~Fake and Comfort~
Suasana sore hari ini terasa hangat. Suara kicauan burung bernyanyi-nyanyi dengan riang. Suaranya saling bersaut-sautan antara burung di pohon yang satu dengan burung di pohon yang lainnya. Aku, seperti biasa hanya duduk di sebelah kasur Altair, mengupas dan menyuapinya dengan sebuah apel seperti yang selalu aku lakukan setiap sore sampai ia akan tertidur nanti. Walau yang aku berikan tidak selalu apel juga.
Di ujung ruangan, dekat dengan pintu, tampak Leo yang terduduk dengan murung. Ia tak menyentuh teh di cangkirnya sama sekali, yang sekarang sudah tidak hangat dan tidak mengepulkan uap panas lagi.
Ia sudah lama seperti itu. Semenjak kepergian Kalani 3 minggu yang lalu, walau aku baru bertemu dengannya dan mengajaknya mengobrol di ruangan ini 2 minggu, tidak. Tidak sampai 2 minggu. Hanya kira-kira 1 minggu lebih yang lalu, ia tak banyak melakukan apa-apa dan hanya termenung di ujung ruangan, entah memikirkan apa. Tapi aku bisa memahaminya. Walau begitu, meski semua hal yang terjadi kepadanya ia masih bersikap seperti seperti orang biasa saat bersama denganku.
Berbeda dengan Rigel.
Semenjak kepergian Kalani, ia tak pernah keluar dari ruangannya. Tak pernah juga menghubungiku atau bahkan mengangkat teleponku. Jadinya, aku perlu menyuruh Rosalind, Kiana, dan bahkan juga teman-temannya yang ada di sekolah yang dulu untuk rutin menjenguknya. Karena aku tahu rasanya sendirian. Aku tahu kalau ia butuh teman untuk selalu menemaninya. Walaupun ia terkesan menolaknya. Di lubuk hatinya itu, ia berteriak meminta pertolongan, dan menunggu seseorang mendengarnya. Dan sebagai seseorang yang mengenalnya, dan menganggapnya sebagai seorang keluarga, sudah sepantasnya aku menjulurkan tangan kepadanya.
Lalu... untuk apa yang aku janjikan padanya...
"Jadi... bagaimana keadaanmu sekarang, Leo?"
Ia melirik ke arahku dengan tidak bersemangat. Matanya yang kehilangan cahayanya kembali memutar mengabaikanku yang berjalan ke arahnya.
"Ayolah... jangan murung begitu terus..." Kataku sambil duduk di sebelahnya. "Aku sudah berkali-kali mengatakannya bukan. Kalau kehilangan seseorang yang berarti itu memang berat. Tapi... janganlah terlalu terlarut ke dalam—."
"Semua orang itu berbeda-beda!" Katanya memotong kalimatku.
"Eh?"
"Nenek mungkin bisa... mengatasi hal seperti ini sendiri. Tapi aku bukanlah nenek. Dan aku... merasakan ini semua dengan perasaanku sendiri. Dan... aku punya caraku sendiri."
"Cara untuk apa? Untuk tetap termenung dan duduk diam di pojokan sepanjang sisa hidupmu? Coba pikirkan apa yang akan Kalani katakan kalau dia melihatmu seperti ini..."
"Jangan bawa-bawa Kalani pada pembicaraan ini!" Nadanya semakin meningkat seraya urat nadinya mengeras dan tampak dengan jelas dari balik kerah kemeja birunya itu. Otot tangannya mengeras walau tak lama kembali melemas saat ia menyadari apa yang ia lakukan. "Maafkan aku, aku terlalu terbawa suasana..." Ucapnya penuh penyesalan.
"Tidak apa, aku juga salah dalam membawa hal itu dalam pembicaraan ini." Aku melirik sedikit melihat Altair yang masih tertidur dengan santai walau suara Leo barusan sedikit menggema ke seisi ruangan. "Mungkin... kita sebaiknya mengobrol di luar." Ajakku padanya.
"Iya."
Aku mencari tempat duduk yang tak jauh dari ruangan Altair berada. Leo dan aku pun beranjak kesana dan duduk disana, sembari memperhatikan beberapa anak kecil yang berlarian di lorong di seberang tempatku duduk dengan sambil tertawa-tawa.
"Jadi... apa nenek mau membicarakan hal yang kemarin lagi?"
"Yah, kalau kamu tidak keberatan."
"Tapi... kenapa nenek benar-benar ingin mencari tahu itu? Memang apa hubungannya nenek dengan Rigel?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Unified Heartbeats [END]
RomanceSetahun sudah Rigel, seorang pemuda SMA biasa, dirawat di sebuah rumah sakit. Ia mulai mendapatkan kembali sesuatu untuk menggantikan segalanya yang hilang darinya sebelum itu. Seakan ia hanya tinggal menunggu waktunya untuk disembuhkan. Tapi, menur...