Di kamar yang bersuasana nyaman terlihat gadis berambut panjang tak henti-hentinya berjalan kesana-kemari dengan ponsel di tangannya dan tangan lainnya ia gigit seperti ketakutan.
Tak lain adalah Lessa, yang begitu khawatir dengan kekasihnya, Taraz. Sampai malam pun belum ada kabar dari Taraz. Satu fakta yang membuat Lessa semakin khawatir yakni nomor Taraz yang sudah tidak lagi aktif.
"Taraz, jangan bikin khawatir, dong," lirih Lessa yang terus mengerutkan keningnya.
"Ck! Nomor kamu kenapa enggak aktif, sih?" gerutu Lessa setelah kembali mencoba menelepon Taraz.
"Ayo dong, Taraz!" Lessa duduk lemas di meja belajarnya.
Meletakkan ponselnya dan menekuk lengannya untuk menyimpan kepalanya berharap mendapat sedikit ketenangan.
Matanya tertutup dengan nafasnya yang mulai normal dari sebelumnya. Tak lama, Lessa tertidur dengan posisinya yang sekarang.
-×-
"Bun, Yah, udah, nih." Taraz menghampiri kedua orang tuanya yang duduk di depan rumah baru mereka.
Kaos hitam dengan kemeja abu-abu tak dikancingkan dan celana hitam menjadi pakaiannya saat ini.
"Yaudah ayo, keburu malam." Farhan langsung menyambar kunci mobil yang ada di meja depannya diikuti Fia yang menenteng tas kecilnya.
"Mobil siapa itu?" tanya Taraz setelah menyadari ada mobil di tempat tinggal barunya.
"Punya Ayah lah. Kamu enggak tahu 'kan?" jawab Farhan.
"Eung ...." Taraz sebenarnya tidak peduli jika itu mobil milik ayahnya, hanya saja penasaran.
"Yaudah ayo!" seru Fia menggeret tangan putranya.
Taraz duduk di bagian belakang mobil dengan Farhan dan Fia yang di depan. Fokusnya tertuju pada ramainya kota dengan segala jenis lampu yang menghiasinnya.
Saat ini hati dan pikirannya masih terpaku pada Lessa. Beralihlah pandangannya pada layar ponsel yang menampilkan fotonya dengan Lessa yang tersenyum lebar.
Senyum miris tercipta dari bibirnya. Sekejap ia menejamkan matanya dan menghembuskan nafas dengan kasar.
"Lessa, jangan cariin aku, ya," batinnya yang terus memandang cantik paras Lessa.
Mobil yang ia tumpangi berhenti, membuatnya kembali mendongak dan melihat ke arah jendela mobilnya. Berhenti tepat di depan kafe yang cukup ramai dengan hiasan lampu kuning dan interior kayu.
"Taraz, ayo turun, Nak." Fia menghadap pada Taraz dan menyuruh secara lembut.
Taraz kembali menghembuskan nafas kasar lalu menjawab, "Iya Bun."
Taraz mematikan ponselnya dan ia kembalikan pada sakunya lalu membuka pintu mobil dan menyusul kedua orang tuanya memasuki kafe.
Farhan dan Fia duduk di kursi ujung yang masih menampilkan pemandangan luar kafe. Taraz hanya mengekor dengan tidak bersemangat.
"Tunggu ya, Taraz. Habis ini mereka datang," lirih Fia pada Taraz yang duduk tepat di sebelahnya.
Taraz mengerutkan keningnya. Mereka siapa yang bundanya maksud? Bukankah ini urusan ayahnya? Kenapa Ia harus ikut menunggu?
Taraz hanya menganggukkan kepalanya sebagau jawaban. Ia mengalihkan pandangannya ke luar Kafe. Ruangan yang cukup terbuka membuat angin malam masuk ke dalam ruangan.
Beberapa menit menunggu, tamu yang ditunggu oleh Farhan dan Fia datang.
"Akhirnya datang juga," sahut Farhan menyambut kedatangan Niko dan Sania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tinta Luka [END]
Teen FictionDuka tercipta setelah kebahagiaan sirna. Perubahan yang terpaksa karena adanya keadaan. Dia tidak mengambil kebahagiaannya, ini hanyalah sebuah amanah. Bukan tidak menerima. Tapi, menjadi sebuah trauma. Bukan tidak mendengar. Namun, mencoba untuk me...