~Plan~
Siang hari ini terasa sangat panas. Lebih panas dari biasanya. Bahkan saat aku berada di dalam ruangan dengan pendingin ruangan sekalipun. Sambil duduk di bawah pendingin itu, aku mengipasi diriku sendiri dengan sebuah buku tulis dan membuka 2 kancing bajuku.
Dari balik pintu yang diketuk 2 kali dengan pelan, seorang perempuan seumuranku, teman kerjaku, membuka pintu itu dan memanggilku dengan keras. Suaranya mendominasi isi telingaku dari hiruk pikuk kantor saat itu yang sedang memasuki waktu istirahat.
"Leo... Kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu yang tadi?" Katanya.
"Ah, iya. Baru saja aku selesaikan. Ini datanya." Ucapku sambil menyodorkan kertas yang baru aku cetak. Kertas yang rasanya masih sedikit terasa akan hangatnya mesin printer.
"Ah. Okee..." Ucapnya seraya mengambil kertas yang aku berikan. "Kau ini, makin hari makin terus berkembang lebih baik, ya."
"Benarkah...?"
"Iya. Aku tidak bohong. Semenjak kau membantu tuan David, lalu menggantikannya setelah ia meninggal beberapa tahun lalu, dan... setelah kepergian Kalani, kau tidak pernah mengalami kemunduran sedikitpun. Melihatmu seperti itu membuatku... sangat terkagum."
Aku tidak menyangka kalau ada yang berpikiran seperti itu mengenai diriku ini.
"Hahahah. Terima kasih, Luna. Aku sangat... mengapresiasi itu." Balasku dengan senyum lebar yang terlukis di wajahku.
"Hahahah... santai saja. Kupikir juga kita perlu makan bersama kapan-kapan. Kita sudah saling mengenal cukup lama bukan?"
Aku mengangguk pelan dan menjawab, "Yah, aku akan menantikannya."
"Ahh... benar juga. Kenapa tidak sekarang saja. Omong-omong, apa siang ini kau mau makan keluar denganku?"
"Uhmm... maaf, tapi mungkin tidak. Aku akan pesan makan kesini saja. Rasanya terlalu melelahkan untuk jalan keluar."
"Yahahah... Begitu, ya? Kalau begitu, aku pergi dulu, dan terima kasih atas ini, Leo. Lain kali aku akan mengundangmu lagi."
Ia melambai kepadaku dengan tangan yang menggenggam kertas yang aku berikan. Aku tak berkata apa-apa dan hanya balas melambai padanya serta sedikit tersenyum kepadanya.
"Haahh..." Omong-omong, semalam, nenek Faye meneleponku lagi, dan membicarakan tentang ayah Rigel lagi. Kupikir dia akan meminta tolong padaku untuk mencari alamat, tempat kerja, dan data lain yang berhubungan dengannya. Tapi ternyata, dia sudah mencarinya terlebih dulu. Setidaknya, mengenai tempat kerjanya.
Tapi... ia tetap meminta bantuanku lagi, walau saat itu ia bilang bantuan yang aku berikan sudah cukup. Yah... walau sedikit berat hati, aku tetap menurutinya.
Ia hanya ingin mengonfirmasi kebenaran informasi ini padaku dan kalau bisa mencari kontaknya yang bisa dihubungi. Tapi tentu saja aku tak bisa memberikan itu tanpa persetujuan ayah Rigel.
Aku pun kembali mendekati komputer yang ada pada mejaku dan dengan cepat mengkonfirmasi data yang dimiliki oleh nenek Faye. Dan dengan cepat juga menemukan kalau, "Datanya ternyata benar, ya?"
Aku pun memundurkan sedikit kursiku menjauh dari meja dan meraih HP-ku dari saku celanaku, menghubungi nenek Faye.
Dan tanpa memerlukan waktu lama, ia langsung menjawab panggilanku.
"Halo, Leo?"
"Halo, nek."
"Ada apa?"
"Yah, cuma mau kasih tahu kalau data yang nenek temukan itu benar. Tapi... aku tidak bisa memberikan kontak ayah Rigel karena itu butuh persetujuannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unified Heartbeats [END]
RomanceSetahun sudah Rigel, seorang pemuda SMA biasa, dirawat di sebuah rumah sakit. Ia mulai mendapatkan kembali sesuatu untuk menggantikan segalanya yang hilang darinya sebelum itu. Seakan ia hanya tinggal menunggu waktunya untuk disembuhkan. Tapi, menur...