~Things that precious right now~
Masa-masa yang sulit. Suram. Kelam. Aku benci masa-masa seperti itu. Kenapa tuhan harus menciptakannya ya? Kenapa juga itu sangat menyusahkan? Kenapa juga aku harus menghadapinya, mengalaminya, menjalaninya? Tidak bisa kah kehidupan kita sebagai makhluk yang dihidupkan dan yang nanti akan dimatikan berjalan dengan suka, tanpa duka? Tanpa beban? Do'a yang sama, selalu saja dipanjatkan setiap waktu. Setidaknya aku ingin itu bisa membantu.
Tunggu tunggu tunggu. Pikiranku kacau sekali. Tak jelas arahnya. Isinya pun juga rancu. Aku harus fokus. Ya. Benar. Karena saat ini aku benar-benar tidak bisa bergerak. Kanan dan kiri. Depan dan belakang. Masa-masa seperti ini, lagi, mengharuskan aku untuk fokus bukan? Jadi..... kemana aku harus bergerak selanjutnya? Bagaimana jika aku dikalahkan kalau bergerak kesitu? Bagaimana jika aku dikalahkan kalau bergerak kesini? Bagaimana ya? Bagaimana...?
"Hoi, Rigel. Apa yang dikurangi 2 tetap berjumlah 2?" Tanya seseorang yang tua, rambutnya putih dan jarang-jarang memecahkan konsentrasiku.
"Tangan yang dipotong 2 jarinya," jawabku dengan cepat.
"Ohh... kau benar-benar sedang berpikir ya sekarang?"
"Tentu saja. Itu kan sudah pernah kakek tanyakan padaku, dan itu sangat gampang. Selain itu, aku, tak sampai 5 langkah lagi bisa kalah jika salah menggerakan bidakku."
Aku kembali memperhatikan papan yang hitam dan putih itu. Walau masih tersisa banyak bidak yang berdiri disana, aku benar-benar dibuat terjebak dan tak bisa bergerak kesana kemari. Itu juga karena masih tersisa banyak bidak yang berdiri disana.
"Yah, mau dibilang berpikir juga, kau memang berpikir, sih. Tapi, kau sama sekali tidak fokus dalam melakukannya."
Kakek itu, Altair namanya, yang terduduk di kasurnya, berselimut menutupi ujung kaki hingga pangkal pahanya, mengatakan sesuatu dengan ekspresi yang datar. Wajahnya tetap merujuk ke arah papan catur itu dengan ekspresi yang di saat bersamaan juga seperti mengatakan, hei, aku sudah menang sejak beberapa langkah yang lalu, bocah.
Selain ekspresinya, kata-katanya yang tadi juga menarik perhatianku. Aku mengerti maksudnya namun juga tidak mengerti. Jadi, aku memilih untuk pura-pura tidak mengerti saja.
"Apa... maksudnya, kek?" tanyaku dengan sedikit ekspresi heran.
"Kupikir kau harusnya tahu maksudku, Rigel. Kau pasti hanya bertanya untuk basa basi."
Ah, justru kakek ini yang tahu akan maksudku.
"Setidaknya itu umum dilakukan untuk merespon orang lain. Lagipula aku, bagaimana ya menyebutnya..." kataku sambil mencoba mencari alasan yang tepat "...seperti aku paham tapi juga tidak paham, kau tahu maksudku kan?"
Ia sedikit menghela nafasnya dan menarik tangannya. Meletakkannya pada dagunya.
"Maksudku, kau ini memang berpikir, tapi dengan kau bisa menjawab teka-tekiku barusan, berarti kau tidak fokus, bukan?" Katanya sambil matanya tetap memandang ke arah papan.
Aku sedikit terdiam sesaat kakek mengatakan hal itu, dan kemudian mengatakan, "Yah, mungkin itu ada benarnya juga." Aku mengiyakannya.
Memang benar, sih, kalau aku memang tak fokus saat memikirkan langkahku barusan. Bahkan, aku pun sadar kalau aku menghabiskan 3 menit hanya menatap papan itu. Lebih tepatnya, menatap satu buah bidak putihku.
"Ahh.... Sial!!" Ucapku sambil menghela nafas berat. "Kalau begini, aku mengaku kalah, deh."
Kakek Altair langsung memasang senyum lebar di wajahnya yang sedikit keriput itu, "Ahahahahaha, kau kalah 3 kali beruntun, lho, Rigel. Hanya dalam pertandingan hari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unified Heartbeats [END]
RomanceSetahun sudah Rigel, seorang pemuda SMA biasa, dirawat di sebuah rumah sakit. Ia mulai mendapatkan kembali sesuatu untuk menggantikan segalanya yang hilang darinya sebelum itu. Seakan ia hanya tinggal menunggu waktunya untuk disembuhkan. Tapi, menur...