Lily

2.4K 243 2
                                    

Author POV

"Di sini lah aku berasal Jen." Suara Lisa mengembalikan Jennie dari lamunannya.

Keduanya masih terduduk di dalam mobil sementara seorang perempuan terlihat keluar dari dalam bangunan yang terlihat seperti kastil.

"Hon." Jennie menatap Lisa yang tampak ingin menangis.

Tangannya refleks menggenggam tangan Lisa yang cukup dingin. "Perempuan itu yang merawatku selama ini." Lisa.

"Mari menyapanya." Jennie mencoba tersenyum semata untuk menguatkan kekasihnya itu.

Jennie turun terlebih dahulu, kemudian diikuti oleh Lisa yang masih mencoba menyeka air matanya.

Keduanya melangkah bersama menghampiri perempuan berpakaian seperti biarawati. Perempuan itu menyambut mereka dengan senyum terbaiknya.

"Suster Lee." Lisa yang langsung memeluk perempuan itu dengan sangat erat. Air matanya jatuh tanpa diperintah. Jennie yang melihatnya pun cukup terhanyut dan hampir manangis.

"Siapa gadis cantik ini Lisa ?" Perempuan itu melerai pelukannya dan beralih pada Jennie.

Jennie tersenyum manis dan membungkuk.

"Temanku." Lisa memperkenalkannya sambil tersenyum.

Perempuan yang akrab dengan panggilan Suster Lee itu membawa Lisa dan Jennie memasukin bangunan.

Sejuk dan dingin adalah kesan pertama yang terasa. Jennie terlihat cukup nyaman dengan suasana sekitar sampai tidak terasa tangannya melingkar di lengan panjang milik Lisa.

Lisa tidak menepisnya. Tangannya justru menjaga pergerakannya agar lengan Jennie tidak terlepas dari lengannya itu.

Ketiga perempuan itu memasuki sebuah ruangan dengan atap yang sangat tinggi. Ruangannya seperti gereja yang cukup teduh. Suster Lee meninggalkan Lisa dan Jennie setelahnya.

"Apa perempuan yang ada di foto itu adalah pemilik tempat ini Hon ?" Jennie yang kini mendongak, menatap Lisa.

Lisa mengangguk, kemudian tersenyum. "Ia yang membawaku ke tempat ini." Jelasnya, Lisa.

Lisa dan Jennie mengambil tempat duduk di barisan belakang kursi. Kemudian keheningan menjalar karena Lisa hanya terpaku pada lukisan besar yang terletak di area mimbar. Jennie tak ingin mengganggunya. Sebaliknya, ia lebih memilih menunggu Lisa sampai kekasihnya itu puas melepas rindunya dengan tempat ini.

Jennie POV

Lisa membawaku menuju sebuah taman yang ada di bagian depan bangunan. Hari sudah mulai gelap dan lampu-lampu kota mulai terlihat memperindah pemandangan dimalam hari. Tempat ini cukup tinggi dan dingin tentunya.

Lisa menanggalkan jaket jeans nya dan memberikannya padaku. Memang aku hanya mengenakan atasan bermodel off shoulder. Dan perlakuannya ini cukup manis meurutku. Aku mengenakan jaketnya yang cukup besar untuk tubuh mungilku. Kemudian tanganku menggenggam tangannya yang mulai dingin.

"Aku dibesarkan oleh seorang wanita yang sangat menyayangiku. Namun tidak dengan ibunya." Lisa membuka pembicaraan.

"Nenekmu ?"

Ia mengangguk, mengiyakan.

"Ia selalu menjagaku dari perkataan buruk nenek yang sagat menyakitkan untuk anak sekecil itu." Lisa kembali melanjutkan kalimatnya.

"Saat itu usiaku sekitar 12 tahun dan aku tumbuh dengan ujaran kebencian disetiap hatiku. Rasanya dadaku sangat sesak setiap kali Eomma tidak bersamaku. Namun berangsur membaik setelah Eomma kembali dan memelukku." Dari caranya berbicara, Lisa benar-benar terlihat sangat tegar. Namun tidak setelahnya. 

"Mengapa ia seperti itu ?"

Lisa mengedarkan pandangannya dan menghindari tatapanku yang sedari tadi menatapnya.

"Katanya, aku adalah kutukan yang membuat anaknya tak kunjung mendapati kebahagiaan-nya." Jujur aku belum mengerti akan apa yang sedang dibicarakannya.

Lisa membuang napasnya kasar.

"Eomma-ku membawaku pulang saat usianya sekitar 25 tahun. Ia belum menikah saat itu dan kehadiranku ternyata membawa serta berita miring tentangnya dan nenekku." Ketegarannya itu berangsur kembali. 

"Eomma dan nenek harus berpindah tempat karena tidak tahan dengan gunjingan tetangga. Namun Eomma tetap mempertahankan ku bersamanya." 

Tanganku menggenggam kuat tangannya. Mungkin lebih terlihat seperti remasan. Aku tidak mengerti jika Lisa memiliki masa lalu sekelam itu. 

"Eomma bekerja keras untuk menghidupiku dan nenek. Sampai akhirnya ia menemukan pria yang sangst mencintainya." Senyum tipis terlihat mengembang di pipinya.

"Eomma menikah dan membawaku ikut hidup bersama di rumah Appa yang sangat besar."

Lisa benar-benar menghentikan suaranya kali ini. Ia terisak sambil menggenggam tanganku yang juga menggenggamnya.

Aku memeluknya dalam posisi kami yang duduk di kursi taman. Kubawa wajahnya tenggelam di bahuku yang jauh lebih rendah darinya. Ia menangis di sana. Meluapkan emosinya untuk beberapa saat sebelum akhirnya kembali mengangkat kepalanya.

Kuusap air mata yang membasahi pipinya. Kemudian tersenyum semata untuk memberikannya energi positif.

Lisa menghembuskan napas yang menyesakkan dadanya. Kemudian kembali menata hatinya untuk bercerita.

"Appa memiliki dua anak perempuan yang lebih tua dariku. Mereka sangat jahat dan membenciku. Bahkan aku sendiri tidak mengerti mengapa mereka begitu membenciku."

"Mereka mendorongku, memukulku, dan bahkan mengunciku dalam ruangan yang sangat gelap untuk waktu yang lama."

"Aku bisa menerima perlakuannya untukku. Namun tidak dengan Eomma-ku. Aku benar-benar tidak tahan saat mereka mengabaikan Eomma-ku dan bersikap kasar padanya."

"Suatu hari, saat mereka kembali merundungku. Aku bertanya dengan penuh amarah, mengapa mereka terus berlaku kasar padaku dan Eommaku. Namun mereka tidak pernah memberiku jawaban." Diakhir kalimatnya, Lisa menggeser tubuhnya dan menaruh kepalanya di bahuku.

"Sampai akhirnya aku mendapatkan jawaban atas semua pertanyaanku." Wajahku menoleh kearahnya yang kini nyaman bersandar di bahuku. Menatapnya antusias karena memang aku sendiri cukup tertarik dengan kisah masa lalunya ini. 

"Mereka akan menerima Eommaku jika aku pergi dari keluarga mereka. Satu-satunya yang mereka butuhkan adalah sosok Eomma, bukan anak lain yang mungkin mencuri perhatian orang tuanya." Suaranya sedikit terisak. Lisa menyeka air matanya dengan ibu jari da telunjuknya bergantian.

"Tentu aku pergi tanpa sepengetahuan mereka. Mungkin saat itu adalah saat yang tepat untukku membalas semua kebaikan Eomma. Aku tak ingin melihatnya kelelahan setelah seharian penuh bekerja dan bertengkar dengan nenek karenaku."

"Aku ingin melihat Eomma tersenyum tanpa beban dan menikmati hari-hari indahnya tanpa beban yang selalu memberatkannya. Aku pergi dan berjalan jauh saat malam hari." Ia menangis. Kali ini bukan hanya terisak, melainkan benar-benar menangis.

Tanganku melingkar di punggungnya. Mengusapnya lembut dan menunjukan seluruh kasih sayangku padanya.

"Sampai akhirnya langkahku berakhir di tempat ini. Disinilah aku melanjutkan hidup dan menemukan orang tua asuhku. Mereka keluarga Manoban yang saat ini menetap di Thailand." Lisa mengakhiri ceritanya dengan memelukku erat dan menangis di sana.

Tentu aku membalas pelukannya dengan pelukan yang jauh lebih hangat. Sampai tak terasa air mataku jatuh karenanya. Aku terhanyut dan mengutuk diriku sendiri yang pernah menyakitinya atas perbuatanku.

Lisa POV

"Jadi namanu hanya Lalisa ?" Jennie yang sedari tadi asik memainkan tanganku.

"Ani."

Ia menoleh, menatapku untuk mencari jawabannya.

"Lalisa Manoban adalah nama pemberian orang tua asuhku." Jelasku.

"Lalu namamu ?"

"Lily."

Eonnie [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang