~Letter~
Dalam setiap kehidupannya, semua manusia pasti akan merasakan apa yang namanya kehilangan. Baik itu kehilangan seseorang yang disayangi karena kematiannya, atau bahkan sesimpel kehilangan benda masa kecil yang berharga. Dan... setiap kehilangan itu, tentu akan membuat semua orang yang merasakannya... sedih.
Iya. Kata-kata yang sederhana seperti sedih, terdengar sangat biasa memang. Tapi saat kita merasakan perasaan itu sendiri, rasanya lebih dari apa yang dapat disebut dengan sederhana.
Dan, kembali lagi ke topik awal. Apabila seseorang kehilangan sesuatu yang berharga dari dirinya, tentu mereka akan sedih. Dan sebagai kerabatnya, atau hanya sekedar seseorang yang bahkan hanya mengenalnya, kita punya peran yang cukup besar untuk kembali mengangkat seseorang itu untuk keluar dari jurang kesedihan.
Dan itu, sama seperti apa yang sedang aku lakukan.
Seperti apa yang aku percaya sedang aku lakukan sekarang.
Aku mendorong kedua roda pada kursi rodaku, sedikit demi sedikit. Maju menyusuri koridor rumah sakit yang sedikit ramai. Namun, seramai apapun suatu tempat itu, mereka semua akan menyingkir ke kanan atau kiriku apabila menyadari keberadaanku. Yah... bukannya aku mau sesuatu yang seperti itu. Tapi... bagaimana lagi, bukan?
Di dalam kantung rokku, terdapat secarik kertas yang terlipat dan terbungkus dengan rapi di dalam sebuah amplop cantik berwarna merah muda yang sedikit memiliki corak putih di tengahnya. Di ujung kiri bagian bawah amplopnya, tertulis nama Kalani dengan tulisan tangan sambung yang indah. Ditulis sepenuh hati dengan tinta kaligrafi oleh Siri. Dan bukan hanya tulisan nama Kalani di depan saja, tapi juga semua isi tulisannya di dalam surat itu.
Geuse dan Cyon berkeliling mencari kertas, alat untuk menulis, dan amplop yang dirasa cukup cantik untuk mewadahinya. Walau terkesan terlalu berlebihan, tapi kita pikir, memang sepatutnya kita melakukannya dengan sepenuh hati. Karena Kalani juga pasti akan melakukan sesuatu yang seperti ini, secara, dia menyukai Rigel dengan sepenuh hatinya. Setidaknya itu yang aku pikirkan.
Aku dan kak Kiana berpikir dari pagi hingga ke pagi lagi selama beberapa hari penuh. Memikirkan kata-kata apa yang akan dituliskan. Bukan hanya kata yang dipilih secara acak namun indah. Tapi juga kata-kata yang kemungkinan akan digunakan oleh Kalani. Yah... walau sebenarnya aku tidak tahu secara pasti dan sepertinya, memang tidak jauh berbeda dari yang biasa aku katakan sehari-hari.
Di depan pintu ruangannya, aku terdiam memandangi ke arah pintu itu. Badanku entah kenapa menjadi berat untuk aku gerakkan. Sekujur badanku terasa merinding, dan keringat dingin mengucur dengan perlahan tetes demi tetes.
Aku menelan ludahku seraya memberanikan diri mendorong kursi rodaku mendekati pintu. Dan tepat di hadapannya, aku mengetuk pintu itu pelan.
TOK TOK TOK
Dan tidak ada jawaban dari dalam.
"Aneh." Gumamku dalam hati. Yang kemudian kembali mengetuk pintu itu untuk yang kedua kalinya.
Namun, tetap saja tidak ada balasan dari Rigel yang seharusnya ada di dalam. Dengan penuh pertanyaan dan sedikit penasaran, aku membuka pintu itu perlahan sambil menjulurkan kepalaku sedikit kedepan. Mataku memindai ke seluruh ruangan, mulai dari ujung kiri hingga ujung kanan. Dan saat aku menatap kasur ruangan itu, terlihat Rigel terduduk diam dengan wajah menatap lurus ke arah jendela.
Mengikuti arah tatapannya, aku melihat jendela ruangan itu terbuka, dan secercah cahaya mentari yang terang menembus lurus masuk ke dalam ruangan.
Mataku kembali menatap wajah Rigel dan terlihat, walau tidak begitu jelas, air mata menitik pelan dari mata kirinya, yang lama kelamaan berubah menjadi aliran air mata yang mengalir dengan deras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unified Heartbeats [END]
RomanceSetahun sudah Rigel, seorang pemuda SMA biasa, dirawat di sebuah rumah sakit. Ia mulai mendapatkan kembali sesuatu untuk menggantikan segalanya yang hilang darinya sebelum itu. Seakan ia hanya tinggal menunggu waktunya untuk disembuhkan. Tapi, menur...