UNIFIES 2

18 3 0
                                    

~A girl who looks like me~

Aku menutup pintu ruangan, mengecek alas kakiku, mengibas rambutku yang sedikit panjang, mengusap mataku dan membalikan badanku. Mulai berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang sepi, sunyi, namun tenang, dan entah mengapa aku merasa tak sendiri.

Cicitan burung gereja yang lalu, daun yang bergesekan didorong oleh angin, dedaunan yang menabrak atap bangunan, suara-suara itu seakan merupakan bentuk yang tak terlihat yang menemaniku selama ini. Rumah sakit ini, entah mengapa memberikanku segala hal yang awalnya hilang dariku. Bisakah harapanku kutemukan disini? Aku selalu bertanya hal itu.

Perjalananku menuju ruanganku cukup memakan waktu lama. Jauh..... sekali dari ruangan kakek Altair. Padahal masih berada dalam bangsal yang sama. Ohiya, bangsal yang aku tempati diberi nama Heartbeats oleh pendiri rumah sakit ini. Walaupun berada dalam satu bangsal, tapi luas tiap bangsal benar-benar diluar perkiraan. Luas dari keseluruhan rumah sakitnya saja aku tidak pernah tahu. Tapi, dengan adanya bukit di tengah rumah sakit tentu luasnya bukan main. Lagipula, rumah sakit ini juga merupakan tempat bersejarah. Atau akan menjadi tempat yang bersejarah. Karena rumah sakit ini merupakan tempat paling berkontribusi saat pandemi global 17 tahun yang lalu. Bahkan istri dari Dr. Shama juga ikut dalam penanganan pandemi itu, walau akhirnya ia meninggal karena terinfeksi virusnya tak lama setelah ia ikut sebagai tim yang melakukan riset vaksin.

Yah... terlalu lama bicara sendiri kesana kemari, aku tidak sadar kalau ruanganku sudah mulai terlihat. Cukup memakan waktu, tapi cukup singkat juga kalau dipikir. Mungkin, apa karena aku masih muda ya?

Tak lama, akupun mencapai sebuah persimpangan, kedepan adalah ruanganku, dan ke kanan adalah ke sebuah taman bangsal ini. Baru saja aku melewatinya, terdengar lagi suara dari lagu yang muncul saat aku berada di ruangan kakek tadi. Alat musik itu lagi. Oboe. Lagu itu lagi. Gabriel's Oboe. Iya. Aku sudah tau itu semua. Tapi, ada satu hal yang masih belum aku tahu. Satu hal lagi.

"Siapa yang memainkan lagu ini... lagi...?" Iya. Itu dia. Siapa yang memainkan lagu ini.

Aku penasaran. Aku penasaran. Aku penasaran. Aku penasaran. Aku penasaran. Siapa kamu, yang memainkan lagu ini? Aku penasaran. Aku ingin tahu. Aku penasaran.

Tanpa pikir panjang, aku berjalan ke arah yang bukan arah ruanganku. Aku mengikuti alunan lagu itu. Berjalan sedikit lebih cepat dari biasanya. Aku tak mau lagu ini menghilang lagi. Biarkan aku melihat dirimu. Kumohon jangan berhenti dulu. Teruslah bermain. Biarkan aku memenuhi keegoisanku sekali saja. Tolonglah. Kumohon.

Tanpa kusadari, nafasku mulai terasa berat. Aku terengah-engah ditengah perjalanan itu. Seakan aku mengejar sesuatu yang paling berharga di dunia ini.

"Harapan? Mungkinkan itu tanda harapanku? Yang aku cari selama ini?" Aku mulai berpikir tentang itu lagi, yang tanpa kusadari, ternyata aku sudah hampir sampai.

Suara lagu itu, alat musik itu, semakin terdengar jelas di telinga kanan dan kiriku. Mendengung dan bergema di dalam liang telingaku. Bergetar di dalam gendang telingaku. Mengantarkannya kepada rumah siputku. Memberikan aku gambaran pada otakku, mengenai lagu ini.

Dan... pada akhirnya.... sambil terengah-engah... aku sampai pada tempat itu. Sampai pada saat lagu itu mencapai klimaksnya. Burung-burung merpati yang tinggal tak jauh dari taman itu, semuanya berterbangan dari tanah sesaat setelah aku sampai disana. Jumlahnya... belasan, atau mungkin... puluhan.

Aku melihatnya. Sang pemain. Seorang wanita, atau lebih tepat jika kubilang seorang gadis, yang terlihat seumuran denganku, yang duduk di sebuah kursi roda, mengarah ke kolam di taman itu.

Apa dia adalah harapanku?

Rambutnya terlihat halus berwarna hitam, yang panjangnya hanya mencapai bahunya. Sedikit lebih panjang dari rambutku, namun tidak bergelombang sepertiku.

Unified Heartbeats [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang