9. Apa Lagi Ini?

1.9K 249 89
                                    

Saat matahari berada tepat di atas kepala, Halilintar menuruni tangga dengan sedikit terburu-buru. Ia bersyukur karena diantara pakaian yang dipilih adik iparnya_ ia lebih senang menyebut suami Ruby seperti itu, ada stelan jeans hitam dan kaos panjang warna merah lembut. Cukup sesuai dengan apa yang ia inginkan. Hingga pakaian itu lebih memudahkannya untuk bergerak cepat menuruni tangga.

"Selamat siang, Tuan..."

Halilintar menoleh kearah seorang pelayan yang membungkuk padanya. Seketika dagunya terangkat tinggi. Oh, ia merasa harga dirinya kembali naik hanya karena panggilan 'tuan' dari pelayan ini.

"Hm, bagus! Siapa namamu?" Tanpa menjawab sapaan, ia bertanya dengan nada angkuh yang sering ditunjukkannya.

Terlihat pelayan itu langsung menegang, membuat Halilintar menaikkan alisnya. Apa ia salah bertanya?

"N-nou, Tuan..." Ia mencicit tanpa menatap sang majikan, terlalu takut. Dalam hati dirinya sudah ketar-ketir, membayangkan majikannya ini akan marah karena ia memanggilnya Tuan. Tapi, ia dengan jelas mendengar dari pelayan yang bertugas menjaga bayi Lintar, jika sang majikan membuat aturan baru untuk tidak memanggilnya 'Nyonya'.

Jadi, tidak salahkan ia memanggilnya 'Tuan'?

"Nou? Bagus! Setelah ini datang pada_ehem, ya, pada suamiku untuk meminta kenaikan gaji. Bilang padanya, kau membuat mood ku membaik hari ini!" Halilintar mendongakkan dagu dengan bangga. Sungguh ia benar-benar senang dengan panggilan itu.

"B-benarkah, Tuan?" Nou memberanikan diri untuk menatap sang majikan dengan binar bahagia, tidak pernah ia sangka majikannya yang perhitungan itu bersedia memberi kenaikan gaji hanya karena hal sepele.

Halilintar mengangguk mantap.

"Tentu saja!" Serunya yakin. "Nah, apa kau tahu dimana Papa?"

"Y-ya, Tuan besar ada di ruang makan, Tuan. Mari saya antarkan!"

Halilintar tidak menjawab, tapi ia tetap mengikuti Nou yang membimbingnya menuju ruang makan.

Ah, ia lupa dengan urusan perutnya sejak kemarin. Salahkan berbagai masalah yang datang dan ketidaksiapan mental Halilintar dalam menghadapinya, hingga urusan makan saja ia sampai lupa.

"Ruby?"

Sesampainya di ruang makan, Halilintar mendapati sang Papa dan adik iparnya di meja makan dengan berbagai hidangan. Keduanya menatap dengan heran. Tentu saja, Ruby yang biasanya sangat anggun sekarang memakai celana jeans.

Siapa yang tidak heran?

"Kau terlihat... Berbeda?" Thunder menatap putrinya dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi, dan kebawah lagi, begitu seterusnya hingga Halilintar jengah sendiri.

"Kenapa? Apa aku terlihat aneh?" Sebelah alis terangkat, membuat Thunder gelagapan.

"T-tidak!" Ia bicara dengan hati-hati, takut menyinggung putrinya lagi. "Kau tidak aneh, sayang. Kau bahkan lebih cantik kalau begini!"

Melihat respon sang Papa, Halilintar menghela nafas panjang. Ia tidak tahu seperti apa Ruby yang sebenarnya, tapi Papanya tampak berlebihan ketika sedikit saja Halilintar menunjukkan raut ketidaksukaan.

'Sepertinya Papa sangat memanjakanmu ya, Ruby?' ada cubitan kecil dihatinya ketika Halilintar memikirkan hal itu. Benar, ia dan Ruby memang saudara, tapi takdir mereka sangat berbeda.

Terutama... Untuk kasih sayang orang tua!

"Nah, ayo duduk, Putri cantiknya Papa! Papa sengaja meminta pelayan memasakkan masakan kesukaanmu" Thunder berdiri dan menarik tangan Halilintar lalu mendudukkan remaja ditubuh wanita itu kesalah satu kursi. Sengaja ia memilih kursi yang bersebelahan dengannya agar ia bisa lebih dekat dengan putrinya.

I'm Girl? OH NOO !!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang