DREAM'S 3

3 1 0
                                    

~Operation~


Rigel datang ke hadapanku di depan wajah penuh tekadnya. Menatap mataku lurus seakan sudah tidak memiliki ketakutan lagi di dalam dirinya. Yah, itu baik untuknya. Baik untuk kesiapan mentalnya dan mempermudah jalannya operasi ini nanti. Tapi untukku, apa yang kurasakan hari ini tidak sama sepertinya. Perasaan tenangnya itu tidak dirasakan olehku, dan kali ini, jauh lebih besar dibanding dengan apa yang kurasakan saat bersama Rosalind.

"Aku tak boleh begini." Gumamku dalam hati.

"Aku harus lebih tenang lagi." Gumamku untuk yang kedua kali.

Aku menanyakan kesiapan Rigel untuk operasi ini, dan dia mengangguk dan tersenyum dengan yakin. Aku membalas senyumnya. Walau dengan sedikit ragu.

Perawat yang membawanya pun mengajaknya untuk masuk ke ruang operasi, dan menidurkannya di kursi khusus yang aku buat dan kukembangkan. Mereka juga mulai menyuntikkan beberapa zat yang diperlukan, dan kemudian memasangkan alat-alat untuk menyambungkan otaknya ke mesin utama agar pemindahan kesadaran itu dapat dilakukan.

"Apa semua sudah siap, Shama?" Tanya seseorang yang merupakan rekan kerjaku kepadaku yang baru masuk ke sebuah ruang kecil di balik ruang operasi utama.

"Mungkin sebentar lagi." Jawabku singkat.

Kita berdua kembali terdiam. Rekanku kembali duduk memperhatikan persiapan operasi yang ada di balik ruangan ini melalui sebuah kaca transparan besar di hadapannya. Aku mengambil 2 cangkir kopi di ujung ruangan, yang saat kucicipi ternyata belum dikasih gula. Aku pun mengambil 2 bungkus gula di dekatnya dan memasukkannya ke masing-masing gelas kopi itu.

"Ini, Kenny." Kataku sambil menyodorkan salah satu kopi kepanya.

"Oh, terima kasih, Shama." Ucapnya sambil mengambil gelas itu dan langsung meminumnya seteguk.

Kenny adalah namanya. Dan dia adalah orang yang membantuku dalam banyak hal tentang pembuatan mesin ini. Umurnya tidak terlalu jauh dariku, hanya lebih muda sedikit. Tapi, entah kenapa rasanya seperti dia jauh lebih dewasa dibanding diriku. Dan dia juga merupakan teman baik mantan istriku yang sudah lama meninggal.

"Apa kali ini kau bisa lebih tenang, Shama?" Tanyanya.

"Eh? Aku? Yah... mungkin bisa."

"Jangan seperti yang kemarin." Ia menghela nafasnya panjang. "Entah kenapa saat kita mengoperasi pasien sebelumnya, kau seperti sangat panik dan gugup."

"Aku juga bingung kenapa. Walau kupikir itu cukup wajar, tapi tetap saja rasanya aneh."

"Aku tidak pernah melihatmu seperti ini sebelumnya. Kita sudah cukup sering melakukan ini bahkan jauh sebelum istrimu meninggal. Tapi, kemarin itu baru pertama kalinya aku melihatmu segugup itu."

Aku menenggak minumanku cukup banyak sebelum kemudian mulai menjawabnya. "Entahlah. Mungkin karena kemarin adalah operasi yang pertama kali aku lakukan sejak belasan tahun lalu."

"Atau mungkin ada alasan lain." Pertanyaannya sedikit mengetuk pikiranku. "Karena aku sendiri juga baru pertama menjalankan operasi ini setelah belasan tahun sama sepertimu."

Alasan yang lain? Apakah ada? Apa mungkin ada? Kupikir memang hanya itu alasannya kenapa aku bisa segugup itu. Tapi, saat aku mulai memikirkan pertanyaan itu lebih jauh, aku sepertinya mendapat jawaban lain. Jawaban yang tersembunyi di benakku cukup dalam hingga aku sendiri tidak dapat menyadarinya.

"Mungkin juga... aku merasa takut."

"Takut? Takut apa?"

Aku bisa paham kenapa Kenny tidak mengerti apa yang aku takutkan. Itu karena aku juga tidak pernah menjelaskannya kepadanya. Bukannya aku mau merahasiakannya, hanya saja, aku merasa itu tidak perlu untuk diceritakan.

Unified Heartbeats [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang