~One By One~
Aku duduk memandangi keluar jendela. Angin berhembus menerpa wajahku sambil membawa debu menjengkelkan yang masuk ke mataku, membuat suasana itu kehilangan keestetikaannya. Gawai aku letakkan di telingaku, menunggu seseorang menjawab panggilanku. Sambil tanganku satu lagi mengucek mataku yang kemasukan debu sialan tadi.
"Ini sudah yang kedua kalinya!" Kataku sambil mematikan panggilan dengan jengkel.
"Kalau itu orang yang sama kirim dia pesan dan telepon orang yang lain saja." Celetuk Kiana sambil sambil asik memakan cemilannya di balik punggungku.
Aku memandang layar gawaiku, dan akhirnya berkata, pada diriku dan juga Kiana "Mungkin aku coba sekali lagi."
"Hmm, baiklah kalau itu maumu."
Aku pun menekan tombol panggil ulang dan meletakkan gawaiku di telingaku lagi, berharap kali ini dia mengangkatnya, sama seperti saat sebelumnya. Beberapa detik berlalu, akupun mulai berpikir untuk menyerah dan mematikan panggilan itu, sampai pada momen terakhir, dia mengangkat panggilanku, mengejutkanku dari lamunanku yang menunggunya tidak sabar.
"Halo?" Katanya pelan.
"Ah, Siri, akhirnya kamu mengangkatnya juga"
"Ahahah... Kau sudah menelponku dari tadi ya? Maaf, maaf. Aku baru dari luar. Jadi, ada apa?"
"Ahahaha... Tidak apa, kok..." Kataku sedikit bercanda. Padahal aslinya, aku sedikit jengkel dengan keadaan saat itu. "Jadi begini, Siri—"
Akupun menjelaskan panjang lebar mengenai permintaan Kiana mengenai lombanya kepada Siri. Kudengar balasannya hanya, 'iya', 'hmm', dan mungkin saja dia juga menangguk sambil berkata 'iya' atau 'hmm' dalam hatinya. Setidaknya itu yang ada dalam bayang-bayang imajinasiku. Itu kan yang biasanya dilakukan orang lain juga.
"Nah, bagaimana menurutmu?" Tanyaku padanya mengakhiri penjelasan panjang lebar.
"Hmmm..." Siri hanya bergumam panjang memikirkan jawabannya. "Jadi, tugasku hanya membantu menyebarkannya saja?" Kata Siri bertanya balik.
"Selain itu, juga membantu dalam menulis artikelnya."
"Dan besok sore, aku harus datang ke rumah sakit?"
"Iya, untuk diskusi lebih jauhnya." Percakapan pun hening sejenak setelah aku mengatakan hal itu. Senyum canggung terlukis di wajahku, yang walau tak kulihat, tapi bisa aku rasakan. "Jadi... bagaimana, Siri?"
"Yah, mumpung besok hari minggu, dan belum ada banyak tugas dari sekolah mungkin aku bisa membantu sedikit."
"Ah! Benarkah!?" Aku terkejut bukan main mendengar jawabannya. "Terima kasih banyak kalau begitu!!"
"A-Aku belum melakukan apa-apa. Simpan dulu terima kasihnya." Katanya sambil sedikit tertawa.
"Ahahah, kamu benar."
"Jadi, kapan aku harus datang besok?"
"Seperti biasa, jam 4 sore. Nanti aku beritahu kamarnya."
"Yah, bangsal dengan jam jenguk fleksibel bisa bebas ya memilih waktunya. Hahaha..."
"Bukan berarti bisa telat juga." Kita berdua berakhir dengan tawa yang lumayan panjang saat itu. "Oh iya, kemungkinan yang lain juga akan datang. Kuharap sih..."
"Yang lain?" Tanyanya bingung. "Maksudmu Cyon dan Geuse?"
"Iya. Walau baru kamu yang aku hubungi."
"Oke, oke. Kalau begitu sampai besok lagi." Katanya mengakhiri percakapan ini.
"Ya..." Jawabku singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unified Heartbeats [END]
RomantizmSetahun sudah Rigel, seorang pemuda SMA biasa, dirawat di sebuah rumah sakit. Ia mulai mendapatkan kembali sesuatu untuk menggantikan segalanya yang hilang darinya sebelum itu. Seakan ia hanya tinggal menunggu waktunya untuk disembuhkan. Tapi, menur...