~I'm the fool anyway~
"Sepertinya sudah hampir sampai, Rosa..."
"Ah, iya, dokter benar."
"Ohh... ternyata kau dirawat di bangsal ini, ya, Linlin?"
"Bukannya aku sudah bilang padamu, ya? Kau pasti orang yang tidak pernah memperhatikan orang lain bicara."
Itu dia. Setelah beberapa saat aku tidak mendengar nada bicara dan melihat wajahnya yang mengesalkan seperti ini, dia kembali. Rosalind yang satunya.
"Mungkin... aku lupa. Aku punya memori jangka pendek yang sedikit lebih buruk dibanding orang lain."
"Sedikit lebih buruk, tetap saja lebih buruk. Menambah kata sedikit tidak merubah apa-apa dari apa yang sebenarnya, kau tahu?"
"Ah... iya iya, aku tahu. Terima kasih sudah mengatakannya lebih jelas." Sial. Dia ini benar-benar mengesalkan sekali.
"Baik, kau sudah sampai, Rosa." Dr. Shama rasanya seperti memotong perdebatan tak penting antara kami berdua. Ia membukakan pintu kamar Rosalind dengan pelan, mendorong kursi roda Rosalind masuk ke dalam ruangan. "Kalau begitu, aku permisi dulu, ya, Rosa." Ucap Dr. Shama sebelum ia melangkah keluar ruangan.
"Ah, iya, terima kasih, dokter." Balas Rosalind sembari ia memutar kursi rodanya menghadap ke pintu sebelum pintu itu ditutup.
Ia melambaikan tangannya dengan lembut ke arah kami dengan senyum kecil di wajahnya. Dr. Shama hanya membalas dengan mengangkat tangannya sedikit dan menutup pintu ruangan dengan pelan. Aku? Aku hanya menatapnya tanpa memikirkan apa-apa kecuali wajahnya saat itu. Memperhatikan matanya dengan seksama, seperti yang biasanya aku lakukan ke orang lain. Namun, dia sedikit berbeda. Rosalind. Tatapan matanya tidak seperti orang-orang yang biasa aku jumpai. Di lingkungan rumahku, di sekolahku, di sekitar temanku, atau bahkan di rumah sakit ini. Matanya, tidak menggambarkan rasa senang sama sekali. Kosong. Sepi. Dan sendirian. Dan sesaat sebelum pintu itu benar-benar tertutup, raut wajahnya berubah secara drastis. Raut senyumnya berubah menjadi raut yang berkebalikan. Cocok dengan tatapan matanya saat itu. Wajahnya, terlihat sangat untuknya cocok saat itu. Itu yang aku pikirkan. Tapi tapi tapi, jika wajah itu cocok dengannya, bukannya berarti, ia orang yang benar-benar kesepian? Aku tidak memikirkannya lebih jauh lagi, walau aku tetap sedikit penasaran tentang hal yang aku pikirkan ini. Setelah suara pintu yang tertutup itu berbunyi, aku, Dr, Shama, dan ibuku langsung berjalan menuju ruanganku. Ruanganku dan ruangan Rosalind hanya terpaut beberapa meter. Tapi anehnya, aku tidak pernah bertemu dengannya selama setahun ini. Di samping itu, aku juga tidak pernah mendengar suara oboe darinya sebelumnya, baik dari kamar Rosalind atau tempat lain.
Tak lama berselang, kita sampai di ruanganku. Aku yang berada di depan langsung membuka pintu ruanganku dan melangkah masuk ke kamar. Aku berjalan ke arah saklar lampu yang terletak di sebelah TV dihadapan tempat tidurku dan menyalakan lampu ruanganku serta AC di ruanganku yang sudah terasa gelap dan sedikit pengap. Aku menghela nafas pelan dan berjalan ke arah sofa hitam di pojok ruangan dan duduk di sana, disusul oleh ibuku dan dokter.
"Jadi, bagaimana keadaan anakku, Dr. Shama?" Tanya ibuku membuka percakapan antara kita bertiga.
"Mungkin sebaiknya kita dengar dulu bagaimana pendapat Rigel mengenai keadaannya sekarang." Saut Dr Shama.
"Aku?" Aku sedikit kaget karena tiba-tiba saja ditanyai mengenai keadaanku sekarang. Jujur, aku adalah orang yang tak pernah memperhatikan diriku sendiri. Aku bahkan tidak sadar apakah aku membaik atau memburuk saat ini. "Mungkin rasanya sedikit lebih baik, tapi aku sendiri tidak terlalu memperhatikannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unified Heartbeats [END]
RomanceSetahun sudah Rigel, seorang pemuda SMA biasa, dirawat di sebuah rumah sakit. Ia mulai mendapatkan kembali sesuatu untuk menggantikan segalanya yang hilang darinya sebelum itu. Seakan ia hanya tinggal menunggu waktunya untuk disembuhkan. Tapi, menur...