~The Beaten and The Damned~
Satu minggu sudah berlalu semenjak hari yang panas saat itu. Dan dalam seminggu, kejadian demi kejadian terus terjadi tanpa henti. Walau hanya 1 atau 2 kejadian, tetap saja... rasanya saat mengalami itu yang membuat seakan banyak sekali kejadian yang terjadi saat itu.
Dimulai dengan nenek Faye yang mungkin banyak orang dapat menebaknya, dimana ia akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di hari itu juga. Beberapa hari setelahnya, kakek Altair yang terlalu syok dengan segala kejadian itu membuat kondisinya semakin melemah dan mengakibatkan dirinya tak sadarkan diri dan harus dirawat dengan intensif di dalam ruangannya. Dan beberapa hari setelahnya... tidak ada yang berubah.
Tidak.
Ada sedikit yang berubah. Yang awalnya kakek tidak boleh dikunjungi karena 1 atau 2 alasan, tapi sekarang ia boleh aku kunjungi. Dan karena alasan itu juga kenapa aku berada di sini sekarang.
Di siang hari yang panas, sambil ditemani angin sepoi-sepoi yang membawa beberapa daun kering yang bergantung pada anginnya, sambil aku duduk di depan jendela dan mengupas buah apel yang disukai oleh kakek menggantikan peran nenek, aku diam tak berkata apa-apa.
Begitu juga kakek, yang matanya kosong entah menatap kemana, aku tidak memperhatikannya. Aku terakhir melihatnya beberapa detik yang lalu, bukan, beberapa menit yang lalu tepatnya. Dan kakek tampak melihat keluar jendela, tepat di belakang aku duduk sekarang ini. Ia semenjak pertama kali aku menemukannya, hanya tampak sedih dan menghabiskan waktunya dengan menangis sembari berdoa.
Dan melihatnya seperti itu sesaat membuatku berpikir, "Apakah aku juga seperti ini saat itu?"
Menghadapi seseorang seperti itu... sangatlah sulit. Kau perlu mengerti tentang apa yang mereka rasakan. Dan itu terdengar sangat mustahil. Kau harus mendengarkan apa yang mereka rasakan saat mereka menceritakannya. Dan itu sangat sulit. Kau harus tau apa yang harus kau katakan, agar itu tidak membuatnya bertambah buruk. Dan itu sangat sulit.
Tapi bukan berarti itu tidak mungkin dilakukan.
Aku berusaha sebisa mungkin melakukannya.
Walau aku tahu itu sangat sulit.
Dan merasakannya seperti ini sesaat membuatku berpikir, "Apakah aku juga seperti ini saat itu?"
"Kakek, ini. Makanlah." Kataku sambil berjalan menghampirinya dan menyodorkan buah apel yang sudah aku potong dan aku kupas dengan... sangat amat tidak rapi.
Tapi setidaknya itu masih bisa dimakan.
"Aku... tidak nafsu makan." Jawabnya tanpa semangat.
"A-ayolah... setidaknya makan satu suap. Kakek sudah tidak memakan apapun yang ada di wadah makanan itu." Ucapku sedikit memaksanya sambil menunjuk makanan yang terbungkus rapi plastic tanpa disentuh sama sekali olehnya. Hanya ada bekas plastic yang terbuka yang awanya berisi apel ini.
"Tidak usah memaksaku, Rigel. Aku tidak mau memakannya."
"Kenapa aku tidak boleh memaksa kakek? Aku tahu rasanya, tapi... setidaknya tetaplah bertahan lebih lama lagi. Tetaplah makan walau hanya sedikit. Dan tetaplah hidup walau itu terasa berat. Apa kakek tidak memikirkanku dan orang-orang lain yang peduli dengan kakek?"
Selesai aku mengatakannya... aku menyesali semuanya.
Mungkin... aku terlalu Lelah menemaninya, yang padahal baru sekitar 1 mingguan menemaninya. Tapi, nadaku yang naik cukup tinggi saat mengatakan itu, serta kalimat panjang yang aku lontarkan tanpa henti, itu sudah pasti mengetuk hati kakek dengan perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unified Heartbeats [END]
RomanceSetahun sudah Rigel, seorang pemuda SMA biasa, dirawat di sebuah rumah sakit. Ia mulai mendapatkan kembali sesuatu untuk menggantikan segalanya yang hilang darinya sebelum itu. Seakan ia hanya tinggal menunggu waktunya untuk disembuhkan. Tapi, menur...