"Nah, Rigel. Saat besar nanti, kamu mau jadi seperti apa?" Tanya ayahku padaku yang sedang terduduk santai dan tertunduk lesu menunggu kail pancingku bergerak.

Ini pertama kalinya dia mengajakku untuk pergi memancing semenjak 13 tahun yang lalu aku lahir ke dunia ini.

"Hmm... entahlah. Mungkin, musisi. Atau novelis, ya? Ya... pokoknya sekitaran itu, lah, karena hanya itu kelebihanku. Dan olahraga juga, sih."

"Ahahahah.... itu boleh juga." Ucap ayahku sambil mengelus kepalaku dengan kasar. "Mungkin, cita-citamu itu menurun dari ayahmu ini."

"Huh. Mana mungkin? Aku kan sudah lebih mandiri dibanding ayah. Jangan mentang-mentang ayah adalah ayahku jadi semuanya menurun darimu."

"Benar juga. Apa mungkin, itu menurun dari ibumu?"

"Itu juga sama saja!!"

"Aahahahahah.... Iya, iya. Ayah paham, kok."

Kita berdua kembali diam dan tenang. Air dibawah dermaga kayu yang sudah tak terpakai di danau yang luas ini pun juga sama tenangnya seperti aku dan ayah saat ini. Umpan yang diletakan pada kail yang aku dan ayah lemparkan sejak tadi juga masih diam tak tersentuh oleh ikan dibawah sana.

Sambil masih tertunduk lesu, aku mengeluhkan keadaan saat ini yang sangat membosankan buatku. "Haahhh~ lama sekali dapatnya. Aku jadi mau pulang saja rasanya." Kataku.

"Kalau begini, kamu sudah tak bisa melakukan apa-apa pada umpannya."

"Terus, apa yang bisa aku lakukan disini hanya menunggu saja?" Aku kembali mengangkat kepalaku dengan tegak, dan menanyakan pertanyaanku dengan penuh harap akan jawaban yang pasti.

"Benar. Kamu hanya perlu menunggu dengan sabar dan tenang. Tak perlu terburu-buru. Bahkan dalam hidup sehari-hari pun begitu."

"Mulai lagi kelas filsafatnya." Ucapku dengan sedikit kesal, karena lagi-lagi jawaban itu lagi. Jawaban yang tidak pasti.

"Heheheh. Terserah mau dibilang apa, tapi ayah tidak akan berhenti mengatakan itu semua."

"Kenapa memangnya?"

"Karena kamu suatu saat pasti akan memerlukannya. Entah itu besok, beberapa hari lgi atau bahkan 10 tahun dari sekarang."

Dan tak lama kemudian, umpan yang ayahku gunakan ditangkap oleh seekor ikan di danau itu. Aku sangat terkejut melihatnya sampai berdiri dan menjatuhkan tempat duduk kecilku, melupakan apa yang ayahku katakan barusan.

"Ayah!! Itu ikannya sudah kena!!" Teriakku dengan girang.

"Tenanglah. Tak perlu buru-buru. Ayah kan sudah bilang." Ucapnya sambil tetap tenang menggerakkan pancingnya mengikuti kemana ikan itu berenang menarik kailnya. "Kita harus ikuti dulu bagaimana dia bergerak, ikuti sesuai dengan arusnya agar kita bisa tahu bagaimana kita harus bertindak."

"Kalau begitu terus, bagaimana kita bisa dapat ikannya?"

"Sudah kubilang, bukan? Janganlah buru-buru, atau dia akan meninggalkanmu nantinya." Katanya yang masih dengan tenang memegangi pancingnya. "Kadang, kamu harus merelakannya untuk menjauh untuk beberapa saat. Tapi, kalau ada kesempatan, kamu juga harus menariknya dengan perlahan namun pasti."

"Kalau begitu, akan memakan waktu yang sangat lama, dong..."

Ayah tersenyum dan mulai memainkan pancingnya dengan sedikit lebih agresif.

"Kamu tahu. Saat ayah bilang untuk tidak buru-buru, bukan berarti harus bergerak dengan lamban. Kamu hanya boleh dan harus bergerak saat sudah mengetahui bagaimana kamu harus bergerak. Bagaimana kondisinya. Dan juga kapan waktu yang tepat. Selain itu, kamu juga harus memikirkannya dengan matang tentang semua keputusanmu itu. Dan saat kamu memang sudah yakin,..."

Unified Heartbeats [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang