~Faye~
Siang hari yang terik, aku menghampiri ruangan kakek Altair untuk seperti biasa, menghabiskan waktu dengan bermain catur. Kalau dirasa-rasa, semua adegan yang sedang terjadi saat ini, adegan yang terjadi antara aku dan kakek Altair seperti panggilan kembali adegan yang pernah terjadi saat pertama kali cerita ini dimulai.
Aku sedang berada pada posisi yang kurang mengenakkan. Semua pionku sudah dimakan habis dan hanya tersisa 1 kuda dan 1 benteng, Sangat berkebalikan dengan kakek Altair yang lebih unggul dariku dalam segala posisinya. Walaupun jumlah perwira yang ia punya juga tidak jauh lebih banyak dariku, tapi, pion-pion yang ada di pihaknya masih lebih banyak dan lebih mudah untuk ia gerakkan dan ia naikkan pangkatnya lalu menjebakku dengan mudah.
Aku sudah mencoba berbagai cara untuk mencari celah menghabiskan pion-pionnya itu tapi tetap saja, dia bisa membaca semua pergerakanku.
Dimakan habis oleh keputusasaan, gugup, bingung, serta emosi yang memuncak membuatku dengan berat hati, mau tak mau mengaku kalah di hadapan kakek Altair untuk yang kesekian kalinya.
Dia yang dengan sombongnya tersenyum licik melihatku yang tertunduk merebahkan badanku pada kasurnya sambil duduk di kursi sebelahnya. Ia pun menyingkirkan meja beserta membereskan catur yang baru dipakai barusan ke sisi lainnya dan kemudian memukul kepalaku pelan, membangunkanku. Aku yang sedikit kaget dibuat badanku tersentak ke belakang menjauhinya.
"Kau ini... kalah lagi, kalah lagi."
"Yaa... mau bagaimana lagi? Lawannya kan juara bertahan kota selama bertahun-tahun ini. Aku yang anak bawang seperti ini bisa apa dihadapan maestro seperti kakek?"
"Hahahah... maestro, ya? Aku mau sekali dibilang seperti itu oleh semua orang di negara ini."
"Kalau begitu kenapa kakek tidak maju ke tingkat provinsi lalu naik ke nasional."
Kakek Altair terkekeh pelan dan menepuk tangannya sekali, menarik perhatianku yang padahal tidak berpaling sedari awal. "Karena... 1 alasan?"
"Alasan apa itu?" Aku bertanya seakan aku tidak tahu apa jawabannya.
Jawabannya sudah jelas, dan seharusnya, semua orang mengingatnya. Walau itu tidak terlalu penting menurutku.
"Karena aku lebih memilih Faye, sayangku, dibanding gelar maestro. Dan dipanggil maestro olehnya sudah cukup buatku."
Benar, kan? Sudah kuduga kalau dia akan menjawabnya dengan jawaban itu.
"Ah, benar juga. Bicara tentang nenek Faye, kenapa aku belum melihatnya, ya, kemarin dan hari ini?"
Kakek Altair tampak sedikit bingung dan khawatir juga. "Aku juga sedikit... Tidak. Sangat bingung dengan keadaannya. Sudah sejak kemarin juga aku tidak menerima kontak darinya."
"Sejak pagi?"
"Tidak. Tapi sejak aku keluar dari ruanganku dari Dr. Shama yang menahanku disana."
Begitu ya? Bukannya ini terdengar sedikit aneh, bahkan bagi seseorang yang baru mendengar cerita ini sekali.
"Jadi... saat pagi sebelumnya, kakek masih saling kontak dengan nenek Faye?"
"Iya..." Jawabnya dengan sedikit mendesahkan nafasnya.
"Apa mungkin... Rosalind tahu, ya?"
"Mungkin saja." Balas kakek Altair sedikit tidak semangat. Namun tak lama, ia kembali bersemangat, ia kembali mengangkat kepalanya, bibirnya memasang senyum yang lebar dan menatapku dengan antusias sambil berkata, "Oh, bicara tentang Rosalind, bukannya kau bilang harusnya aka nada kencan hari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unified Heartbeats [END]
RomanceSetahun sudah Rigel, seorang pemuda SMA biasa, dirawat di sebuah rumah sakit. Ia mulai mendapatkan kembali sesuatu untuk menggantikan segalanya yang hilang darinya sebelum itu. Seakan ia hanya tinggal menunggu waktunya untuk disembuhkan. Tapi, menur...