12. Kenangan

1.6K 221 59
                                    

"Kau sudah bangun, Solar?" Gempa yang tengah memasak untuk sarapan keluarganya menoleh ke ambang pintu sekilas untuk menyapa sang adik yang berjalan mendekatinya.

"Um, tentu saja. Aku tidak pernah bermasalah untuk bangun pagi!" Anak yang masih berusia 6 tahun itu menjawab dengan angkuh, membuat Gempa dengan gemas mendekat untuk mencubit hidungnya, "Sopanlah sedikit, anak kecil. Kau tidak bertingkah sesuai usiamu!"

"Uuh... Memangnya kenapa? Aku hanya tidak suka menjadi anak kecil!"

Suara dengusan terdengar menimpali ucapan Solar, membuat anak 6 tahun itu menoleh dan menemukan kakak tertuanya berjalan mendekat. Dari wajahnya yang masih kusut, terlihat jelas jika sang kakak juga baru saja bangun.

"Pagi, Kak Hali" Gempa menyapa dengan senyum, namun Halilintar hanya mengangguk diiringi senyuman kecil.

Sulung elemental itu melangkah menuju meja makan, tetapi menyempatkan diri untuk mengacak surai kecokelatan milik adik bungsu yang berpapasan dengannya.

"Tsk, berhenti mengacaukan tatanan rambutku, Kak Hali!" Ia memprotes, diiringi tatapan tajam dibalik kacamatanya. Tapi saat menyadari Halilintar tidak mungkin mempedulikan protesannya, ia memilih menatap Gempa untuk melanjutkan pembicaraan yang tertunda. "Lagipula, aku akan menjadi suami masa depan untuk Yaya, jadi aku harus lebih dewasa dari usiaku!"

Halilintar yang mendengarnya kembali mendengus, sedangkan Gempa tertawa.

"Lihat tubuh kecilmu itu, Solar. Yaya tidak akan suka dengan anak-anak!" Bagaimanapun, sebagai seorang yang usianya enam tahun di atas Solar, Gempa percaya itu tidaklah mungkin.

Anak kecil terkadang sibuk tenggelam dalam khayalannya, hingga sulit membedakan mana yang mustahil dan mana yang benar-benar nyata. "Lagipula, sepertinya kau bisa kalah dari kakak kita!"

Arah pandangan Gempa tertuju pada si kakak tertua yang saat ini telah mendudukkan dirinya di salah satu kursi di ruang makan. Terlihat sang kakak masih tetap tenang, namun tak ada yang bisa memahami sorot resah dibalik tatapannya.

Solar kecil mendengus ketika ia menyadari maksud ucapan Gempa. Ia melipat tangan kemudian berjalan mendekati sang kakak tertua. "Kalau begitu, aku akan menantangmu, Kak Hali!"

Nada suara angkuh itu tidak berhasil membuat Halilintar bergeming, ia justru sibuk menuang air putih di dalam gelasnya untuk sedikit meringankan tenggorokannya yang terasa kering.

Geram karena pengabaian, Solar merebut gelas itu sebelum sampai ke bibir sang kakak, membuat Gempa memekik karena tak menyangka adiknya bisa sekasar itu.

Oh, apa adik bungsunya ini mengadopsi beberapa adegan di film? Sial, itu pasti berbahaya untuk anak-anak.

"Kak Hali, dengarkan aku!" Solar menjauhkan gelas berisi air putih itu dari jangkauan Halilintar, lalu mendekatkan diri pada sang kakak yang menatapnya dengan datar. "Aku mungkin adikmu, tapi jika berurusan dengan Yaya, jangan pernah menganggapku sebagai adikmu karena aku akan berperan sebagai sainganmu!"

Bagi Gempa mungkin itu hanyalah lelucon, tapi Halilintar jelas melihat sorot yakin di tatapan mata itu. Lagipula, tanpa melihat pun Halilintar akan tahu adanya kesungguhan dari tatapan anak itu, karena ini bukanlah kali pertama.

I'm Girl? OH NOO !!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang