s2c38: Pertemuan

1.1K 169 59
                                    

"Akhirnya, sampai juga!" Solar menghembuskan nafas lega, senyuman cerah tampak di wajah tampannya. "Benar-benar hebat alat milik Adu du ini!" Ia mengusap pelan sebuah alat ciptaan Adu du yang kini telah mengecil setelah dirinya mendaratkan kaki di tanah Kuala Lumpur. Ah, menyenangkan sekali rasanya bisa bepergian dalam waktu singkat seperti ini. "Nanti aku akan minta dibuatkan alat yang sama oleh si Adu du!"

Memasukkan alat itu ke dalam saku celananya, Solar berjalan sembari menyenandungkan nada acak yang terlintas di otaknya. Ia sekali lagi harus bersyukur, karena dirinya mendarat di tempat yang cukup dekat dengan mansionnya. Hanya perlu beberapa menit agar dirinya sampai di rumah.

'Klik'

"Dari mana saja kau?"

Pemuda 27 tahun itu mengerjap saat ia langsung di sambut dengan pertanyaan bernada dingin dari paman sekaligus ayah mertuanya ini. Ya ampun, ia bahkan baru membuka pintu. "Tidakkah Papa membiarkanku duduk dulu? Aku baru datang lho..."

"Tsk, kenapa kau santai sekali?" Thunder berdecak diiringi lirikan sinis, ia tetap menghalangi jalan hingga Solar hanya bisa berdiri di depan pintu. "Seingatku, kemarin aku memintamu mencari Ruby yang hilang dari rumah sakit, tapi kau malah ikut menghilang tanpa alasan yang jelas dan melepas semua tanggungjawabmu! Begitukah sikap seorang pria?"

Senyuman gugup dilayangkan Solar untuk sang ayah mertua, tanda jika ia benar-benar lupa akan hal itu. Sungguh, sejak mengetahui hilangnya Ruby secara misterius dari rumah sakit membuat pikiran Solar kacau. Dalam otaknya hanya diisi dengan segala kemungkinan yang bisa menjawab alasan kenapa Ruby bisa menghilang tanpa ada satupun yang tahu. Dan semua pikiran itu hanya mengacu pada satu hal.

Halilintar.

Entahlah, padahal Halilintar tidak punya kekuatan menghilang, tapi Solar tetap mencurigai jika apa yang terjadi pada Ruby berkaitan erat dengan kuasa petir milik Halilintar.

Bukankah gerakan kilat juga seperti menghilang jika dilihat dari sudut pandang orang awam?

"Em... Maafkan aku Papa," ia menggaruk sebelah pipinya dengan senyuman canggung, "Tapi... Apa Ruby sudah ketemu?"

Thunder menarik nafas kasar, ia berjalan menuju sofa ruang tamu dan mendudukkan dirinya di sana. Pergerakannya membuat Solar segera masuk dan menutup pintu, sekarang ia mulai bingung yang mana tuan rumah sebenarnya.

"Dari reaksi Papa, sepertinya Ruby belum ketemu ya?" Solar bicara dengan hati-hati, ia mendudukkan dirinya di sofa berseberangan dengan sang ayah mertua_berjaga-jaga jika pria Thunderstorm itu kembali mengamuk seperti kejadian di rumah sakit waktu itu.

Thunder enggan menjawab, bahkan menatap menantunya saja tidak. Ia terlanjur ada dalam mood yang buruk, terlebih setelah tahu jika putrinya kembali ikut dengan Silluen setelah pulang sekolah tadi. Padahal, ia kira setelah kedekatannya dengan Ruby yang menaiki taraf luar biasa berkembang, bisa membuat Ruby melupakan wanita gila itu. Tapi sayang, pengaruh seorang ibu terlalu besar untuk seorang anak, dan seorang ayah sepertinya tidak bisa menggantikan pengaruh itu sepenuhnya.

"Papa pasti sudah menghubungi polisi atau anak buah Papa, bukan? Apa mereka belum memberi kabar apapun? Haruskah kita ikut mencarinya?"

Lamunan Thunder buyar oleh runtutan pertanyaan dari pemuda berkacamata itu, ia kembali menghembuskan nafas kasar. "Ruby sudah ketemu!" dengan tak relanya Thunder menjawab, "dan sekarang sedang bersama ibunya!"

"O-oh?" Solar tak tahu harus merespon apa. Jujur saja, ia mengharapkan Ruby sudah pulang dan ada di rumah, sehingga akan mudah baginya untuk mengajak Ruby pergi ke Pulau Rintis tanpa perlu memberitahu sang ayah. Biasanya, Thunder tidak akan banyak bertanya jika Ruby sudah meminta sesuatu. Hanya menjawab 'iya' dan 'boleh', maka semua selesai. Berbeda sekali kalau Solar yang meminta izin.

I'm Girl? OH NOO !!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang